Senin, 20 Agustus 2012

PINTU MASUK PASARKU




Kebanyakan pasar tradisional memiliki pintu masuk yang tertutup oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berdagang di depan pasar tersebut. Sehingga para pengunjung sulit untuk masuk ke pasar. Hal ini berakibat merugikan pedagang pasar yang berjualan di dalam pasar, karena cukup berbelanja di depan tidak perlu masuk ke pasar, kecuali membeli sesuatu yang tidak dapat dijumpai di PKL. Sebagian dari PKL tersebut semula adalah pedagang pasar yang berjualan di dalam pasar, kemudian mereka ke luar pasar karena merasa tersaingi oleh PKL. Hal ini lumrah terjadi pada pasar-pasar lama, dan kini juga cenderung terjadi pasar yang telah direnovasi beberapa tahun lalu. Biasanya ketidakadaan PKL berjualan di depan pasar hanya dapat bertahan 1 -2 tahun, kemudian sedikit demi sedikit PKL mulai berdagang di mulut pintu masuk, sampai pada akhirnya bersama-sama dengan ex pedagang pasar yang ke luar menduduki seluruh bagian depan pasar, sehingga praktis menutupi seluruh bagian depan hingga ke bagian samping dan belakang pasar. Di lain pihak, tempat-tempat kosong di dalam pasar semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun, sehingga pasar ditinggalkan oleh para pedagang dan pengunjungnya.

Berikut adalah contoh pintu masuk pasar yang masih terbebas dari PKL atau pedagang "oprokan" (pedagang lesehan yang tidak memiliki tempat berdagang/lapak yang permanen), ketika pasar ini belum lama dilakukan pembangunan kembali (renovasi). Di banyak pasar, kondisi ini sulit dipertahankan dan apabila tetap bersih, karena menghadapi event tertentu, seperti selama periode penilaian dalam rangka ADIPURA. Upaya pembersihan yang dilakukanpun biasanya dengan kekerasan dengan melibatkan SATPOL PP(Satuan Polisi Pamong Praja).
Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi pada pasar-pasar yang baru saja direnovasi atau dibangun. Keberadaan PKL berdagang di sekitar pasar, sangat mengganggu pedagang pasar. Berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 di pasar-pasar tradisional di kawasan JABODETABEK dan Bandung, terungkap bahwa PKL adalah pesaing nomor tiga dari pedagang pasar, setelah sesama pedagang dan peritel moderen. Oleh karena, sedapat mungkin PKL dilarang berdagang di sekitar pasar. Apabila terpaksa terjadi, mereka diharuskan berdagang di dalam pasar sebagai pedagang "oprokan" dan jumlahnya dibatasi. Kemungkinan lain adalah menyediakan tempat berdagang yang lokasinya jauh dari pasar tradisinal yang sudah ada. Hal ini baru dapat dilakukan, apabila kebijakan penanganan pembinaan Pasar Tradisional dan PKL bersifat terintegrasi, tidak sepotong-potong. Menjadi lebih mudah, apabila penanganannya berada di satu SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yaitu Dinas Pasar dan PKL.
Gambar di atas menunjukkan bahwa setelah pasar tersebut di renovasi, beberapa tahun kemudian PKL dibiarkan berdagang menutupi pasar dan tampaknya tidak ada upaya penyelesaian untuk memindahkan PKL dari depan pasar. Di sini terjadi pasar tumpah yang permanen, bahkan cenderung membesar. Di lain pihak, belum seluruh lapak di dalam pasar beroperasi penuh setiap hari. Ataupun apabila memang pasar sudah tidak dapat lagi menampung,maka perlu diupayakan perluasan bangunan pasar dengan menjadikan PKL sebagai pedagang pasar. Namun perluasan bangunan pasar dengan alasan keterbatasan lahan tidak harus bertingkat. Kebanyakan pasar yang telah dibangun bertingkat, lantai atas ditinggalkan oleh para pedagang karena pengunjung enggan berbelanja ke atas, akibatnya kembali para pedagang meninggalkan lapaknya dan berdagang di bawah terutama bagian depan pasar. Kembali persoalan lama terjadi, perluasan bangunan pasar tidak selalu menjadi solusi.Perluasan bangunan pasar perlu dipikirkan masak-masak. Apakah menjadi satu-satunya solusi? Sebaiknya perlu dicari akar permasalahan secara mendalam, sebelum mengambil keputusan memperluas bangunan pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar