Sabtu, 27 Oktober 2012

PASAR TRADISIONAL DAN PERMASALAHANNYA

PENDAHULUAN

Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan seterusnya yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.

Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.

Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.

Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai  peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,

Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat  di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.

Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai, dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas,

PASAR TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.

Dalam situasi di  mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD, maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD, maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan  koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah mewujudkan terjadinya  keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan jual beli secara ekonomis dan  mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang di daerah setempat.

Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.   

PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).

Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong, sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.

Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu SKPD).  Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan eceran.

Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator, sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar tradisional.

Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban,  bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan.  Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.

PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL
Pemahaman tentang aktivitas pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel) mutlak harus dimiliki oleh aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar tradisional termasuk di dalamnya pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) serta peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman tentang pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel). Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya para aparatur pelaksana mulai di tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola pasar seyogyanya juga memahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki oleh masing-masing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas aparatur yang bersangkutan.

Agar para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan baik, maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara berjenjang tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para aparatur yang telah dilatih, kepada mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya sampai waktu yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.

Perdagangan eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu pemasaran yang seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD yang membidangi perdagangan dan pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan pasar tradisional serta perdagangan eceran. Dalam praktik banyak dijumpai dalam praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini tidak memahami tentang pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat diperlukan ketika mereka bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk operasi sebagai upaya pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL di mana para aparatur tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat dilaksanakan dengan optimal. Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional berstigma negatif seperti kumuh, kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di mana-mana dan seterusnya.

Dalam merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan PKL dalam bentuk penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya pasar moderen sampai pada suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi lain, diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran (marketing) merupakan hal mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.

Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL misalnya, perlu didasari oleh kebijakan tentang pengaturan pendirian pasar moderen serta kebijakan tentang revitalisasi pasar tradisional dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan. lokasi adalah salah satu unsur "P" (Place) dalam "bauran pemasaran" (marketing mix) yang dikenal dengan "Empat P" (Product, Place, Price dan Promotion).

Para pedagang  perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar promosi khususnya mendisplai barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan yang menarik calon pembeli, seperti menempatkan produk-produk tertentu sedemikian rupa agar  Perlu diketahui bahwa kebanyakan para pengunjung pasar, ketika membeli barang terutama barang-barang sekunder, seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan untuk makanan, seringkali dipengaruhi oleh emosinya (impuls buying). Sehingga penataan (displai) barang yang menarik, seringkali membangkitkan emosi untuk membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan ketika akan berangkat ke pasar.  Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak terencana ini juga sangat dipengaruhi  oleh daya beli para pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin kuat daya beli konsumen, maka kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak terencana sebelumnya semakin kuat. Oleh karenanya, para pedagang setidaknya sepintas perlu memahami karakter dan kemampuan untuk membeli yang dimiliki oleh para pengunjung pasar yang menjadi pelanggannya.

Para pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat tahan lama melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu. Kebanyakan pedagang cenderung banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan lama pada saat harga murah dan persediaan berlimpah, kemudian disimpan entah sampai kapan. Kemudian, mereka merasa kegiatan usahanya akan lebih aman apabila memiliki barang dagangan dibanding memegang uang kontan, karena persediaan barang dagangan yang berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya ada pembeli secara tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang sebenarnya berdasar pengalaman jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan ada barang dagangan yang menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out (FIFO) sulit dijalankan karena penimbunan persediaan/stock barang yang peletakkannya sembarangan tidak dilakukan secara sistematis berdasarkan periode pengadaan melainkan ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar menjadi tampak kumuh karena penuh dengan tumpukan barang-barang milik pedagang sebagai persediaan barang dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan menumpuk-numpuk hingga tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi tidak lancar dan sinar dari cahaya matahari atau lampu penerangan terhalang yang akibatnya los dan lorong/gang pasar menjadi pengap (panas) dan gelap sehingga keadaan pasar menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan pengetahuan tentang "merchandising" sederhana kepada para pedagang, sehingga mereka mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan penimbunan stock barang dagangan (inventory) yang efisien dan ekonomis serta aman bagi kelancaran aktivitas usaha. Di sini para pedagang perlu memahami kebiasaan para pelanggannya kapan membeli dalam jumlah besar atau jumlah yang normal, dan berapa besarnya jumlah pembelian. Selain itu, juga perlu memahami kapan waktunya sulit untuk mendapatkan pasokan. Dengan memahami kondisi kebutuhan dan pasokan tersebut, para pedagang dapat memperkirakan besarnya persediaan barang dagangan yang harus disediakan berdasarkan periode penjualan. Persediaan barang dagangan ini ekonomis, efisien dan aman bagi kelangsungan usaha.

Agar para pedagang tradisional dapat memahami cara untuk mengatasi kelemahan-kelamahan di muka, maka pihak pengelola pasar sebagai pembina perlu mensosialisasikan pengetahuan tentang pemasaran dan merchandising sederhana kepada para pedagang. Untuk itu, kepada pihak pengelola pasar harus terlebih dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih dahulu, atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga, namun jangan sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu.

REVITALISASI PASAR TRADISIONAL
Kebijakan Pemeerintah dan Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional masih lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) phisik  bangunan pasaqr. Masih sangat jarang yang disertai dengan pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti mengembangkan organisasi (organizational development) pengelola dan pembina pasar tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.

Berdasarkan pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian, bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali semrawut serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali pasar. Terlebih lagi, setelah direnovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran daerah. Hal ini terjadi karena kebijakan revitalisasi pasar tradisional masih hanya sebatas menyentuh bangunan phisik pasar semata yang seringkali kurang diikuti dengan aktiviast perawatan atau pemeliharaan bangunan phisik pasar.

Mulai tahun 2012, Kementerian Perdagangan memberikan bimbingan teknis kepada para pedagang bersama para pengelola pasar tradisional tentang cara berjualan yang baik, seperti mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar, cara berdagang yang baik dengan penataan barang dagangan yang menarik pembeli dan pengelolaan pasar. Kegiatan ini masih difokuskan pada pasar-pasar tradisional yang telah direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar Grabag di Kabupaten Purworejo, Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar Minulyo di Kabupaten Pacitan.

Selain dibangun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan bangunan pasar juga dilakukan oleh pihak swasta, di mana pihak swasta bertindak sebagai pihak pengembang yang berhak menjual kios-kios di lokasi tertentu, biasanya di bagian bangunan pasar yang menghadap ke luar, baik di lantai dasar maupun di lantaui atas apabila  bangunan pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat. Sedangkan pihak Pemerintah Daerah bertindak sebagai pengelola pasar yang bersangkutan ketika telah selesai direnovasi. Namun di beberapa daerah, pihak swasta yang bertindak sebagai pengembang juga diserahi untuk mengelola pasar setelah selesai direnovasi dengan cara pengelolaan swasta yang biasanya lebih profesional dibanding dengan pengelolaan oleh Pemerintah Daerah, sehingga pasarnya tampak lebih rapi, bersih dan nyaman.

Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan pihak swasta biasanya menghasilkan bangunan pasar yang lebih besar, bertingkat dan tampak megah. Seringkali pada saat merencanakan bangunan pasar yang baru tidaklah terlalu rinci mempertimbangkan jumlah pedagang yang akan berdagang dan jumlah pembeli yang akan dilayani di pasar yang baru nanti. Pengembang berpandangan bahwa apabila dibangun pasar yang lebih besar, lebih baik  dan lebih megah, maka pasar tersebut akan semakin ramai karena lebih banyak pengunjung atu pembeli. Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada tempat berbelanja lain yang sudah terlebih dahulu beroperasi yang menarik banyak pengunjung, Di sini pengembang dan pengelola pasar harus menjadikan pasar tradisional yang baru tersebut lebih menarik untuk dikunjungi dibanding dengan pasar lain termasuk pasar moderen yang sudah terlebih dahalu ada.. Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar tradisional yang baru tersebut tampak kosong, sepi pengunjung dan sebagaian dari para pedagang menutup kegiatan usahanya.

Permasalahan revitalisasi sebenarnya muncul sejak awal pada saat penjualan kios atau lapak bagi para calon pedagang yang baru. Penjualan kios oleh pihak pengembang bersifat jual putus di mana pihak pengembang tidak lagi berwenang menentukan jenis barang dagangan setelah kios tersebut dijual ke pedagang. Permasalahan muncul ketika kios atau lapak yang sudah dibeli oleh pihak pertama dijual kembali ke pedagang lain yang jenis dagangannya berbeda dengan barang dagangan yang sudah ditentukan untuk zona di mana kios atau lapak tersebut berada. Inilah yang menjadi salah satu sumber ketidaktertiban zonanisasi barang dagangan di banyak pasar tradisional pada dewasa ini. Untuk mencegah terjadinya hal ini, maka setiap peralihan hak milik kios atau lapak harus sepengetahuan pihak pengelola pasar. Apabila jenis dagangan dari pedagang yang bertindak sebagai pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis barang dagangan yang ditetapkan untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah sebaiknya tidak diteruskan.

Di banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang telah direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu lapak atau kios, sekalipun sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau kios. Sedangkan sisa lapak atau kios yang sudah dimiliknya disewakan atau dijual kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak sebagai investor yang kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa (privilige). Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali menjadi salah satu penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di pasar-pasar tradisional yang telah selesai direnovasi atau dibangun kembali dan mulai beroperasi kembali.

Sebagaian dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak di los pasar atau pemilik warung di luar pasar (di rumah-rumah penduduk di sekitar pasar) atau ex PKL di sekitar pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan operasi ke lapak pasar seringkali menimbulkan masalah pada pasar tradisional, terutama dalam hal kebersihan pasar dan ketidakterarturan penataan barang dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan tentang ketertiban dan kebersihan pasar. Mereka harus mengikuti jam operasi pasar yang sudah ditentukan. Dalam mendisplai barang dagangannya mereka harus mengikuti aturan tidak boleh menjorok jauh ke depan, sehingga mengurangi lebar gang atau lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak boleh terlalu banyak menimbun barang dagangan (stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.

Sebaiknya, . untuk menhindari kegagalan program revitalisasi pasar tradisional, maka pada saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan kapasitas pasar yang akan dibangun harus sesuai dengan jumlah pedagang yang sekarang ada, kemungkinan penambahan jumlah pedagang yang sekarang ada, serta jumlah dan segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar tersebut. Seringkali dijumpai banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang sejak di psar lama, ketika berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang diperolehnya menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak pedagang baru yang harus ditampung. Kondisi ini menjadi alasan para pedagang untuk menata barang dagangannya melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari batas yang diperkenankan. Akibatnya gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang di pasar.

Selanjutnya, juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola pasar (manajemen pasar) yang akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka sejak awal diberikan pelatihan tentang manajemen pasar dan diwajibkan menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan di bawah bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen pasar. Pelatihan dan penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada saat aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung. Pengetahuan yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan yang telah dibuat, hendaknya dipratikan di lingkungan pasar di penempatan sementara  selama bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun kembali, agar mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.

Kepada para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara, diperkenalkan pengetahuan sederhana tentang perdagangan eceran mencakup merchandising seperti merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian (merencanakan stock), sortasi dan pengemasan, penataan dan penyimpanan barang secara sistematis sesuai dengan prinsip FIFO serta pengetahuan tentang manajemen keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi calon pengelola pasar, kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.

Selanjutnya, sejak awal kepada  para pedagang juga diperkenalkan tentang penanganan kebersihan yaitu setiap pedagang diwajibkan memiliki tempat sampah sementara di lapak atau kiosnya masing-masing, bisa berbentuk kantung plastik atau tempat sampah dari plastik yang sedapat mungkin sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Setiap kantung sampah tersebut penuh dibuang ke tempat sampah yang terletak di gang atau lorong dekat lapak atau kiosnya. Tujuan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik adalah untuk persiapan apabila sampah-sampah tersebut diolah menjadi kompos yang ini harus sudah dipikirkan sejak jauh-jauh hari. Selain itu, pedagang juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan di lokasi sekitar setiap lapak atau kiosnya. Kepada setiap pedagang diajarkan untuk mematuhi batas tempat yang diijinkan berjualan sehingga tidak mengurangi lebar gang di losnya masing-masing. Dengan melibatkan pedagang dalam hal kebersihan dan ketertiban pasar, maka beban pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan. Apabila kebiasaan-kebiasaan seperti ini sudah ditanamkan sejak dini,  khususnya pada pasar yang sedang direnovasi  atau dibangun kembali, maka diharapkan kebiasaan-kebiasaan ini akan terus berlanjut di pasar yang baru.

Pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi, masalah yang terpelik adalah pembagian lapak dan kios. Di sini perlu dilibatkan calon pengelola pasar yang baru, karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa para pengelola pasar merasa tidak tahu menahu tentang pembagian lapak atau kios pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi. Para pengelola pasar yang baru pada umumnya hanya ditugasi menjalankan pengelolaan pasar, sehingga ketika pasar yang baru sudah berjalan kemudian terjadi ketidakdisiplinan zonanisasi pedagang, pihak pengelola cenderung membiarkan atau tidak mau bertanggung jawab, karena merasa tidak dilibatkan awal pembentukan zona pedagang berdasarkan jenis barang dagangan. Padahal ketidaktertiban zonanisasi pedagang merupakan titik awal mulai terjadinya kesemerawutan pasar tradisional.

MANAJEMEN PASAR TRADISIONAL
Keterbatasan kemampuan manajerial pengelola pasar tradisional mempengaruhi kondisi pasar yang bersangkutan, bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab utama melekatnya stigma negatif yang kini melekat di pasar-pasar tradisional pada umumnya. Berdasarkan pengalaman empiris di 30 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional yang memiliki tingkat kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim Pengelola Pasar dengan organisasi yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja jelas dan cukup rinci. Selain itu pengelola pasar tersebut juga secara intensif dibina dan disupervisi oleh SKPD yang membidangi pasar tradisional dan pedagang (pedagang pasar dan PKL), dengan perkataan lain pasar tradisional tidak semata difungsikan sebagai pengkontribusi PAD.

Seringkali Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang (otoritas) dalam mengelola pasar tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas yang berada di bawah kendali SKPD lain di luar SKPD yang mebidangi pasar dan pedagang, seperti petugas-petugas  yang menangani perparkiran, kebersihan dan pertamanan, pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana (bangunan, fasilitas air bersih, listrik, pengolahan sampah dan air limbah), dan juga terkadang yang menangani ketertiban PKL. Di sini peran SKPD pembina sangat diperlukan untuk berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.

Bentuk organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan efektivitas pengelolaan pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk organisasi pengelola adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi lebih dari satu pasar ( tiga atau empat pasar). Seringkali kemampuan manajerial Kepala UPTD tidak seimbang dengan jumlah pasar yang harus dikelolanya, sehingga terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai unit sumber PAD.

Di beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional berbentuk Perusahaan Daerah (PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan Bogor. PERUSDA biasanya memiliki kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding pihak-pihak penngelola pasar ttradisional di bawah SKPD yang membidangi pasar. Namun tampaknya kemampuan dalam membina para pedangan di pasar-pasar tersebut masih lemah, sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar tradisional di bawah PERUSDA masih terlihat.

PENUTUP
Pembinaan pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi, mulai di tingkat kebijakan hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat memerlukan bentuk-bentuk pembinaan yang saling terkait satu bidang dengan bidang lain. Sebagai contoh, pembinaan pasar tradsional beserta pedagang pasar dan PKL  di tingkat operasional merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya. Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk pembinaan manajemen pasar tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL dan lingkungannya, ketertiban perparkiran, penataan jalur angkutan kota, penataan tempat pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata kuliner. Keterkaitan dengan bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang diperhatikan, sehingga penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang maksimal karena kurang dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Mengingat kondisi pasar tradisional yang seperti ini sudah berlangsung sejak lama, maka perlu kebijakan dan tindakan yang konsisten serta berkesinambungan yang tidak bisa mengharapkan hasilnya segera tampak. Perbaikan yang harus dilakukan harus menyentuh perubahan perilaku masyarakat (aparatur dan petugas serta pedagang dan pengunjung pasar) yang ini memerlukan banyak contoh yang dapat dimulai dengan bentuk-bentuk pilot project.

Berdasarkan pengalaman empiris di banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar dan pedagang pasar tradisonal sangat ditentukan oleh kepedulian  para Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) yang diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kebijakan Kepala Daerah yang menetapkan pasar sebagai salah satu sumber PAD tanpa diikuti dengan pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan sebagai tambahan biaya operasional  dan perawatan/pemeliharaan serta  biaya pembinaan bagi pengelola dan pedagang pasar, maka hal ini  menjadi penyebab utama kondisi pasar-pasar tradisional memiliki ber-stigma negatif seperti kumuh, semrawut, kotor, dan tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat konsumen.
 

Kamis, 11 Oktober 2012

PEMERINTAH BINA DAN BERDAYAKAN PKL

Pedagang Kaki Lima (PKL) di banyak kota seringkali menimbulkan masalah seperti munculnya kawasan kumuh, kemacetan lalulintas, mengganggu keberadaan pedagang pasar tradisional. Namun keberadaannya tidak bisa dengan serta merta diabaikan begitu saja. Keberadaan PKL sebagai konsekwensi dari terbatasnya penyediaan lapangan pekerjaan sektor formal. Di lain pihak, jumlah tenaga kerja tumbuh lebih pesat dari waktu ke waktu terutama yang datangnya dari daerah pedesaan yang dikenal dengan urbanisasi. Memang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dari dahulu  sampai sekarang lebih pesat terjadi di kawasan perkotaan dibanding di kawasan pedesaan. PKL sebagai lapangan pekerjaan informal di suatu daerah adalah sektor usaha yang paling mudah dimasuki, namun juga paling mudah ditinggalkan ketika seseorang telah mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih layak,  baik yang masih juga di sektor informal di daerah lain, maupun di sektor formal seperti sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan.

Keberadaan PKL dan permasalahannya belum dapat diatasi pada dewasa ini dalam arti mengurangi atau menghambat pertambahannya, sehingga yang bisa dilakukan adalah menata dan memberdayakan mereka. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (PERMENDAGRI) Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima menata dan memberdayakan PKL melalui keterlibatan secara berjenjang sejak dari Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan dilanjutkan ke jenjang Gubernur dan Bupati/Walikota yang berkewajiban melakukan penataan dan pemberdayaan PKL. 

Tujuan dan pemberdayaan PKL adalah:
a. memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan 
    peruntukannya;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang 
    tangguh dan mandiri; dan
c. untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana 
    perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.   

Adapun ruang lingkup dari penataan dan pembinaan PKL adalah:
a.  pendataan;
b.  perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal;
c.  fasilitas akses permodalan;
d.  penguatan kelembagaan;
e.  pembinaan dan bimbingan teknis;
f.  fasilitasi kerjasama antar daerah; dan
g.  mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.

Selanjutnya secara hirarkhi menurut  PERMENDAGRI No. 41 Tahun 2012 tersebut Gubernur melalukan penataan melalui:
a. fasilitasi penataan PKL lintas kabupaten/kota di wilayahnya;
b. fasilitasi kerjasama penataan PKL antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
c.  pembinaan Bupati/Walikota di wilayahnya.

Adapun Bupati/Walikota dalam melakukan penataan PKL memakai cara:
a. pendataan PKL meliputi identitas, lokasi, jenis tempat usaha  baik yang bersifat tidak bergerak
   (berpindah-pindah tempat) maupun bergerak, bidang usaha dan modal usaha;
b. pendaftaran PKLbaik untuk PKL lama maupun baru yang nantinya kepada setiap PKL yang sudah
    terdaftar dan memenuhi persyaratan dasar penerbitkan Tanda Daftar Usaha (TDU) diberikan TDU;
c. penetapan lokasi PKL yang dapat bersifat permanen dan sementara;
d. pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL bagi PKL yang menempati lokasi yang tidak
    sesuai dengan peruntukan; dan
e. peremajaan lokasi PKL pada lokasi binaaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi
    prasarana, sarana dan utilitas kota.

Dalam pemberdayaan PKL, Gubernur melakukan:
a. fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
b. pembinaan dan supervisi pemberdayaan PKL yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

Sedangkan Bupati/Walikota melakukan pemberdayaan PKL antara lain melalui:
a.  peningkatan kemampuan berusaha;
b. fasilitasi akses permodalan;
c. fasilitasi bantuan sarana dagang;
d. penguatan kelembagaan;
e. fasilitasi peningkatan produksi;
f. pengolahan, penegmbangan jaringan dan promosi; dan
g. pembinaan dan bimbingan teknis.

Selama ini dalam penetapan lokasi PKL binaaan, Pemerintah Kabupaten/Kota dihadapkan masalah keterbatasan lahan. Apabila tersedia, lahan namun peruntukkan lahan tersebut tidaklah sesuai dengan rencana penempatan PKL. Ada beberapa alternatif lokasi yang akan dipakai oleh para PKL binaan, yaitu lokasi yang cukup luas, sesuai dengan peruntukannya dan biasanya terletak dipinggir kota, tempat-tempat kosong di pasar tradisional, dan di sekitar lokasi sekarang di mana PKL beroperasi. 

Untuk lokasi yang cukup luas dan sesuai untuk peruntukkan hendaknya sejak awal direncanakan sebagai upaya pembentukan pasar, di mana penempatan PKL yang sekarang adalah awal atau embrio pasar yang akan dibentuk. Apabila lokasi tersebut berada di pinggiran, jauh dari pusat kota, maka perlu dipersiapakn jalur atau rute angkutan umum perkotaan (ANGKOT) yang melalui lokasi tersebut. Selain itu, sejak awal disiapkan papan penunjuk jalan ke lokasi tersebut. Hal ini yang sudah dilakukan di Solo, ketika terjadi perpindahan lokasi PKL klitikan di daerah Banjarsari (daerah perumahan elit) ke Notoharjo, Semanggi di pinggiran kota Solo (pinggir Bengawan Solo) di mana Pemerintah Surakarta menyediakan jalur angkutan kota melalui daerah tersebut dan memasang petunjuk-petunjuk jalan ke lokasi tersebut. Cara pemindahannya pun tanpa gejolak, dan cukup unik prosesnya dipimpin langsung oleh Walikota dan Wakil Walikota setelah bertemu langsung dengan PKL yang akan dipindahkan sebanyak 54 kali sebelum dipindahkan. Kini lokasi tersebut menjadi Pasar Klitikan Notoharjo.


Kedua, PKL dipindahkan ke lokasi yang menempati tempat-tempat kosong di pasar tradisional. Pemindahan ini dapat dilakukan dengan mengatur jam operasi PKL bergantian dengan Pedagang Pasar Tradisional. Misalnya di pagi-pagi hari pukul 5 - 8 pagi para PKL diperkenakan berjualan di halaman pasar tradisional, kemudian setelah jam 8 pagi para PKL bubar dan para Pedagang Pasar Tradisoinal mulai beroperasi.  Demikian juga di sore hari, misalnya setelah pukul 16 atau 17 pasar tradisional boleh mulai beroperasi, ketika para pedagang di pasar tradisional mulai berhenti beroperasi. Pemindahan lokai PKl dapat juga dilakukan ke tempat-tempat kosong di dalam pasar tradisional, baik di lantai dasar maupun di lantai atas, jika pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat.

Di kota-kota besar, keberadaan PKL diperlukan untuk memenuhi kebutuhan terutama makanan bagi para karyawan yang bekerja di sektor formal seperti di kawasan perkantoran dan kebutuhan para pelayan pusat perbelanjaan. Para PKL tersebut perlu ditampung di lokasi di kawasan perkantoran seperti di kantin-kantin perusahaan dan dibina oleh perusahaan yang para karyawannya berbelanja ke para PKL tersebut, seperti dalam hal penataan dagangan, perbaikan pelayanan dan bagi PKL kuliner bagaimana membuat dan menyajikan makanan secara higienis. Apabila ini bisa dilakukan oleh setiap perusahaan di mana para karyawannya membutuhkan jasa PKL, maka upaya perusahaan ini cukup membantu penataan dan pembinaan PKL yang telah dicanangkan melalui program pemerintah.

Di banyak daerah muncul aktivitas PKL kuliner dan kerajinan yang dikelola secara terorganisasi oleh paguyuban PKL kuliner dan kerajinan, dan menarik banyak pengunjung, baik penduduk setempat maupun pendatang yang sedang berkunjung ke daerah tersebut. Aktivitas yang teratur, bersih dan layanan pengunjung dengan cara mengikuti berkepribadian (bersopan-santun) setempat menjadikan lokasi ini menjadi ikon kota yang bersangkutan, seperti Malioboro di Yogyakarta dan GALABO di Solo. Sehingga akhirnya lokasi ini menjadi pendukung pariwisata di kota-kota tersebut. 

Upaya memindahkan lokasi usaha PKL ke suatu tempat yang kemudian dijadikan pasar tradisional atau memindahkan ke pasar tradisional memerlukan tindakan lanjutan berupa pengubahan perilaku PKl yang terbiasa bebas dalam berjualan menjadi perilaku yang harus memperhatikan kebersihan dan kerapian dalam penataan dagangan. Upaya ini harus dilakukan oleh pihak pengelola pasar, sehingga mantan PKl tersebut dapat segera menyesuaikan diri dalam berjualan seperti pedagang tradisional lain pada umumnya yang sudah terbiasa berjualan di pasar tradisional.

Untuk memudahkan pembinaan PKL, maka sejak awal perlu membentuk paguyuban PKL dengan menunjuk PKL yang berkharisma atau memiliki wibawa di antara para PKL lain, sebagai ketua paguyuban. Sehingga ketika akan dilakukan upaya pembinaan seperti pelatihan atau pemberian bantuan sarana dan modal usaha, maka pihak pembina cukup menghubungi ketua paguyuban. Paguyuban ini secara bertahap diarahkan menjadi Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan akhirnya terbentuk Koperasi yang antara lain berperan dalam program kemitraan dengan para pemasok barang dagangan, mengupayakan bantuan permodalan, sarana usaha melalui program CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan pemasok seperti Teh Sosro, Indofood dan Unilever.

Pembentukan Koperasi secara bertahap dari pembentukan Paguyuban PKL yang kemudian ditingkatkan menjadi KUB dan Koperasi memerlukan waktu. Namun dengan cara bertahap ini akan memberikan pembelajaran kepada PKL tentang kehidupan berorganisasi dan membentuk usaha bersama, sehingga nantinya Koperasi yang terbentuk dapat memberikan manfaat kepada PKL anggota, bukan hanya kepada para pengurus Koperasi semata, dan memiliki kegiatan usaha yang tangguh serta memiliki posisi tawar yang kuat ketika akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar dan perbankan.
  
Pembinaan lainnya adalah peningkatan kemampuan dalam bentuk mengikutsertakan para PKL dalam berbagai pelatihan, seperti pelatihan kewirausahaan, cara menata dagangan dan melayani pembeli serta akutansi sederhana. Pelatihan kerwirausahaan dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada para PKL agar terus mengembangkan usahanya dan tidak selalu puas dengan perkembangannya sekarang. Banyak para pewaralaba dahulunya adalah PKL, namun dengan sikapnya yang tidak pernah puas dengan kemajuan usaha yang sekarang dipunyainya, mereka terus belajar menciptakan sistem usaha sehingga terwujudlah suatu usaha waralaba.

 Penguasaan akutansi sederhana di kalangan PKL akan menjadikan setiap PKL dapat dievaluasi peerkembangan usahanya dan ini bermanfaat untuk menyusun strategi pengembangan usaha yang dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan. Selain itu, jika setiap PKL sudah terbiasa menerapkan akutansi sederhana, maka dapat dipastikan Paguyuban yang dibentuk kemudian meningkat menjadi KUB akhirnya Koperasi memilki sistem akutansi yang cukup baik. Sehingga apabila dikehendaki untuk bermitra dengan perbankan, maka kelaikan usahanya dapat segera dipelajari oleh perbankan guna dapat menentukan besarnya bantuan dana permodalan yang akan diberikan.

Upaya pembinaan yang telah diuraikan di atas memerlukan kesiapan dalam penguasaan pengetahuan berusaha dan dedikasi yang tinggi dari para pembina PKL di lapangan. Oleh karenanya, sebelumnya kepada para pembina lapangan perlu diberikan pelatihan tentang semua pengetahuan yang dibutuhkan oleh para PKL. Upaya pembinaan yang akan dilakukan memerlukan waktu dan kesinambungan pendampingan. Sehingga upaya pembinaan dalam bentuk phisik seperti bantuan sarana usaha dan permodalan tidaklah cukup untuk mengembangkan kegiatan usaha PKL. Bantuan berupa pemberian pelatihan dan pendampingan lapangan merupakan hal yang mutlak yang harus diberikan kepada PKL.