Kamis, 30 Agustus 2012

PEDAGANG KAKI LIMA DI PASARKU

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) beralasan untuk memanfaatkan para pengunjung pasar yang kadang-kadang memang tidak dapat dipenuhi oleh pedagang pasar yang ada karena jumlahnya terbatas, sehubungan luas areal pasar yang juga terbatas. Dalam kondisi seperti ini, sebagai alasan yang dapat dibeanrkan adalah keberadaan mereka di sana, karena Pasar Tradisional yang tidak dapat menampung PKL. Namun ketika suatu pasar tradisional direnovasi atau dibangun kembali dengan luas bangunan yang lebih luas, keberadaan mereka tetap ada di situ.
Pada kondisi pasar setelah direnovasi atau dibangun kembali dengan bangunan yang lebih luas, keberadaan PKL di sekitar pasar sangat mengganggu pedagang di dalam pasar. Seringkali para pedagang pasar kehilangan pelanggan karena dihadang oleh PKL dengan jualan yang sama jenis dan kualitasnya, sehingga para pelanggan tidak perlu bersusah payah masuk ke dalam pasar. Bahkan, para pelanggan tidak perlu turun kendaraan roda dua yang dikendarainya yang berhenti tepat di depan PKL yang ditujunya. Sungguh praktis dan nyaman untuk berberlanja, tanpa kehilangan uang biaya untuk parkir. Pada akhirnya para pedagang di dalam pasar hanya dapat mengandalkan para pelanggannya yang tetap loyal berbelanja ke dirinya.
Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan berlangsung dan biasanya di banyak Pasar Tradisional memang dibiarkan, maka para pedagang di dalam pasar yang tersaingi oleh PKL melemah daya tahannya. Agar tetap dapat bertahan berjualan di pasar, maka mereka keluar pasar terutama yang biasa berdagang di lantai atas atau tempat-tempat yang kurang strategis (jarang dilalui oleh para pengunjung) untuk turut berjualan di lokasi yang sama dengan PKL. Akibatnya, pasar di bagian dalam terutama di lantai atas dan tempat-tempat yang kurang strategis menjadi kosong, tidak ada pedagang yang berjualan di situ. Di sini para pedagang terpaksa harus membiarkan asetnya berupa tempatnya berjualan yang sudah terlanjur dibeli atau disewanya yang bila diukur dengan  modal awal yang dimilikinya ternyata cukup besar.  
Hal ini yang terjadi di mana-mana, terutama ketika suatu Pasar Tradisional mulai beroperasi kembali setelah direnovasi atau dibangun kembali. Sungguh ironis keadaan ini, sehingga tujuan semula dari program revitalisasi Pasar Tradisional  melalui renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, yaitu 1) untuk menghilangkan kesan kumuh dan semrawut pada Pasar Tradisional; dan 2) menyediakan tempat berdagang yang layak kepada para pedagang pasar lama dan PKL untuk mencari nafkah yang lebih baik daripada semula, menjadi tidak dapat tercapai seutuhnya. Kemungkinan besar hasil yang dapat direalisasikan dari program ini adalah bertambah besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari restribusi pasar dan pendapatan lain. Sehingga di sini terjadi siklus yang berulang, yaitu: dari kondisi pasar yang awalnya kumuh, kotor dan semrawut kemudian untuk sementara berubah menjadi rapi, bersih dan nyaman, dan kembali kumuh, kotor dan semrawut, persis seperti keadaan awal. Ini merupakan kondisi akhir yang akan tidak pernah berubah menjadi lebih baik, tanpa ada komitmen yang kuat dari Kepala Daerah beserta jajarannya untuk mengubahnya yang diwujudkan dengan upaya yang sistematis, serius dan berkesinambungan.   
Berikut salah satu contoh yang dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Pemerintah Kota Solo yang memindahkan para PKL ke lantai dua di Pasar Nusukan yang dilakukan sejak bulan Januari 2012. Pada mulanya, kios dan lapak lantai dua Pasar Nusukan banyak yang kosong tidak dipakai berjualan oleh para pemiliknya. Alasan utama kenapa hal ini terjadi, karena hanya beberapa pengunjung pasar yang bersedia berbelanja atau sekadar mengunjungi lantai dua. Oleh karenanya pertama kali yang diupayakan adalah terlebih dahulu meramaikan transaksi penjualan di lantai dua dengan memindahkan para PKL yang berdagang di sekitar pasar ke lantai ini. Adanya peningkatan keramaian karena mulai didatangi oleh para pengunjung yang semula kemungkinan adalah para pelanggan PKL, maka beberapa pemilik lama kios dan lapak sedikit demi sedikit kembali berdagang di situ mengoperasikan aset yang sudah menganggur cukup lama. Para PKL menempati lokasi yang kosong termasuk di gang/lorong di depan kios yang masih tutup. Oleh karena sebelumnya adalah PKL, maka mereka dalam  berdagang di tempatnya yang baru  sudah barang tentu membawa kebiasaannya berperilaku sebagai PKL. Sebagai akibatnya, sebagian lantai dua menjadi terlihat kumuh dan semrawut. Mereka belum mengenal cara menata barang dagangan, hanya sekadar menumpuk-numpuknya seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.


Pengalaman ini juga dialami di Pasar Gading, Solo ketika para PKL yang beroperasi di jalan di sekitar pasar dipindahkan ke lantai dua pada pasar tersebut. Langkah yang dilakukan pada waktu itu, adalah merubah perilaku para PKL dan hal ini dilakukan secara perlahan, penuh dengan ketelatenan dan kesabaran, serta berkesinambungan oleh pihak pengelola pasar. Memang langkah ini memerlukan waktu yang cukup lama paling tidak selama 6 (enam) bulan bahkan satu tahun. Namun kini hasilnya sudah mulai nampak. Para PKL yang pada umumnya berjualan pakaian bekas, mulai terbiasa menata barang dagangannya, tidak lagi sekadar menumpuk-numpuk tetapi sudah ditatanya, digantung dengan menggunakan gantungan baju layaknya para pedagang pasar, sehingga tampak menarik para pengunjung. Mereka juga menjadi terbiasa memelihara kebersihan lingkungan tempatnya berjualan. Dengan diterapkan cara seperti ini, maka kebiasaan menggusur para PKL dengan menggunakan jasa Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) yang pada umumnya disertai dengan kekerasan sudah tidak diperlukan lagi. Cara yang dipakai ini layak ditiru untuk dapat diterapkan di daerah lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar