Seperti yang telah diuraikan pada artikel tentang "Pasarku Bukan Gudang" para pedagang pasar tradisional cenderung menyimpan cadangan barang dagangan yang volumenya melebihi kemampuan menjual dalam periode tertentu. Hal ini mengakibatkan barang dagangan yang dipunyainya tampak menumpuk melebihi daya tampung lapak atau kios miliknya, sehingga mengakibatkan pasar kelihatan kumuh dan pengap karena banyak pedagang yang menimbun barang tanpa ditata rapi. Memang di tempat yang sudah sempit tidak mungkin lagi dapat menata barang-barang dengan rapi.
Kondisi di muka sudah berlangsung sangat lama, bahkan seolah-olah ini merupakan kebiasaan yang lumrah dimiliki oleh setiap pedagang pasar tradisional, terutama yang berjualan barang-barang tahan atau setengah tahan lama (barang yang dijual tidak perlu harus laku pada waktu pendek) yang dapat disimpan selama periode tertentu.
Untuk dapat menghilangkan kebiasaan berjualan sesuai dengan tradisi tersebut, maka kepada para pedagang pasar tradisional perlu diperkenalkan tentang ilmu merchandising. Di sini para pedagang secara bertahap diberikan dasar-dasar merchandising sederhana disesuaikan dengan jenis barang yang dijual dan kemampuan pedagang untuk memahami serta mengimplementasikannya. Idealnya, dalam mengimplementasikan pengetahuan yang telah diperolehnya didampingi oleh orang yang dapat membimbing mereka, sebaiknya ia adalah salah seorang pengelola pasar. Oleh karenanya, sebelum kepada para pedagang diperkenalkan ilmu merchandising, maka ilmu ini harus terlebih dahulu dikuasai oleh pihak pengelola pasar sebagai calon pendamping para pedagang pasar ketika mereka mulai mencoba mengimplementasikan ilmu yang telah diperolehnya. Inilah yang merupakan salah satu bentuk pembinaan para pedagang oleh pihak pengelola pasar tradisional.
Pada bagian awal pengenalan ilmu merchandising, kepada para pedagang diperkenalkan perencanaan persediaan menyangkut volume dan lama penyimpanan dan pembelian sesuai dengan rencana persediaan selama periode penyimpanan dan penjualan untuk jenis-jenis barang utama yang mereka perdagangkan. Di sini para pedagang diminta untuk mengingat kembali (apabila mereka tidak mempunyai catatan pembelian dan penjualan) kapan terjadi pembelian oleh pelanggan (penjualan) dalam volume yang besar dibanding rata-rata penjualan biasanya (periode ramai pembeli) dan kapan terjadi penjualan dalam volume yang kecil (periode sepi pembeli). Sehingga di sini para pedagang harus benar-benar tahu siapa yang menjadi pelanggannya termasuk perilaku pembelian. Informasi ini diperlukan untuk menentukan kapan mereka harus menimbun persediaan dalam jumlah besar, misal 1,5 kali jumlah yang dibutuhkan untuk melayani penjualan selama suatu periode biasanya, dan kapan menimbun dalam jumlah kecil, misal 1,2 kali jumlah yang dibutuhkan. Di samping itu kepada para pedagang juga perlu diminta untuk mengingat, apakah pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan barang karena faktor musim atau lainnya. Sehingga ketika menghadapi musim sulit untuk mendapatkan barang, sebelumnya para pedagang sudah memiliki persediaan yang cukup memadai. Dari informasi tentang penjualan dan pembelian (kulakan) tersebut para pedagang dapat menyusun rencana persediaan barang, sehingga persediaan barang tidak berlebih jumlahnya, tetapi juga cukup aman untuk melayani pembeli atau pelanggan dalam suatu periode. Sedapat mungkin metode ini dibuat sesederhana mungkin, sehingga para pedagang tidak merasa kesulitan untuk memahami dan mencoba untuk penerapannya.
