Rabu, 29 Agustus 2012

TEMPAT SAMPAH DI PASARKU

Selama ini Pasar Tradisional dipersepsikan pasar yang kumuh, kotor,  banyak sampah di mana-mana. Apabila diruntut ke belakang memang di kebanyakan pasar, jarang dijumpai tempat sampah di dalam pasar. Kalaupun ada selain jumlahnya tak memadai juga tidak memenuhi syarat sebagai tempat sampah. Karena jumlahnya terbatas, maka tidak semua gang/lorong di dalam pasar dapat dijumpai tempat sampah.
 Di banyak pasar tradisional, tempat sampah yang tersedia berbentuk keranjang dari anyaman bambu dengan dinding yang berlubang-lubang  dan terbuka, tanpa tutup. Oleh karena ada lubang-lubang,  tentunya apabila dipakai sebagai tempat sampah, maka sebagian sampah yang tercecer melalui lubang-lubang tersebut. Terutama ketika keranjang tersebut dipindahkan atau dipakai untuk membawa sampah dari suatu tempat ke tempat penimbunan sampah sementara (TPS), sehingga tempat-tempat yang dilaluinya banyak dijumpai ceceran sampah.

Di pasar-pasar tradisional lain tersedia tempat sampah dari tong plastik atau drum yang dindingnya rapat tidak berlubang, namun tidak bertutup, sehingga menimbulkan bau dan banyak lalat. Namun kondisinya sudah lebih baik dibanding tempat sampah yang berbentuk keranjang anyaman dari  bambu.


Tempat sampah yang paling ideal memenuhi syarat dan ini biasanya dijumpai di pasar-pasar tradisional yang baru saja direnovasi atau dibangun kembali. Biasanya berbentuk tong yang sengaja dibuat untuk tempat sampah. Biasanya terdiri dari dua tempat sampah tertutup, untuk sampah basah dan kering, atau tempat sampah organik dan anorganik. Ada yang terdiri dari tiga tempat sampah yang selain untuk sampah organik dan anorganik juga untuk sampah limbah B3. Berdasarkan pengamatan penulis di berbagai Pasar Tradisional di Jawa Tengah, penggolongan jenis sampah tersebut masih sebatas tanda di tempat sampah, karena pada kenyataannya semua jenis sampah bercampur aduk.  Tampaknya penggolongan jenis sampah ini masih sebatas keinginan untuk memenuhi salah satu kriteria Pasar Sehat, tetapi dalam pelaksanaannya belum ditindaklanjuti dengan kesiapan Sumber Daya Manusia, baik dari segi perubahan perilaku pedagang dan pengunjung pasar maupun kesiapan petugas kebersihan. Kebanyakan mereka juga belum mengetahui penggolongan ini dan tujuannya, ini menandakan bahwa belum ada sosialisasi yang dilakukan secara berkesinambungan dalam periode yang cukup panjang.  

Selanjutnya, setelah sampah terhimpun di tempat-tempat sampah, umumnya ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang pada umumnya berupa kontainer yang setiap hari s/d 2 hari sekali dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di salah satu Pasar Tradisional (Pasar Kota Boyolali) dijumpai kontainer sampah diletakkan di sebelah unit pembuatan kompos (pupuk organik), sehingga sampah yang telah dipisah-pisahkan di tempat-tempat sampah, khusus untuk sampah organik diproses dijadikan kompos. Namun penulis pada akhir Juli 2012 mendapati bahwa unit pengolahan kompos tersebut sudah tidak beroperasi dengan alasan tidak ada petugas yang mengoperasikannya. Petugas yang pernah dilatih mengoperasikan unit pengolahan sampah ini sudah tidak bertugas di situ lagi.
Di pasar lain, pengolahan sampah menjadi kompos dilakukan dengan  menggunakan tong-tong plastik yang difungsikan sebagai komposter. Tampaknya hal ini juga tidak berjalan baik, karena sejak awal tidak dipersiapkan SDM-nya dengan serius. Aktivitas ini masih sebatas pada kegiatan yang bersifat ad-hoc dan parsial sehubungan dengan event tertentu. Bukan sengaja ditujukan untuk program mengubah citra Pasar Tradisional menjadi lebih bersih dan nyaman. Apabila kegiatan yang bersifat ad-hoc dan parsial ini dilakukan terus menerus, maka upaya mengubah citra Pasar Tradisioanal menjadi pasar bersih dan nyaman sulit untuk diwujudkan sampai kapan pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar