Salah satu penyebab dari munculnya citra negatif pada pasar tradisional saat ini adalah lemahnya pengelolaan pasar. Hal ini dapat dijumpai hampir di semua daerah terutama pada pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Selanjutnya upaya-upaya perbaikan terhadap kelemahan pengelolaan ini masih sebatas perbaikan phisik bangunan pasar. Setelah bangunan pasar dibangun atau direnovasi, biasanya perubahan tampilan pasar tradisional menjadi tampak lebih bersih dan tidak lagi kumuh hanya bisa dipertahankan untuk waktu sementara 3-5 tahun. Sesudahnya, keadaan pasar kembali sama seperti kondisi sebelum dibangun atau direnovasi.
Seringkali pembangunan kembali atau renovasi bangunan pasar dijadikan bukti bahwa pemerintah kabupaten/kota telah banyak berupaya membenahi pasar tradisional di wilayahnya. Namun mereka lupa bahwa pembangunan kembali atau renovasi bangunan pasar tidak cukup, bahkan kondisi pasar bersih dan nyaman hanya bersifat sementara sebelum pasar kembali menjadi kotor dan kumuh. Pembangunan kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) mutlak harus dilakukan di samping pembangunan phisik (bangunan) pasar, bila memang pemerintah kabupaten/kota benar-benar menginginkan merubah citra negatif pasar tradisional di wilayahnya.
Diakui bahwa pembangunan phisik (bangunan) pasar lebih mudah dilakukan dan tidak memerlukan waktu yang relatif lama. Sedangkan untuk membangun kelambagaan pasar dan SDM lebih sulit dan memerlukan waktu yang panjang, bahkan sepanjang masa secara berjenjang. Tetapi apabila ini juga dilakukan bersamaan pembangunan phisik (bangunan) pasar, maka hasilnya akan lain. Kesan kotor dan kumuh pasar tradisional dapat dihilangkan secara bertahap. Bahkan dalam jangka panjang kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan ketertiban di daerah yang bersangkutan akan tumbuh secara bertahap pula, sehingga berbagai program lain seperti perbaikan kesehatan masyarakat dan upaya meraih gelar kota bersih melalui ADIPURA juga dapat diwujudkan secara bersamaan. Hal ini semuanya dapat diwujudkan mengingat pasar adalah tempat bertemunya masyarakat pedagang dan konsumen serta ada keterlibatan para pengelola serta pembina pasar yang di dalamnya termasuk aparatur pemerintah dimulai tingkat pimpinan daerah sampai jajaran petugas di bawah.
Dalam mengembangkan kelembagaan dan SDM serta bangunan phisik pasar dimulai dari komitmen Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang komitmen ini dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta segala peraturan pelaksanaannya. Keberpihakan pemerintah kabupaten/kota terhadap perkembangan pasar tradisional di wilayahnya ke arah positif terlihat di dalam PERDA tersebut, seperti fungsi pasar yang menonjol seharusnya untuk memfasilitasi masyarakat agar kehidupannya menjadi lebih sejahtera melalui ketersediaan barang kebutuhan masyarakat konsumen dengan harga layak relatif tidak berfluktuasi, serta menyediakan kesempatan berusaha bagi masyarakat pedagang tradisional agar mereka dapat memperoleh pendapatan yang layak. Jadi fungsi utamanya bukan sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikenakan kepada para pedagang. Dengan kata lain pasar lebih bersifat "cost centre" daripada berfungsi sebagai "financial resources".
Selanjutnya komitmen tentang pembinaan pasar tradisonal yang tertuang dalam PERDA akan lebih jelas operasionalisasinya pada bentuk Organisasi yang membidangi pasar tradisional yang seringkali di beberapa daerah diwujudkan dengan membentuk Dinas Pasar atau Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) atau Bidang Pasar di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (DISPERINDAGKOP). Komitmen yang tampak paling ekstrim minimal ialah jika untuk tugas pembinaan pasar diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) yang ini banyak terjadi di luar Pulau Jawa, atau sedikit ekstrim jika tugas pembinaan tersebut diserahkan kepada Dinas Perdagangan dan Pendapatan Daerah seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di Jawa.
Apabila di dalam detail struktur organisasi dinas pembina pasar tradisional hanya terdapat Bidang atau Seksi yang menangani retribusi, keamanan dan ketertiban pasar, maka hampir dapat dipastikan bahwa penanganan aspek pembinaan pengelolaan pasar tidak akan tersentuh, terlebih lagi pembinaan terhadap pedagang pasar sama sekali akan luput dari perhatian. Hal ini lah yang sering banyak dijumpai di kabupaten/kota yang secara hirarkhi bermuara pada tampilan pasar tradisional di wilayahnya yang kebanyakan kotor dan kumuh.
Apabila melangkah lebih lanjut dari organisasi yang membidangi pasar tradisional di banyak kabupaten/kota, khususnya yang berkaitan dengan tatakelola, maka pada umumnya penjabaran PERDA tentang Pasar Tradisional ke arah lebih kearah teknis seperti Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure-SOP) untuk berbagai aktivitas pengelolaan pasar jarang dijumpai secara detail, bahkan seringkali tidak dijumpai adanya. Apabila ini ada, maka jarang atau tidak pernah sama sekali dipedomani dalam aktivitas sehari-hari. Sebagai alasan yang menonjol adalah para aparatur atau petugas pelaksana tidak mengetahui, ataupun apabila mereka sudah mengetahuinya mereka tidak dapat melaksanakannya dengan berbagai alasan seperti tidak pernah dilatih menggunakannya sebagai pedoman, jumlah aparatur pengawas dan petugas pelaksana terbatas dan tidak tersedianya peralatan kerja yang dibutuhkan. Masalah ini seringkali terus menerus terjadi dari waktu ke waktu, dan hampir tidak ada upaya yang serius untuk mengatasinya. Termasuk ketika dimulainya pengoperasian pasar kembali setelah selesai dibangun atau direnovasi, segala sesuatu yang sudah diuraikan di atas di banyak daerah tidak pernah diperhatikan sama sekali.
Masalah lain yang juga penting dan di banyak kabupaten/kota tidak banyak diperhatikan adalah pembinaan terhadap pedagang pasar, seperti yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan pasar bersih dan nyaman. Para pedagang harus memahami tentang prinsip persediaan barang dagangan yang dapat memenuhi kebutuhan pembeli/pelanggan dan ekonomis (efektif dan efisien), sehingga mereka tidak asal menimbun barang dagangan di lapak atau kiosnya yang menjadikan pasar menjadi gudang yang pada akhirnya los-los pasar tampak kumuh. Selain itu, para pedagang juga harus diberikan pemahaman tentang manajemen keuangan sederhana. Ini dimulai dari pemahaman tentang pemisahan keuangan pribadi dan keuangan usaha, agar mereka dapat menghitung pendapatan dan keuntungan secara benar. Di sini para pedagang dibiasakan membuat catatan pembukuan sederhana, sehingga apabila ada lembaga keuangan yang akan membantu permodalan, maka hal ini akan memudahkan kedua belah pihak untuk merealisasikannya. Bagi para pedagang dalam berjualan harus mendisplai barang dagangannya, maka kepada mereka juga harus diberikan pemahaman tentang teknik-teknik penyajian yang komunikatif yang dapat menarik para pengunjung pasar. Hal-hal yang sudah diuraikan di muka merupakan bagian dari teknik-teknik perdagangan eceran (ritel) sederhana yang apabila dapat dikuasai dan dilaksanakan oleh para pedagang, maka daya saing pasar tradisional terhadap pasar moderen akan meningkat. Sayangnya semua pihak pengelola pasar-pasar tradisional terutama milik pemerintah kabupaten/kota tidak memahami hal ini. Sehingga apabila diri mereka sendiri tidak paham, maka sudah dipastikan para pedagang pasar tidak akan pernah mengetahui teknik-teknik perdagangan eceran (ritel) yang benar. Selamanya mereka akan tetap berdagang yang secara teknis sama sekali tidak berkembang dari waktu ke waktu. Apakah pasar tradisional akan tetap dibiarkan seperti sekarang adanya? Apakah alasan kata tradisional yang menyebabkan para pengelola dan pedagang tidak perlu berubah memperbaiki diri? Apabila itu alasannya, maka pasar tradisional akan terus tertinggal jauh di belakang perkembangan pasar moderen.
Seringkali pembangunan kembali atau renovasi bangunan pasar dijadikan bukti bahwa pemerintah kabupaten/kota telah banyak berupaya membenahi pasar tradisional di wilayahnya. Namun mereka lupa bahwa pembangunan kembali atau renovasi bangunan pasar tidak cukup, bahkan kondisi pasar bersih dan nyaman hanya bersifat sementara sebelum pasar kembali menjadi kotor dan kumuh. Pembangunan kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) mutlak harus dilakukan di samping pembangunan phisik (bangunan) pasar, bila memang pemerintah kabupaten/kota benar-benar menginginkan merubah citra negatif pasar tradisional di wilayahnya.
Diakui bahwa pembangunan phisik (bangunan) pasar lebih mudah dilakukan dan tidak memerlukan waktu yang relatif lama. Sedangkan untuk membangun kelambagaan pasar dan SDM lebih sulit dan memerlukan waktu yang panjang, bahkan sepanjang masa secara berjenjang. Tetapi apabila ini juga dilakukan bersamaan pembangunan phisik (bangunan) pasar, maka hasilnya akan lain. Kesan kotor dan kumuh pasar tradisional dapat dihilangkan secara bertahap. Bahkan dalam jangka panjang kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan ketertiban di daerah yang bersangkutan akan tumbuh secara bertahap pula, sehingga berbagai program lain seperti perbaikan kesehatan masyarakat dan upaya meraih gelar kota bersih melalui ADIPURA juga dapat diwujudkan secara bersamaan. Hal ini semuanya dapat diwujudkan mengingat pasar adalah tempat bertemunya masyarakat pedagang dan konsumen serta ada keterlibatan para pengelola serta pembina pasar yang di dalamnya termasuk aparatur pemerintah dimulai tingkat pimpinan daerah sampai jajaran petugas di bawah.
Dalam mengembangkan kelembagaan dan SDM serta bangunan phisik pasar dimulai dari komitmen Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang komitmen ini dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta segala peraturan pelaksanaannya. Keberpihakan pemerintah kabupaten/kota terhadap perkembangan pasar tradisional di wilayahnya ke arah positif terlihat di dalam PERDA tersebut, seperti fungsi pasar yang menonjol seharusnya untuk memfasilitasi masyarakat agar kehidupannya menjadi lebih sejahtera melalui ketersediaan barang kebutuhan masyarakat konsumen dengan harga layak relatif tidak berfluktuasi, serta menyediakan kesempatan berusaha bagi masyarakat pedagang tradisional agar mereka dapat memperoleh pendapatan yang layak. Jadi fungsi utamanya bukan sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikenakan kepada para pedagang. Dengan kata lain pasar lebih bersifat "cost centre" daripada berfungsi sebagai "financial resources".
Selanjutnya komitmen tentang pembinaan pasar tradisonal yang tertuang dalam PERDA akan lebih jelas operasionalisasinya pada bentuk Organisasi yang membidangi pasar tradisional yang seringkali di beberapa daerah diwujudkan dengan membentuk Dinas Pasar atau Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) atau Bidang Pasar di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (DISPERINDAGKOP). Komitmen yang tampak paling ekstrim minimal ialah jika untuk tugas pembinaan pasar diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) yang ini banyak terjadi di luar Pulau Jawa, atau sedikit ekstrim jika tugas pembinaan tersebut diserahkan kepada Dinas Perdagangan dan Pendapatan Daerah seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di Jawa.
Apabila di dalam detail struktur organisasi dinas pembina pasar tradisional hanya terdapat Bidang atau Seksi yang menangani retribusi, keamanan dan ketertiban pasar, maka hampir dapat dipastikan bahwa penanganan aspek pembinaan pengelolaan pasar tidak akan tersentuh, terlebih lagi pembinaan terhadap pedagang pasar sama sekali akan luput dari perhatian. Hal ini lah yang sering banyak dijumpai di kabupaten/kota yang secara hirarkhi bermuara pada tampilan pasar tradisional di wilayahnya yang kebanyakan kotor dan kumuh.
Apabila melangkah lebih lanjut dari organisasi yang membidangi pasar tradisional di banyak kabupaten/kota, khususnya yang berkaitan dengan tatakelola, maka pada umumnya penjabaran PERDA tentang Pasar Tradisional ke arah lebih kearah teknis seperti Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure-SOP) untuk berbagai aktivitas pengelolaan pasar jarang dijumpai secara detail, bahkan seringkali tidak dijumpai adanya. Apabila ini ada, maka jarang atau tidak pernah sama sekali dipedomani dalam aktivitas sehari-hari. Sebagai alasan yang menonjol adalah para aparatur atau petugas pelaksana tidak mengetahui, ataupun apabila mereka sudah mengetahuinya mereka tidak dapat melaksanakannya dengan berbagai alasan seperti tidak pernah dilatih menggunakannya sebagai pedoman, jumlah aparatur pengawas dan petugas pelaksana terbatas dan tidak tersedianya peralatan kerja yang dibutuhkan. Masalah ini seringkali terus menerus terjadi dari waktu ke waktu, dan hampir tidak ada upaya yang serius untuk mengatasinya. Termasuk ketika dimulainya pengoperasian pasar kembali setelah selesai dibangun atau direnovasi, segala sesuatu yang sudah diuraikan di atas di banyak daerah tidak pernah diperhatikan sama sekali.
Masalah lain yang juga penting dan di banyak kabupaten/kota tidak banyak diperhatikan adalah pembinaan terhadap pedagang pasar, seperti yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan pasar bersih dan nyaman. Para pedagang harus memahami tentang prinsip persediaan barang dagangan yang dapat memenuhi kebutuhan pembeli/pelanggan dan ekonomis (efektif dan efisien), sehingga mereka tidak asal menimbun barang dagangan di lapak atau kiosnya yang menjadikan pasar menjadi gudang yang pada akhirnya los-los pasar tampak kumuh. Selain itu, para pedagang juga harus diberikan pemahaman tentang manajemen keuangan sederhana. Ini dimulai dari pemahaman tentang pemisahan keuangan pribadi dan keuangan usaha, agar mereka dapat menghitung pendapatan dan keuntungan secara benar. Di sini para pedagang dibiasakan membuat catatan pembukuan sederhana, sehingga apabila ada lembaga keuangan yang akan membantu permodalan, maka hal ini akan memudahkan kedua belah pihak untuk merealisasikannya. Bagi para pedagang dalam berjualan harus mendisplai barang dagangannya, maka kepada mereka juga harus diberikan pemahaman tentang teknik-teknik penyajian yang komunikatif yang dapat menarik para pengunjung pasar. Hal-hal yang sudah diuraikan di muka merupakan bagian dari teknik-teknik perdagangan eceran (ritel) sederhana yang apabila dapat dikuasai dan dilaksanakan oleh para pedagang, maka daya saing pasar tradisional terhadap pasar moderen akan meningkat. Sayangnya semua pihak pengelola pasar-pasar tradisional terutama milik pemerintah kabupaten/kota tidak memahami hal ini. Sehingga apabila diri mereka sendiri tidak paham, maka sudah dipastikan para pedagang pasar tidak akan pernah mengetahui teknik-teknik perdagangan eceran (ritel) yang benar. Selamanya mereka akan tetap berdagang yang secara teknis sama sekali tidak berkembang dari waktu ke waktu. Apakah pasar tradisional akan tetap dibiarkan seperti sekarang adanya? Apakah alasan kata tradisional yang menyebabkan para pengelola dan pedagang tidak perlu berubah memperbaiki diri? Apabila itu alasannya, maka pasar tradisional akan terus tertinggal jauh di belakang perkembangan pasar moderen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar