Kamis, 21 Februari 2019

MAGOT MENGATASI SAMPAH ORGANIK

Ester Lince Napitupulu
Harian Kompas, Kamis, 21 Februari 2019

Tahun 2009 Melta Rini Fahmi (42) bersama peneliti asal Perancis Saurin Hem mendapatkan paten internasional untuk penelitian magot buat pakan ikan di Indonesia. Rini dikenal sebagai peneliti di bidang genetika molekuler. Kini, dia lebih banyak disebut sebagai peneliti magot

Magot memang belum dikenal secara luas. Bahkan, magot lebih dipahami oleh masyarakat awam sebagai belatung menjijikkan serta sumber penyakit. Padahal, magot mempunyai banyak manfaat, salah satunya mengatasi masalah sampah yang bisa menambah nilai ekonomis.

Secara tegas, Rini mengatakan magot berbeda dengan belatung. Magot merupakan larva serangga Hermetia illucens atau lebih dikenal dengan Black Soldier Fly (BSF). Sementara yang lazim dikenal sebagai belatung atau dalam bahasa Inggris maggot, merupakan larva serangga Diptera (Haasbroek, 2016). 

Belatung untuk sebutan larva housefly atau lalat rumah berperan sebagai vektor penyakit. Sebaliknya, magot sebagai agen perombak atau kompos material organik yang dalam waktu singkat dapat meningkatkan kesuburan tanah

Rini mempopulerkan nama magot untuk membedakan larva BSF dengan belatung. " Supaya tidak lagi salah, akhirnya saya pakiai saja sebutan larva  BSF dengan magot (hanya satu g) supaya orang paham bedanya dengan belatung" kata Rini.

Meskipun di Indonesia magot belum dioptimalkan dalam skala industri ataupun untuk pengelolaan sampah, Rini tak menyerah. "Hati nurani saya tidak bisa diam ketika mengetahui pelaku industri yang bergerak di magot ada banyak kendala yang perlu dukungan kebijakan dari pemerintah. Saya selalu mengajak para pelaku di industri magot untuk berhimpun membentuk asosiasi agar pemerintah bisa melihat potensi magot untuk Indonesia," papar Rini.

Rini menyambut gembira inovasi magot yang akhirnya didukung untuk masuk skala industri melalui kegiatan insentif inovasi industri Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Magot untuk pakan ikan sudah diluncurkan sebanyak tiga jenis, yaitu Magfree (untuk pertumbuhan ikan), Magkrispy (pakan ikan induk), dan MagGranul (pakan benih ikan).

Tidak sengaja
Rini mengisahkan tertarik meneliti magot berawal dari identifikasi yang keliru. Pengembangan magot sebenarnya tidak disengaja. Ini dimulai dari adanya kerjasama penelitian Indonesia-Perancis untuk mengembangkan pakan ikan alternatif pada tahun 2005. 

"Peneliti asing yang bekerjasama dengan kami bilang mau mencoba pakan ikan dengan memproduksi belatung yang disebutkannya maggot. Penelitian pun mengarah ke sana. Yang meneliti sampai muntah-muntah karena bau busuk dari bangkai", tutur Rini.

Penelitian untuk menghasilkan magot, yang semula disebut belatung, awalnya dikembangkan dari bungkil kelapa sawit yang ketika itu harganya rendah sehingga tak dimanfaatkan. Bungkil kelapa sawit pun difermentasi dengan bakteri yang diambil dari hewan ruminansia untuk mendegradasi bungkil. Akan tetapi cara itu tidak berhasil.

Bungkil yang difermentasi pun terlupakan lama. Para peneliti tertarik lagi untuk melihat bungkil karena penasaran dengan burung yang mematok bungkil. Ternyata di bungkil itu banyak belatung. "Peneliti Perancis itu bilang, ini yang dia cari yang pernah ditemuinya di Afrika," kata Rini.

Belatung pun ditunggu hingga menjadi serangga. Rini membawa serangga untuk diidentifikasi di Institut Pertanian Bogor, tetapi belum pernah ada pihak yang melakukan riset dengan serangga tersebut.

"Penelitian tentang serangga Hermetia Illucens (lalat tentara hitam) sudah ada saat itu di dunia. Namun, belum ada yang sampai pada memanfaatkan untuk menghasilkan pakan ikan. Di Indonesia sudah bisa produksi masal magot untuk pakan. Karena itulah diajukan paten internasional. Kebetulan dapat dukungan dari Perancis," kata Rini.    

Penelitian soal magot sempat terhenti karena Rini melanjutkan kuliah doktor dan kemudian riset di Perancis. "Sebenarnya saya enggak enak jika ditulis kepakaran tentang magot. Lama-lama kepakaran saya di bidang genetika molekuler semakin hilang," ujar Rini smbil tertawa.

Rini memiliki publikasi ilmiah internasional di bidang genetika molekuler dan pengajar di beberapa perguruan tinggi negeri. Risetnya di bidang genetika molekuler juga punya dampak besar pada pemetaan distribusi ikan sidat secara molekuler pertama di Indonesia dan DNA barcoding ikan-ikan dari lahan gambut.

Pada tahun 2013, Rini menghidupkan kembali penelitian magot yang sempat mati suri. Namun, dia mengalihkan pengembangan magot ke sampah organik yang selalu tersedia dan lebih murah. 

"Sampah organik ini masih punya nutrisi yang bisa dimakan untuk ikan dan ternak lainnya. Dengan biokonversi memakai telur serangga BSF, sampah yang menggunung lebih mudah diubah menjadi magot dan kompos. Jadi, sekaligus mengatasi masalah lingkungan," kata Rini yang kemudian kembali mematenkan metode kultur larva BSF secara nasional.

Rini mengatakan, masalah pakan ikan yang mahal sering dikeluhkan pembudidaya ikan. Rini pun tertantang untuk mengembangkan magot sebagai pakan ikan yang murah dan bernutrisi tinggi.

Uji coba berjalan di Balai Riset Budidaya Ikan Hias di Depok bekerjasama dengan Pemerintah Kota Depok. Sampah organik dikirim ke balai untuk dijadikan makanan magot. Dalam hitungan hampir dua minggu, gunungan sampah organik ludes. Magot bisa dipanen untuk menjadi pakan ikan, baik yang masih hidup maupun diolah. Sisa sampah menjadi kompos yang halus. Meskipun menjadi tempat pembuangan sampah organik, lingkungan sekitar balai tidak bau.

"Di dunia global, soal lingkungan, termasuk terkait sampah, mejadi perhatian. Saya merasa, bekerja ramai-ramai itu enak. Peneliti tidak masanya bekerja sendiri, tetapi bekerjasama dengan banyak pihak termasuk industri. Sebagai peneliti, saya merasa bahagia jika hasil riset saya membuat orang lain lebih baik dan bahagia," kata Rini.

Rini berharap semakin banyak peneliti yang berpartisipasi dalam pengembangan magot. Potensi magot bukan hanya untuk pakan ikan, melainkan bisa juga untuk peternakan dan pertanian. Selain tentu saja untuk pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dengan investasi yang lebih murah.

"Saya berharap inovasi ini lebih cepat sampai ke masyarakat dan berdampak signifikan.Pemerintah juga semestinya mulai memartabatkan masyarakatnya untuk mendukung pengelolaan sampah dengan biokonversi yang memanfaatkan magot," kata Rini.  . . 
 
Meita Rini Fahmi

 Lahir          : 11 Juni 1976
Pendidikan::
- S 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (1999)
- S 2 Aquatic Science IPB (2004)
- S 3 Departemen Biologi IPB (2013)

Paten:
- Paten internasional produksi serangga hidup mini larva dan digunakan untuk pakan ikan (Rini dan  
  Saurin Hem)
- Paten nasional metode kultur larva BSF untuk agen biokonversi sampah organik dan pakan ikan 
  (Rini dan Urip)

Penghargaan:
- Peneliti Terbaik lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (2007)
- Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI (2017):

Tidak ada komentar:

Posting Komentar