Selain itu, para pedagang juga perlu diperkenalkan metode FIFO (First in First Out) yaitu barang-barang yang dibeli pada kesempatan pertama harus dijual pada kesempatan pertama juga dan LIFO (Late in First Out) yaitu barang-barang yang datang terakhir justru harus dijual pada kesempatan pertama. Metode ini berkaitan dengan penetapan harga jual, mengingat selama periode penyimpanan kadang-kadang terjadi gejolak harga. Selain itu, untuk barang-barang yang apabila disimpan selama waktu tertentu kadang-kadang dapat berubah kualitasnya atau menjadi kedaluwarsa, sehingga perlu dipertimbangkan lamanya waktu penyimpanan dan saat kapan harus dijual.
Dalam merencanakan persediaan, kepada para pedagang juga harus diingatkan untuk memperhitungkan daya tampung lapak atau kios yang bersangkutan. Jangan sampai setelah dihitung diperoleh angka volume persediaan yang ideal, tetapi daya tampung lapak atau kios miliknya tidak memadai. Sehingga ketika lapak atau kios ini harus dipaksakan untuk menampung persediaan, maka pedagang harus mencari tempat tambahan yang tersedia adalah memanfaatkan gang di depan tempat ia berjualan atau menumpuk barang ke bagian atas lapak atau kios dengan memanfaatkan plafon. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab lapak atau kios menjadi tampah kumuh, penuh dengan tumpukan barang. Hal lain yang harus diberikan pemahaman kepada para pedagang adalah bahwa setiap pengadaan barang untuk persediaan mengandung konsekwensi aliran kas (cash flow) yang mandeg yang berarti muncul biaya (cost). Seringkali para pedagang pasar tradisional beranggapan bahwa dengan memiliki banyak persediaan barang dagangan akan merasa aman dibanding menyimpan uang riel (cash). Anggapan ini harus dapat diubah secara perlahan dengan memberikan pengertian dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka.
Dalam menyusun perencanaan persediaan barang, juga mempertimbangkan jenis barang yang dijual. Untuk barang-barang yang relatif tahan lama seperti SEMBAKO, bumbu-bumbuan dan bahan baku pembuatan jamu, maka lama waktu penyimpanan tidaklah terlalu ketat sebagai bahan pertimbangan. Tetapi untuk barang-barang yang tidak dapat tahan lama, cepat busuk maka perhitungan persediaan hanyalah untuk waktu yang sangat singkat, harian sifatnya. Khusus untuk barang-barang yang tahan lama tetapi sangat tergantung mode, seperti pakaian dan tas, maka perubahan mode dan selera masyarakat harus masuk salah satu unsur pertimbangan. Selain itu, perilaku pengunjung pasar juga harus dipelajari secara seksama, agar barang-barang persediaan yang memang diinginkan oleh para pengunjung/pembeli.
Khusus untuk para pedagang kios pakaian, tas atau barang-barang lain yang biasanya barang yang dijual mengikuti mode, pemanfaatan ilmu merchandising sederhana tadi dapat ditingkatkan kearah perhitungan pengurangan persediaan dalam rangka peningkatan penjualan melalui program "cuci gudang" dengan memberikan harga "diskon". Hal ini dapat dicoba secara selektif sebagai uji coba, guna dapat meningkatkan volume penjualan. Cara-cara yang tidak biasa bagi para pedagang tradisional ini perlu dikembangkan dan dicoba secara perlahan agar tumbuh suatu keberanian di antara para pedagang pasar tradisional untuk ke luar dari kebiasaannya berdagang. Hal ini menurut pandangan penulis lebih efektif dalam melindungi para pedagang pasar tradisional dari persaingan pasar moderen, dibanding dengan langkah-langkah membatasi operasi pasar moderen tetapi di lain pihak membiarkan para pedagang tradisional berdagang secara apa adanya seperti yang kini mereka biasa lakukan sehari-hari sekalipun telah difasilitasi dengan bangunan pasar baru hasil renovasi.
Untuk dapat memahami ilmu merchandising yang sudah disederhanakan ini, diakui bahwa para pedagang pasar tradisional membutuhkan waktu dan juga perlu ada pendamping yang setiap kali membimbing dan mengingatkan agar mereka tetap konsisten menerapkan ilmu ini. Di sinilah hendaknya para pengelola pasar memahami hal ini dan bersedia dengan tekun dan konsisten membimbing para pedagang yang ini merupakan salah satu unsur pembinaan pasar tradisional sebagai tugas aparatur pemerintah kabupaten/kota yang setiap harinya langsung berhadapan dengan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar