Minggu, 30 September 2012

KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG PASARKU

Kebanyakan pedagang pasar tradisional telah berjualan selama bertahun-tahun, bahkan sejak pasar pertama kali berdiri, di mana bangunan pasar masih sangat sederhana hingga kini di mana bangunan pasar telah beberapa kali direnovasi. Bahkan ada yang sudah turun menurun berjualan di pasar yang sama. Banyak juga telah berpindah-pindah pasar, namun tetap di pasar tradisional.

Sejarah yang panjang dengan perkembangan usaha yang nyaris tidak berubah mencerminkan perilaku usaha yang statis. Tampaknya kebanyakan dari mereka pada umumnya sudah cukup puas dengan keadaannya yang nyaris tidak berubah. Perubahan yang terjadi adalah sebatas pada bertambahnya jenis dan jumlah barang dagangan yang disertai dengan pertambahan luas tempat berjualan, baik itu berbentuk lapak maupun kios. Pengetahuan mereka tentang berdagang hampir tidak berkembang, hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat tradisional dalam  kulakan, membuat persediaan, melayani pembeli serta mengelola uang. Pengetahuan kebanyakan para pedagang tradisional yang hampir statis tidak berkembang ini sangat berkaitan dengan tidak dimilikinya akses ke sumber pengetahuan yang sudah barang tentu hampir mustahil untuk dilakukannya sendiri, tanpa bantuan orang-orang yang berhubungan dengan mereka sehari-hari ketika mereka berjualan di pasar  atau orang-orang lain yang dengan tulus sengaja membantu mereka.

Orang-orang yang yang sehari-hari bergaul dengan para pedagang pasar tradisional adalah pihak pengelola pasar dan pemasok barang dagangan serta sudah barang tentu para pengunjung pasar (pelanggan). Di luar itu adalah orang-orang dari instansi pemerintah, terutama pemerintah daerah yang melakukan kegiatan di pasar dalam rangka program pemerintah. Pihak-pihak inilah yang bisa menjadi sarana akses pedagang tradisional untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam perjalanan waktu ternyata tidak mampu berperan karena pengetahuan yang dimilikinya terbatas ditambah lagi kurangnya komitmen untuk membantu para pedagang tradisional.

Halim dan Ismaeni (2007) menunjukkan rendahnya orientasi kewirausahaan para pedagang pasar tradisional. Rendahnya orientasi kewirausahaan yang dimaksud di sini seperti keahlian yang minim dalam menjaga hubungan baik dengan pelanggan, dalam mengatur tata letak, dan kebersihan barang yang dijual, berorientasi kepada konsumen (pasar), memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pelanggan dan seterusnya. Padahal orientasi kewirausahaan para pedagang pasar tradisional merupakan salah satu bentuk utilisasi sumber daya dalam meningkatkan keunggulan bersaing mereka terhadap pesaingnya yaitu para peritel pasar moderen.

Kemampuan pedagang ritel termasuk pedagang pasar tradisional ketika beroperasi di pasar ditentukan berdasarkan responnya terhadap dinamika pasar. Sebagai contoh: para pedagang dengan cepat mengetahui kebutuhan konsumen dan memberikan solusi yang cepat juga kepada konsumennya. Hal ini dapat diketahui dengan cepat jika pedagang ritel tersebut sudah memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsumennya, Respon terhadap pasar yang cepat dan tepat merupakan salah satu representasi dari kapabilitas dinamis yang dimiliki oleh pedagang ritel yang dapat mempengaruhi keunggulan bersaing yang langgeng, pada akhirnya ini memberikan kinerja unggul bagi yang bersangkutan. (Halim, 2007). Kapabilitas di sini adalah kemampuan atau kapasitas pedagang ritel dalam mengembangkan sumber daya. Sedangkan sumber daya adalah faktor-faktor yang tersedia dan dimiliki atau dikendalikan oleh pedagang ritel. Adapun kapabilitas dinamis adalah bentuk pemahaman terhadap sumber daya yang dimiliki untuk memberikan nilai lebih lingkungan persaingan yang dinamis melalui pengembangan sumber daya tersebut secara berkesinambungan (Afif dan Halim).

Di tengah-tengah persaingan yang dinamis dengan pasar moderen, tampaknya pasar tradisional semakin kedodoran menghadapi persaingan ini. Upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap persaingan ini masih sebatas menghambat perkembangan pasar moderen dan revitalisasi pasar tradisional yang sebatas merenovasi bangunan pasar. Memang kedua jenis upaya ini paling mudah dan secara cepat dapat dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memadai. Dari pengalaman ini, sebenarnya yang terpenting adalah pengembangan kapabilitas dan kalau bisa kapabilitas dinamis agar para pedagang tradisional memiliki orientasi kewirausahaan sehingga mampu bersaing dengan pasar moderen. Diakui beberapa upaya tengah dilakukan di antaranya melalui Sekolah Pasar di Yogyakarta (www.sekolahpasar.com). Jika dibandingkan dengan jumlah pasar tradisional yang mencapai lebih dari sepuluh ribu dan tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia, maka diperlukan lebih banyak lagi lembaga atau institusi yang peduli terhadap pasar tradisional yang bersedia untuk mengupayakan peningkatan kapabilitas para pedagang tradisional. Di sini keterlibatan para pengelola pasar sangat membantu upaya tersebut. Oleh karenanya kemungkinan dapat berjalan lebih efektif apabila para pengelola harus dilatih terlebih dahulu, kemudian mereka terlibat dalam upaya peningkatan kapabilitas pedagang tradisional di pasar yang dikelolanya. Mengingat sebagian besar pasar-pasar tradisional dikelola oleh pemerintah daerah, maka para pengelola pasar dimaksud adalah aparatur pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Sehingga di setiap daerah hendaknya dikembangkan sekolah-sekolah pasar yang melibatkan pemerintah daerah setempat dengan menggunakan pengalaman Sekolah Pasar Yogyakarta sebagai salah satu model.

Rujukan Pustaka:
Afif, Adi Zakaria dan Halim, Rizal Edy, Jangan Bertanya Mengapa Pedagang di Pasar Tradisional 
                     Terpuruk, Jurnal Usahawan.
Halim, Rizal Edy (2007), Dampak Pembentukan Kapabilitas Dinamis dari Entrepreneurial 
                      Proclivity  sebagai Pemicu Kinerja Pedagang pada Pasar Tradisional, Departemen
                      Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2007, hal 8-10.
Halim, Rizal Edy dan Ismaeni, Fahrul (2007), Analisis Pembentukan Ketertarikan Terhadap Ritel: 
                      Agenda Riset Bagi Revitalisasi Pasar Tradisional di Indonesia, Studi/Penelitian
                      Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jurnal Usahawan,
                      Desember 2007
 
 

Rabu, 26 September 2012

REVITALISASI PASARKU

Revitalisasi pasar tradisional seringkali berujung pada munculnya permasalahan baru, karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru, atau pun jika pedagang tersebut berjualan dengan menggunakan lapak kini ukuran luas lapaknya jadi mengecil, sehingga terpaksa harus meletakkan sebagian barang dagangannya di depan kios atau lapak, mengurangi lebar lorong atau gang yang ada. Apabila langkah ini juga dilakukan oleh pemilik kios atau lapak yang berhadap-hadapan, maka sudah dapat dipastikan lorong atau gang di situ menjadi sangat sempit dan tidak lagi nyaman untuk dilalui oleh para pengunjung atau pembeli. Keadaan ini seringkali ditanggapi oleh pedagang dengan memilih berjualan di luar gedung pasar, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai dan pedagang tersebut semula berdagang di lantai atas. Sehingga mereka berjualan berbaur dengan pedagang kaki lima (PKL) menutupi jalan masuk dan bangunan pasar yang pada akhirnya pasar yang direvitalisasi tersebut menjadi tampak semrawut. 

Permasalahan lainnya yang muncul adalah tidak dilibatkannya Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) atau Paguyuban Pedagang Pasar dalam pengelolaan pasar seperti penyediaan jasa kebersihan, pemeliharaan toilet, dan penagihan biaya penggunaan daya listrik, karena biasanya setelah pasar direvitalisasi kegiatan-kegiatan tersebut akan ditangani oleh pihak pengelola  baru, khususnya jika dalam program revitalisasi ini melibatkan pihak swasta sebagai penyandang dana yang kemudian bertindak sebagai pihak pengelola pasar. Padahal pendapatan dari penyediaan jasa kebersihan, pemeliharaan toilet dan penagihan biaya penggunaan daya listrik tersebut merupakan salah satu sumber dana bagi KOPPAS atau Paguyuban Pedagang Pasar.

Kedua permasalahan yang muncul di muka merupakan satu penyebab kemunduran kegiatan usaha pedagang dan pasar tradisional yang bersangkutan secara keseluruhan, setelah direvitalisasi karena hanya melakukan renovasi pasar secara phisiknya semata.

Lain halnya jika program revitalisasi tersebut sepenuhnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) seperti yang dialkukan oleh Pemerintah Kota Surakarta di Solo, di mana sepenuhnya pedagang tidak dibebani biaya untuk mendapatkan kios atau lapak baru, kecuali apabila pedagang yang bersangkutan berkeinginan untuk menambah luas lapak atau kiosnya. Selain itu, kegiatan KOPPAS atau Paguyuban Pedagang Pasar (PAPATSUTA-Paguyuban Pasar Tradisional Surakarta) justru dikembangkan ikut dalam program revitalisasi pasar. Sebagai contoh PAPATSUTA di malam hari di saat pasar sedang tidak beroperasi diserahi mengelola pasar kuliner di halaman Pasar Nusukan, Solo. 

Program Revitalisasi Pasar Tradisional di beberapa kota dan kabupaten dilakukan dengan beberapa cara:

1. Seluruhnya dibiayai oleh APBD Pemerintah Kabupaten/Kota atau bersama Pemerintah melalui
    dana APBN.
2. Dilakukan melalui kerjasama antara Pemerintah Kabupaten/Kota menggunakan APBD atau
    menyediakan lahan aset pemerintah daerah dengan pihak Swasta sebagai penyandang dana.

Pada Program Revitalisasi Pasar Tradisional dengan menggunakan cara pertama, para pedagang lama dibebaskan dari pembayaran lapak/kios di pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali. Sedangkan luas lapak/kios yang mereka peroleh sama luasnya dengan ketika saat berdagang di pasar lama. Hanya kepada pedagang lama yang berkeinginan memperluas lapak/kios menjadi lebih luas dibanding miliknya di pasar lama diwajibkan membayar tambahan luas tersebut. Demikian juga kepada para pedagang yang baru diwajibkan untuk membayar kepemilikan lapak/kios tersebut.

Pengelolaan pasar setelah pasar selesai direnovasi tetap dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan sistem pengelolaannya biasanya hampir tidak berubah dibanding pengelolaan pasar lama. Inilah yang seringkali memunculkan kondisi pasar yang tidak berubah seperti pasar yang lama, sekalipun sudah direnovasi. Seharusnya ketika pasar sedang dibangun dan para pedagang dipindahkan ke tempat berjualan sementara, maka pada saat itulah persiapan tata cara pengelolaan pasar yang baru perlu dilakukan, antara lain: menyusun struktur organisasi beserta uraian jabatan; menyusun berbagai prosedur operasi baku (SOP) dan instruksi kerja dengan form-form kelengkapannya yang dibutuhkan untuk melakukan pencatatan; membuat pedoman pengawasan dan berbagai peraturan internal pasar yang harus dipatuhi oleh para pemangku kepentingan di pasar; serta melakukan rekruitmen calon kepala pasar dan petugas pengelola pasar yang diikuti dengan pelatihan tentang penggunaan instruksi kerja, prosedur operasi baku, dan pedoman pengawasa. Pembuatan berbagai prosedur, instruksi kerja dan pedoman sebaiknya dilakukan sendiri oleh para calon Kepala Pasar dan Staf Pengelola pasar didampingi oleh tenaga konsultan yang berkompeten agar sejak awal para calon tersebut memiliki pemahaman tentang hal-hal tersebut yang disertai dengan rasa memiliki (sense of belonging). Setelah dilatih, sekalipun pasar belum selesai direnovasi, kepada mereka langsung diminta bekerja dengan menggunakan cara pengelolaan yang nantinya dipakai di pasar yang baru. Kepada para pedagang juga dilakukan sosialisasi tentang cara pengelolaan pasar yang baru dan berbagai peraturan internal pasar yang harus dipatuhi secara bertahap dan konsisten.

Dalam cara kedua, dimana ada keterlibatan pihak swasta, di sini terdapat beberapa bentuk kerjasama yaitu pertama pihak swasta (pengembang) membangun pasar yang baru dan kepadanya diberikan kewenangan untuk menjual lapak/kios kepada pedagang baru dan pedagang lama yang ingin memperluas lapak/kiosnya. Pengelolaan pasar yang sudah direnovasi diserahkan kembali ke pihak Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketika pasar selesai direnovasi, kemudian dilakukan penjualan lapak/kios oleh pihak pengembang, seringkali terjadi masyarakat pemilik dana besar membeli beberapa lapak/kios sekaligus kemudian dialihkan atau dijual kembali ke orang lain yang kadang-kadang juga tidak langsung dipakai tetapi dibiarkan kosong menunggu orang yang bersedia menyewa. Karena pihak pengembang berhitung dengan dana yang dikeluarkan untuk merenovasi pasar agar mendapatkan keuntungan dari penjualan lapak/kios, maka pasar yang dibangun biasanya bertingkat. Adanya pembelian lapak/kios oleh masyarakat pemilik dana besar yang kemudian tidak dipakainya sendiri untuk berjualan, seringkali menimbulkan kekosongan lapak/kios di lantai atas. Terlebih lagi, dalam membangun pasar yang baru jauh lebih besar dibanding bangunan pasar lama, tanpa memperhitungkan jumlah pengunjung yang diharapkan berbelanja di situ dan juga tidak memperhitungkan keberadaan pasar lain. Keadaan ini diperparah oleh pembiaran beroperasinya Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar pasar baru tersebut yang dapat menyaingi para pedagang di dalam pasar. Setelah pasar selesai direnovasi, pihak pengembang menyerahkan pengelolaan pasar tradisional tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan pihak pengembang hanya sebatas menyelesaikan penjualan dan pembayaran lapak/kios yang masih belum tuntas. Seperti yang telah diuraikan di muka, untuk menghadapi pengelolaan pasar baru segalanya perlu dipersiapkan sejak dini.

Bentuk kerjasama yang lain adalah pihak swasta sebagai pengembang diijinkan untuk membangun pasar moderen ditempat yang sama, biasanya di lantai atas, sedangkan di lantai bawah diperuntukkan bagi para pasar tradisional. Dengan cara penempatan pasar moderen dan pasar tradisional seperti ini tampak adanya saling melengkapi, seperti ditunjukkan relatif tidak beroperasinya PKL di sekitarnya. Biasanya di sekitar pasar moderen beroperasi PKL yang menjajagan makanan, minuman, pakaian dan tas serta barang-barang lain serupa dengan barang-barang yang dijual di pasar moderen tempat PKL tersebut beroperasi. Tentunya kualitas barang yang dijual lebih rendah, namun harganya juga lebih murah, sehingga masih banyak yang berminat untuk membeli.

Sebagian dari masyarakat perkotaan menjadikan pasar moderen (mall dan department store) masih sebatas tempat untuk berekreasi (jalan-jalan cuci mata), namun ketika mencari barang yang dibutuhkannya atau membeli makanan minuman mereka mencari PKL yang beroperasi di sekitar pasar moderen tersebut. Apabila di lokasi yang sama tersedia pasar tradisional, maka mereka akan berbelanja di pasar tersebut. Sebagian lagi menjadikan pasar moderen sebagai tempat utama untuk berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjadikan pasar tradisional sebagai pelengkap pasar moderen. Keadaan ini merupakan cerminan dari adanya perbedaan orientasi ekonomi yang menimbulkan perbedaan nilai sosial dan budaya di kalangan masyarakat yang datang mengunjungi  pasar  moderen, yaitu golongan masyarakat kapitalistik yang berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi dan golongan masyarakat prakapitalistik yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.

 Pengelolaan pasar tradisional yang sudah direvitalisasi yang lokasinya bersamaan dengan pasar moderen tersebut, di beberapa kota atau kabupaten kembali dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota seperti yang dijumpai di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Di tempat lain, pengelolaan pasar tradisional dilakukan oleh pihak pengembang bersama-sama dengan pengelolaan pasar moderen, seperti di Kota Balikpapan.




Kembali ke topik Revitalisasi Pasar Tradisional ini, kunci keberhasilannya adalah terletak pada cakupan program revitalisasi ini. Apabila hanya sebatas merenovasi bangunan phisik pasar, maka sudah dipastikan setelah beberapa tahun keadaan pasar tradisional tersebut menjadi tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelum program revitalisasi. Penyiapan pengelolaan pasar justru harus sudah dilakukan sedini mungkin yaitu bersamaan dengan proses renovasi bangunan phisik pasar. Hal inilah seringkali tidak pernah dipikirkan dan dilakukan oleh banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang melaksanakan Program Revitalisasi Pasar Tradisional yang justru pihak pengelola swasta selalu dengan serius mempersiapkannya sejak awal.

Selasa, 25 September 2012

STRATEGI MENGHADAPI PERSAINGAN DI PASARKU

Strategi dalam menjual penting dimiliki oleh para pedagang umumnya, termasuk para pedagang pasar tradisional. Strategi ini belum dapat dikatakan sebagai strategi pemasaran karena tingkatannya yang masih sangat sederhana belum sekompleks strategi seperti yang terdapat dalam teori pemasaran dengan formula segmentation, targeting dan positioning (STP). Pengertian strategi di sini, masih sebatas strategi (cara) menjual barang dalam menghadapi persaingan.

Para pedagang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang para konsumen dan pesaingnya akan dapat mengembangkan strategi memasarkan (menjual) barang yang tepat untuk mempertahankan konsumennya dan menghadapi pesaingnya. Pengetahuan yang mereka miliki tersebut merupakan suatu keunggulan dibanding pedagang lain, termasuk para pesaing.

Pengetahuan tentang  konsumen (pelanggan) adalah pemahaman yang mendalam yang dimiliki oleh para pedagang terhadap konsumen pada umumnya khususnya terhadap pelanggannya secara spesifik. Pengetahuan tentang konsumen meliputi pemahaman tentang pelanggan potensial, sensitivitas pelanggan  terhadap harga, akses ke lokasi serta segmentasi pelanggan. Pemahaman tentang pelanggan potensial menentukan fokus pedagang terhadap pelanggannya yang dianggap potensial guna memberikan layanan istimewa dibanding konsumen lain. Pemahaman tentang sensitivitas pelanggan terhadap harga menjadi strategi penetapan harga dalam rangka untuk meningkatkan penjualan. Para pedagang kios di pasar tradisional perlu mencoba untuk melakukan penjualan dengan harga diskon pada periode tertentu guna meningkatkan penjualan, seperti yang biasa dilakukan para pedagang di pasar-pasar moderen. Pemahaman tentang akses  ke lokasi seringkali ditanggapi salah oleh para pedagang dengan melanggar peraturan tentang tempat berdagang, yaitu berusaha berdagang di dekat pintu masuk atau halaman depan pasar, padahal pedagang tersebut sebenarnya sudah memiliki lapak di dalam pasar. Sebagai alasannya adalah pedagang lain terutama Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai pesaingnya juga melakukan hal yang serupa. Untuk menghindari hal ini, maka pihak pengelola pasar perlu menegakkan peraturan yang tegas tentang lokasi berdagang. Pemahaman tentang segmentasi pedagang menentukan jenis dan kualitas serta harga barang-barang yang dijual. Segmentasi ini biasanya juga terkait dengan citra pasar tradisional yang bersangkutan yang biasanya juga terkait dengan lokasi pasar, apakah berdekatan dengan daerah perumahan elit  atau berada di daerah pemukiman masyarakat pedesaan atau daerah pinggiran. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 di beberapa pasar tradisional di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK) serta Bandung diperoleh informasi bahwa dari segi jumlah pelanggan, para pedagang sebagai responden mengatakan bahwa jumlah pelanggan yang terbanyak adalah para pemilik toko/warung untuk kulakan (41,5% dari jumlah responden), kalangan rumah tangga (40,1%), pemilik restoran (11,3%), pedagang keliling untuk kulakan (6,6%) dan lainnya (0,5%). Dari segi nilai pembelian, para pelanggan yang membeli terbanyak masih tetap pemilik toko/warung (43,7% dari jumlah responden mengatakan ini), kalangan rumah tangga (33,9%), pemilik restoran (14,0%), pedagang keliling untuk kulakan (8,0%), dan lainnya (0,3%).
 
Pengetahuan tentang pesaing adalah pemahaman yang mendalam yang harus dimiliki pedagang tentang pesaingnya, meliputi siapa sebenarnya yang menjadi pesaing utama serta informasi tentang strategi dan kebijakan pemasaran yang ditempuh  oleh para pesaing. Pengetahuan tersebut mencakup informasi tentang produk pesaing, bentuk pelayanan yang diberikan oleh pesaing seperti layanan khusus hantaran barang langsung atau pembayaran yang tidak secara tunai, strategi penetapan harga dengan memberikan harga diskon pada pelanggan, strategi komunikasi sebagai bentuk promosi dari dari mulut ke mulut atau dengan berbicara di pertemuan arisan pedagang, serta pengetahuan tentang siapa yang menjadi target pasar pesaing apakah persis sama atau menyasar target lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 terhadap para pedagang di beberapa pasar tradisional di JABODETABEK dan Bandung diperoleh informasi bahwa pesaing terberat adalah sesama pedagang pasar (32,9% dari jumlah responden), kemudian diikuti oleh Supermarket (27,5%), Pedagang Kaki Lima (PKL), pasar tradisional lain (5,4%). Minimarket (2,5%), pedagang asongan (1,0%) dan kios (0,3%). Para PKL yang menjadi pesaing adalah PKL yang berjualan di sekitar pasar yang seringkali menutupi pintu masuk pasar dan memenuhi halaman pasar. Selanjutnya hal yang menarik dari penelitian tersebut ialah ada sekitar 12,5% dari responden yang mengatakan tidak mengetahui secara persis siapa yang menjadi pesaing utamanya.

Dalam penelitian tersebut juga dikemukakan strategi yang digunakan para responden pedagang dalam menari para pembeli, yaitu bersikap sopan santun (37,65 dari jumlah responden), memberikan jaminan kualitas barang yang dijual (19,9%), memberikan potongan harga/diskon (12,8%), menambah keanekaragaman barang dagangan (9,1%), mengelola barang dagangan yang lebih baik (3,4%), memprioritaskan pembeli rutin (2,5%), melakukan pengiriman langsung ke rumah  pembeli (2,2%), berbuat jujur (1,7%), menerima pembayaran dalam bentuk cicilan (0,7%) dan menjaga kebersihan (0,5). Selanjutnya hal yang menarik dari penelitian ini, adalah sebanyak 9,6% dari total responden tidak memiliki strategi dalam menjual barang dagangannya.

Jika melihat jumlah responden yang mengatakan tidak mengetahui siapa pesaing terberatnya (12,5% dari total responden) lebih besar daripada jumlah responden pedagang yang tidak memilki strategi pemasaran (9,6%), maka pedagang yang sekalipun tidak mengenal pesaingnya kemungkinan ia tetap memiliki strateginya sendiri tanpa mempedulikan strategi apa yang diterapkan pesaingnya.  Kemungkinan mereka memilih strategi menjual secara acak, sehingga belum tentu strategi ini tepat mengenai sasaran.

Untuk mendukung strategi menghadapi persaingan tersebut, para pedagang perlu memahami tentang pemasok meliputi kredibilitas pesaing dihadapan pemasok guna mengetahui perlakuan pemasok terhadap pesaing dibanding terhadap dirinya, kepercayaan pemasok terhadap dirinya dan sebaliknya, kontinuitas pasokan dan penetapan harga oleh pemasok. Informasi tentang pemasok ini berguna untuk memperkuat penetapan strategi penjualan yang dirasakan tepat setelah memperhatikan informasi tentang konsumen (pelanggan) dan pesaing.

Berdasarkan penelitian oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 terhadap para pedagang di beberapa pasar tradisional di JABODETABEK dan Bandung, diperoleh informasi bahwa pemasok yang paling banyak digunakan adalah pemasok profesional (agen/distributor penjualan) dinyatakan oleh 43% dari jumlah responden, pasar grosir tradisional (31,4%), penjual grosir (9,3%), pasar tradisional lain (8,4%), langsung dari produsen (5,9%) dan produksi sendiri (2,0%). Informasi di muka menunjukkan bahwa kini banyak perusahaan keagenan dan distributor masuk ke pasar-pasar tradisional khususnya yang memasarkan fast moving consumtion goods (FMCG) seperti sabun mandi, shampo, pasta gigi, mie instan, kopi bubuk, susu kaleng dan sebagainya. Hal ini tampak dari banyaknya poster yang ditempelkan di dinding bangunan pasar dan kios/lapak serta spanduk-spanduk yang karena tidak diatur pemasangannya mengakibatkan pasar terlihat kumuh dan kotor. Beberapa petugas perusahaan keagenan dan distributor memberikan bimbingan tentang cara penataan barang dagangan (displai)  kepada para pedagang tradisional secara sporadis. Sebenarnya hal ini dapat diorganisir oleh pihak pengelola pasar sehingga lebih efektif dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak pedagang pasar.

Pengetahuan tentang strategi dalam menjual di tengah-tengah persaingan tentunya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pedagang dalam menyerap ilmu yang seyogyanya diberikan secara bertahap dan konsisten di pasar-pasar tradisonal. Selain itu, perlu dilakukan pendampingan ketika pengetahuan tentang strategi  dalam menjual barang dagangan  diimplementasikan dalam kegiatan usaha para pedagang sehari-hari. Di sini diperlukan keterlibatan pihak pengelola pasar dan paguyuban pedagang pasar. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka secara bertahap kompetensi para pedagang pasar tradisional akan meningkat, sehingga diharapkan dapat bersaing dengan para pedagang pasar moderen.

Senin, 24 September 2012

KETERBATASAN OTORITAS DAN KAPASITAS PENGELOLA PASARKU

Pengelolaan pasar tradisional sangat ditentukan oleh otoritas dan kapasitas yang dipunyai oleh pengelola pasar. Pengelolaan pasar sering kali terhambat oleh keterbatasan otoritas (kewenangan) pengelola pasar. Di lain pihak, banyak sektor yang terlibat dalam pengelolaan pasar seperti sektor perhubungan yang terkait dengan urusan perpakiran, sektor keuangan daerah yang terkait dengan pemungutan retribusi dan pemasangan reklame, sektor perdagangan yang berkaitan dengan perdagangan dan distribusi barang serta sektor koperasi yang berkaitan dengan koperasi pedagang pasar, sektor sosial budaya yang berkaitan dengan pasar sebagai fungsi sosial budaya. Keterbatasan otoritas pengelola pasar yang terjadi membatasi fungsi dan tugas pokok pengelolaan pasar hanya pada lingkup pengelolaan kebersihan dan keamanan, ketertiban pedagang serta pemungutan retribusi pasar. Di luar itu adalah menjadi ruang lingkup kewenangan dan tanggung jawab pihak lain seperti juru parkir yang berada di bawah kendali Dinas Perhubungan, pembinaan aktivitas perdagangan dan distribusi barang yang biasanya berkaitan dengan pengadaan bahan pokok (SEMBAKO) dan pengadaan barang strategis dalam rangka pengendalian laju inflasi serta pembinaan koperasi pasar berada di bawah pembinaan Dinas Perdagangan,dan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (DISPERINDAGKOP dan UMKM) dan pemasangan reklame di bawah kendali Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA).

Keterbatasan otoritas (kewenangan) para pengelola pasar yang biasa disebut dengan Kepala Pasar atau di wilayah Jawa Tengah disebut dengan Lurah Pasar menyebabkan kondisi pasar tradisional seperti adanya sekarang. Ditambah lagi kemampuan manajerial para pengelola pasar dalam ruang lingkup yang terbatas tersebut sangat kurang, karena mereka pada umumnya tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang pengelolaan (manajemen) pasar. Kebanyakan tugas pokok dan fungsi para pengelola pasar yang berada di bawah Pemerintah Daerah  hanya berkutat pada pencapaian target retribusi dan pengelolaan pasar yang terbatas pada aspek kebersihan, ketertiban dan keamanan pasar. Aspek lain yang sebenarnya masih berkaitan dengan kebersihan tidak tertangani, seperti pengaturan pemasangan reklame yang biasanya dalam bentuk penempelan gambar-gambar produk dan spanduk dilakukan di sebarang tempat (dinding-dinding bangunan pasar dan kios/lapak) secara tak beraturan, sehingga menimbulkan kesan pasar menjadi tampak kumuh dan jorok. Padahal apabila hal ini dapat ditertibkan, selain akan menjadikan tampilan pasar menjadi lebih menarik pengunjung juga dapat menghasilkan pendapatan tambahan dengan cara menyediakan tempat khusus di bagian dinding-dinding tertentu untuk pemasangan reklame yang dapat disewa oleh perusahaan distributor dan dipungut pajak reklame selama periode tertentu. 

Keterbatasan otoritas Kepala Pasar berpengaruh negatif dalam penanganan aspek ketertiban, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan parkir kendaraan bermotor karena kewenangan pengelolaan parkir kendaraan bermotor berada ditangan pihak pengelola yang ditetapkan oleh Dinas Perhubungan sebagai pemenang tender. Di sini Kepala Pasar dituntut untuk mampu berkomunikasi secara informal dengan pihak pengelola perpakiran guna dapat mewujudkan ketertiban pasar secara keseluruhan di mana unsur ketertiban parkir kendaraan bermotor termasuk di dalamnya. Otoritas Kepala Pasar dapat menjangkau ketertiban perpakiran di halaman pasar, ketika pengelolaan parkir kendaraan bermotor ditangani oleh para anggota paguyuban pedagang pasar yang ini dapat dijumpai di pasar-pasar tradisional di banyak kabupaten/kota.

Keterbatasan otoritas Kepala Pasar juga menghambat penertiban para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang beroperasi di sekitar pasar dengan memanfaatkan rumah-rumah penduduk dipakai sebagai kios-kios dan lapak-lapak. Selain itu, seringkali para Kepala Pasar juga membiarkan para PKL yang beroperasi di halaman pasar sehingga menutupi pasar, biasanya hal ini dilakukan untuk meningkatkan retribusi, dan alasan lain adalah tidak adanya lokasi penampungan PKL. Pengaturan operasi PKL terutama yang beroperasi di sekitar pasar di luar halaman pasar, memerlukan penanganan oleh pihak yang lebih tinggi kewenangannya, yaitu dinas yang membidangi perdagangan/pasar bersama-sama dengan Kepala Pasar. Apabila bangunan pasar masih mampu menampung dengan mengatur kembali lokasi para pedagang pasar yang sudah ada, maka pemindahan operasi PKL ke dalam pasar perlu dilakukan secara cermat agar jangan mengganggu kondisi pasar, karena pada dasarnya PKL adalah pesaing pedagang pasar. Selain itu, perlu diupayakan agar para PKL berubah perilakunya seperti layaknya perilaku pedagang pasar tunduk terhadap peraturan yang berlaku yang ini semua membutuhkan kapasitas manajerial dari Kepala Pasar yang lebih baik.

Penanganan aspek keamanan oleh Kepala Pasar yang saat ini dilakukan masih terbatas pada sisi keamanan yang berkaitan dengan kejahatan kriminal, seperti pencopetan, pencurian dan perampokan. Sedangkan aspek keamanan dari bahaya kebakaran belum banyak ditangani secara serius. Aspek pencegahan yang dilakukan masih sebatas pada penyediaan sarana secara formal, seperti penyediaan Alat Pemadam Kebakaran Ringan (APAR) dan fasilitas hidran tanpa melakukan pemeriksaan terhadap sarana tersebut secara konsisten dan rutin serta tanpa pernah dilakukan simulasi penggunaannya yang juga seharusnya dilakukan secara konsisten dan rutin. Upaya pencegahan lain yang seharusnya dilakukan secara konsisten dan rutin adalah pengawasan terhadap para pedagang yang berjualan makanan yang memasak dengan menggunakan kompor. Pengawasan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah pemeriksaan secara berkala dan konsisten terhadap jaringan kabel listrik beserta titik-titik sambungan yang seringkali kebakaran pasar terjadi karena hubungan arus pendek akibat buruknya standar jaringan kabel listrik dan titik-titik sambungan. Penanganan aspek keamanan di luar kejahatan kriminal pada dewasa ini di kebanyakan pasar tradisional, dilakukan secara apa adanya tanpa ada standar operasi baku, di lain pihak kapasitas (kemampuan) manajerial para Kepala Pasar yang diperlukan masih sangat terbatas.

Aspek pembinaan pedagang merupakan tanggung jawab pengelola pasar yang di banyak pasar tradisional belum tersentuh, karena kapasitas Kepala Pasar beserta jajarannya masih terbatas. Padahal kemitraan antara pedagang dan pengelola pasar harus terwujud antara lain melalui pembinaan kepada para pedagang melalui pengenalan kepada mereka tentang manajemen keuangan dan ilmu merchandising sederhana, serta cara penataan (displai) barang dagangan yang menarik. Karena bagaimanapun juga, fungsi dan tugas pokok pengelolaan pasar dapat berjalan lancar jika para pedagang juga bersedia terlibat di dalamnya. Sebagai misal dalam penanganan kebersihan dan keamanan, peran keikutsertaan para pedagang dapat memperingan tugas pihak pengelola pasar. Selanjut contoh berikutnya dalam hal pemungutan retribusi, melalui pemberian tanggung jawab dan pemahaman tentang kewajiban kepada para pedagang. Pihak pengelola pasar dapat meminta kepada pedagang agar bersedia melakukannya sendiri dengan membayar di loket pembayaran retribusi yang telah disiapkan setelah pasar atau pedagang yang bersangkutan selesai beroperasi. Sehingga di sini tidak lagi diperlukan petugas khusus pemungut retribusi. Penanganan loket pembayaran retribusi dapat dikerjasamakan dengan pihak perbankan, seperti Bank Pembangunan Daerah setempat atau BRI atau perbankan lain dengan membuka kantor kas di pasar yang bersangkutan. Dengan cara ini, pencatatan administrasi pembayaran retribusi dan penyetoran ke rekening Dinas Pendapatan Daerah menjadi lebih cepat, tertib dan efisien. Cara ini telah diterapkan di beberapa pasar tradisional yang pada umumnya dikelola oleh pihak swasta.

Agar hubungan antara pihak pengelola pasar dengan para pedagang berjalan lancar, maka diperlukan kemampuan pengelola untuk berkomunikasi. Pada beberapa pasar tradisional yang dikelola oleh pihak swasta ditugasi petugas khusus untuk melakukan kegiatan hubungan dengan para pedagang yang disebut dengan  tenant relation (hubungan dengan pihak penyewa). Petugas ini bertugas menjembatani antara keinginan dan kewajiban pedagang dengan tanggung jawab dan kewajiban pihak pengelola pasar dalam segala hal, seperti: sewa menyewa kios/lapak; pembayaran sewa (retribusi); kebersihan, ketertiban dan keamanan; penyediaan fasilitas air bersih, listrik dan sebagainya. Sehingga hal ini dapat ditangani oleh para petugas yang berkompeten dengan baik. Mekanisme ini masih belum banyak diperhatikan oleh para pengelola pasar tradisional pada umumnya.

Dalam kaitannya dengan sektor perdagangan dan distribusi, pasar tradisional berperan dalam salah satu bagian dari mata rantai distribusi yang pada penganan fungsi ini, kewenangan pengelola pasar terbatas pada pemantauan volume dan harga barang yang diperdagangkan di pasar serta mengupayakan kelancaran arus barang yang masuk dan ke luar. Di sinilah dituntut suatu kapasitas pengelolaan arus barang masuk dan ke luar pasar serta penyediaan tempat bongkar muat barang. Kembali, kapasitas para pengelola dalam menangani hal ini, berdasarkan pengamatan penulis di lapangan (di banyak pasar tradisional) tampak masih terbatas. Hanya pada pasar-pasar tradisional tertentu yang sudah memiliki organisasi pengelolaan pasar yang sudah mapan, arus barang masuk dan ke luar serta pencatatannya dapat dikelola dengan baik. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka upaya pemerintah dalam pengendalian inflasi di daerah dapat terbantu oleh keberadaan pasar tradisional.

Keterbatasan otoritas dan kapasitas pengelola pasar tradisional pada umumnya menjadi penyebab utama dari tidak terkelolanya pasar-pasar tradisional secara baik. Pembenahan kelembagaan melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab serta peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia pihak pengelola pasar merupakan kunci utama menuju terwujudnya pasar-pasar tradisional yang bersih, tertib,  aman, nyaman, higienis dan berkeadilan yang sejajar dengan pasar moderen.

PEMERINTAH MELINDUNGI PASARKU

Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, pemerintah memberikan perlindungan terhadap Pasar Tradisional terhadap yang disebut dengan pesaingnya yaitu Pusat Perbelanjaan dan Toko Moderen. 

Salah satu tujuan dari peraturan tersebut ialah untuk memberdayakan pasar tradisional agar dapat tumbuh berkembang, serasi saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Pemberdayaan pasar tradisional berarti memperkuat keunggulan dan mengatasi kelemahan yang dimiliki olehnya serta memberi peluang agar pasar tradisional dapat memperkuat jaringan ritel di antara sesama pasar tradisional serta bersama dengan pusat perbelanjaan dan toko moderen dengan prinsip serasi, saling memperkuat dan saling menguntungkan tanpa saling mematikan melalui persaingan yang adil. 

Dalam peraturan tersebut diatur zonasi untuk pendirian lokasi pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko moderen. Dalam pendirian pasar tradisional, menurut peraturan tersebut harus memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, keberadaan pasar tradisional yang sudah ada serta usaha kecil dan koperasi yang beroperasi di wilayah bersangkutan. Adanya masyarakat yang masih terbiasa dengan tawar menawar dan pergi berbelanja menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki serta menyenangi produk yang segar, maka keberadaan pasar tradisional lebih diminati dibanding dengan keberadaan pusat perbelanjaan dan toko moderen.

Kini keberadaan minimarket yang berada di daerah pemukiman menggerogoti omset penjualan pasar tradisional, khususnya omset kios-kios yang biasanya berada di bagian luar pasar tradisional yang memiliki kesamaan jenis barang yang dijual. Jarak ke lokasi yang relatif sama dengan ke pasar tradisional serta kenyamanan dan harga yang tidak jauh berbeda mendorong para konsumen yang tinggal di daerah perumahan cenderung berbelanja fast moving consumption goods (FMCG) seperti sabun, sikat gigi, shampo, mie instan, kopi, gula, susu, makanan camilan dan sebagainya di minimarket. Di sinilah perlunya pengaturan zonasi pendirian ritel moderen dengan melakukan kajian secara lebih detail yang salah satu di antaranya ialah memperhatikan jenis barang dagangan yang dikaitkan dengan keberadaan pasar tradisional di wilayah tersebut. Tentunya kajian ini dilakukan setelah calon lokasi pendirian pasar moderen mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota atau Rencana Dasar Tata Ruang Wilayah (RDTRW) Kabupaten/Kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. 

Untuk melindungi keberadaan pasar tradisional juga diatur waktu beroperasi hypermarket, supermarket dan department store, yaitu mulai pukul 10 pagi waktu setempat. Pasar tradisional umumnya mulai beroperasi sejak subuh yaitu diawali oleh para pedagang dari luar kota yang menjual komoditi segar, antara lain sayur mayur, buah-buahan, bumbu-bumbuan, ikan dan ayam potong, serta makanan matang seperti kueh basah. Biasanya para pedagang ini mengakhiri aktivitasnya sampai dengan pukul 8 atau 9 pagi. Kemudian dilanjutkan oleh para pedagang yang secara tetap berjualan di lapak/kios pasar tradisional bersangkutan. Jadi apabila konsumen menghendaki berbelanja barang kebutuhannya yang segar pada pagi-pagi hari, mereka harus datang ke pasar tradisional.

Serangkaian pembatasan pendirian dan pengoperasian pasar dan ritel moderen sudah dilakukan, sekalipun di sana-sini masih terjadi penyimpangan, guna untuk melindungi keberadaan pasar tradisional. Namun pembatasan-pembatasan ini tidak cukup untuk mendorong kinerja pasar-pasar tradisional agar keberadaannya tetap didambakan oleh masyarakat banyak di tengah-tengah keberadaan pasar dan ritel moderen yang berkembang semakin pesat. Sebenarnya ada hal yang lebih penting dibanding dengan sekadar pembatasan pendirian dan pengoperasian pasar dan ritel moderen, yaitu pemberdayaan pasar tradisional terutama melalui peningkatan kompetensi pengelola dan pedagang pasar di samping pendanaan serta perbaikan dan pembangunan phisik pasar (program renovasi dan revitalisasi pasar tradisional). Pemberdayaan pasar-pasar tradisional merupakan salah satu fungsi dan tugas pokok pemerintah kabupaten/kota. Namun menurut pengamatan penulis, justru kegiatan pemberdayaan melalui peningkatan kompetensi pengelola dan pedagang pasar belum banyak dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Padahal kegiatan inilah yang lebih dapat menjadikan kualitas layanan pasar-pasar tradisional sejajar dengan pasar dan ritel moderen.

Salah satu contoh pemerintah kota yang sudah memberdayakan pasar-pasar tradisional dengan cukup baik adalah Pemerintah Kota Surakarta. Di sini Pemerintah Kota Surakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Walikota Surakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional Kota Surakarta. Pengelolaan dan perlindungan pasar bertujuan  menata, mengevaluasi, mengawasi, melindungi dan membangun kegiatan perdagangan serta prasarana untuk:
 a. menciptakan, memperluas dan memeratakan kesempatan kerja di bidang perdagangan;
b. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat;
c. memanfaatkan sumberdaya milik Pemerintan kota Surakarta bagi kepentingan masyarakat;
d. memberikan kesempatan kepada masyarakat atau badan dalam mengelola dan memanfaatkan pasar
    bagi kemajuan daerah;
e. mempertahankan, menjaga dan melestarikan pasar sesuai peran dan fungsinya sebagai lembaga
   ketahanan ekonomi, sosial dan budaya; dan
f. mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Hal yang menarik dari tujuan pengeloaan dan perlindungan pasar tradisional tersebut adalah lebih mementingkan kepentingan masyarakat terlebih dahulu dan meletakkan tujuan untuk mendukung PAD sebagai tujuan terakhir. Di sinilah terlihat bahwa komitmen Pemerintah Kota Surakarta dalam mengelola dan melindungi pasar tradisional bagi kepentingan masyarakat sangat kuat. Di samping itu, Pemerintah Surakarta juga berkomitmen untuk mempertahankan, menjaga dan melestarikan pasar sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai lembaga ketahanan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga segi ketradisionalan pasar dapat terus terjaga di tengah-tengah era perkembangan modernisasi kehidupan masyarakat.

Perlindungan pasar menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2010 tersebut adalah merupakan upaya terpadu guna membangun daya tahan pasar yang berkelanjutan dan mampu memberdayakan pasar sebagai ruang kegiatan ekonomi dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Perlindungan pasar tersebut dilakukan dalam bentuk:
a. peningkatan kualitas bangunan, penataan atau pengelompokan pedagang;
b. pemberian kesempatan yang sama pada pedagang untuk memanfaatkan pasar, meningkatkan
    kesadaran, kemampuan dan kemandirian pedagang;
c. pemberian kemudahan kepada pedagang dalam hal perizinan, tertib administrasi, perlindungan 
    standardisasi pelayanan;
d. peningkatan pengembangan sumber daya pelaku pasar;
e. pemberian kenyamanan dan keamanan pasar; dan
f.  pemberian kepastian hukum terhadap pelanggaran.

Hal yang menarik dari bentuk-bentuk perlindungan pasar di atas ialah peningkatan sumber daya pelaku pasar yaitu pengelola dan pedagang pasar. Dengan adanya ketentuan secara eksplisit tentang peningkatan pengembangan sumber daya pelaku pasar, maka Pemerintah Kota Surakarta melakukan berbagai program pelatihan dan pendampingan bagi para pelaku pasar. Inilah salah satu bentuk upaya pemberdayaan pasar tradisional yang sangat penting yang dapat menjamin peruwujudan kesejajaran dalam tingkat kemajuan antara pasar tradisional dengan pasar dan ritel moderen.

Dalam pelaksanaan pengelolaan dan perlindungan pasar, Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang ditunjuk sebagai pelaksana adalah Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Dalam struktur organisasi DPP, dijumpai Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar yang menangani phisik pasar (peralatan, fasilitas dan bangunan pasar) dan kebersihan pasar; Bidang Pengawasan dan Pembinaan yang menangani pemberdayaan dan pembinaan pedagang, keamanan dan ketertiban pasar, serta pengawasan pedagang; Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menangani penataan dan pembinaan serta pengendalian PKL; dan Bidang Pendapatan Pasar yang menangani restribusi pasar.

Yang sangat menarik di sini adalah penanganan PKL dalam satu SKPD (dinas), sehingga pembinaan pedagang pasar dapat dilakukan secara terpadu bersama-sama dengan PKL. Perlu diketahui bahwa di lapangan seringkali dijumpai PKL yang berjualan di sekitar pasar menyaingi para pedagang pasar, sehingga para pedagang pasar berusaha untuk berjualan di halaman atau di sekitar pasar bersama-sama dengan PKL. Akibatnya halaman pasar kelihatan semrawut sehingga para pengunjung enggan berbelanja di pasar, atau bila pergi ke pasar enggan masuk ke dalam pasar, dan akhirnya lapak/kios banyak kosong ditinggalkan oleh para pedagang. Dengan pola pembinaan secara terpadu antara pedagang pasar dan PKL, maka Pemerintah Kota Surakarta memiliki program penempatan PKL di sekitar pasar ke dalam pasar, seperti yang dilakukan di Pasar Gading dan Pasar Nusukan. Setelah dipindahkan ke dalam pasar, para PKL mendapatkan pembinaan agar  merubah perilakunya menjadi perilaku pedagang pasar. Perubahan perilaku ini memang memerlukan waktu lama, bahkan pengalaman penulis di Pasar Klithikan Notoharjo yang menampung ex PKL Banjarsari, sekalipun mereka pindah sudah lebih dari satu tahun, namun sebagian dari mereka perilakunya masih belum banyak berubah, seperti mendisplai (menata) barang dagangan seadanya dan kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Sebagian dari mereka masih menganggap bahwa dirinya sendiri sebagai PKL sekalipun sudah memiliki kios di pasar. Memang pembinaan ex PKL menjadi pedagang pasar memerlukan waku lama, memerlukan kesabaran, konsisten dan harus dilakukan secara terus menerus. Ini semua dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta.

Di daerah lain, penanganan pedagang pasar dilakukan secara terpisah dari PKL, bahkan sulit diketemukan siapa yang sebenarnya bertindak sebagai pembina PKL. Seringkali karena PKL dianggap pedagang yang ilegal, maka tindakan yang diberikan adalah mengusir mereka dari tempat di mana mereka berjualan secara liar. Mengingat pengalaman Pemerintah Kota Surakarta dalam menangani pembinaan pedagang pasar dan PKL, maka sebaiknya pembinaan keduanya cukup dilakukan oleh satu SKPD (dinas).

Sabtu, 22 September 2012

PERILAKU KONSUMEN BERBELANJA DAN PERAN PASARKU

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kantar World Panel Indonesia terhadap 7.000 rumah tangga di 33 kota besar di Indonesia diperoleh gambaran perilaku belanja konsumen yaitu bahwa setiap minggunya rata-rata lima kali mereka mengunjungi tempat-tempat belanja seperti  minimarket, warung atau toko. Sehingga dalam setahunnya terdapat 2,2 juta kunjungan untuk berbelanja oleh 7.000 rumah tangga tersebut yang pengamatannya dilakukan sejak Januari 2011.(Rahmayulis Saleh-Bisnis Indonesia-bisnis.com, Sabtu 22 September 2012) 

Adapun jenis barang yang mereka beli terutama adalah produk fast moving consumer goods (FMCG) seperti shampo, sabun, mie instan, cairan pembersih lantai dan sebagainya. Sebanyak 25% di antaranya adalah porsi untuk mie instan. Dari survei tersebut diperoleh gambaran, sekalipun lima kali dalam setiap minggunya konsumen rumah tangga tersebut pergi berbelanja, namun jenis barang yang dibelinya hanya terbatas beberapa jenis saja. Hasil survei juga menunjukkan bahwa rumah tangga yang berperilaku demikian sebagian besar adalah golongan berpendapatan menengah, yang menurut data Badan Pusat Statistik sebanyak 70% di antaranya berdomisili di kota-kota besar.

Survei di atas khusus menunjukkan perilaku belanja konsumen terutama yang berpendapatan menengah ke warung dan toko (umumnya dikelola secara tradisional) serta minimarket. Berikut dikemukakan perilaku konsumen yang cakupan tempat belanjanya lebih luas demikian juga jenis barang dagangannya lebih beragam yang  penggolongan pembelanja (konsumen)-nya berdasarkan besarnya pengeluaran untuk berbelanja per bulan.


Survei AC Nielsen seperti yang digambarkan pada grafik di atas, menginformasikan bahwa toko/warung (tradisional) serta pasar basah masih merupakan tempat paling disukai  sebagai tempat berbelanja, baik untuk masyarakat berpengeluaran golongan atas (> Rp. 2 juta/bulan), golongan menengah (Rp. 700 ribu/bulan) maupun golongan bawah (< Rp. 700 ribu/bulan) yang berdomisili di Jakarta, Bandung dan Cirebon.  Untuk masyarakat berpengeluaran golongan atas peran dari toko/tradisional sebagai tempat berbelanja tidak sebesar masyarakat berpengeluaran golongan menengah dan bawah. Untuk masyarakat berpengeluaran golongan atas peran dari hypermarket lebih menonjol dibanding untuk masyarakat berpengeluaran golongan menengah dan bawah. Di lain pihak, peran supermarket  lebih menonjol untuk mereka yang berpengeluaran golongan menengah dan bawah dibanding peran hypermarket.


Hasil survei AC Nielsen tersebut menunjukkan bahwa peran dari pasar basah cukup menonjol bagi masyarakat berpengeluaran golongan atas dibanding untuk kalangan golongan menengah dan bawah yang tampaknya karena peran minimarket, supermarket dan hypermarket belum mampu mengsubtitusi peran pasar basah. Sedangkan bagi masyarakat berpengeluaran golongan menengah dan bawah, peran pasar basah masih dapat disubtitusi oleh peran toko atau warung (tradisional) karena jenis barang yang dibutuhkannya pada umumnya sudah dapat dipenuhi oleh toko/warung.


Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007, di pasar-pasar tradisional di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK) serta Bandung diperoleh informasi tentang barang-barang (komoditi) yang dijual dan proporsi pedagang yang berjualan barang-barang tersebut, adalah Sayuran Segar (22,4%), Bahan Makanan dan Minuman (17,2%), Buah-buahan Segar (8,9%), Kebutuhan Rumah Tangga lainnya (7,9%), Ikan (7,4%), Ayam (6,9%), Daging (6,4%), Bumbu-bumbuan (5,9%), Telur/Susu (4,4%), Minyak  Goreng (2,7%), Kacang-kacangan (2,2%), dan Umbi-umbian (1,0%).  Hal ini menunjukkan bahwa begitu beragamnya jenis barang dagangan yang dijual di pasar tradisional (pasar basah), dan ini sebenarnya sulit untuk digantikan oleh toko/warung dan ritel moderen. Bahkan berdasarkan penelitian SMERU toko/warung adalah pelanggan utama dari para pedagang di pasar tradisional. Namun kini seiring dengan semakin beragamnya supermarket dan hypermarket, maka jenis barang dagangan pasar tradisional bisa menjadi kurang menarik dibanding faktor penarik lain khususnya bagi golongan pengeluaran atas. Pada tabel di bawah disajikan jenis produk yang dibeli dan preferensi konsumen dalam berbelanja di pasar basah, toko/warung, minimarket, supermarket dan hypermarket.

Dalam tabel di atas tampak bahwa pasar basah  lebih disenangi oleh konsumen untuk karakteristiknya yang tradisional dalam bertransaksi yaitu dapat melakukan tawar menawar dan barang-barang yang dijual segar, serta lokasinya berdekatan dengan di mana masyarakat berdomisili. Toko/warung dan minimarket disenangi karena lokasi yang berdekatan dengan rumah para konsumen. Dewasa ini, keberadaan minimarket di daerah perumahan banyak dikeluhkan karena banyak menyaingi toko/warung, sedangkan untuk pasar tradisional, keberadaan minimarket masih belum terlalu dirasakan menyainginya.

Keberadaan supermarket dan hypermarket banyak disukai terutama karena higienis dan pilihan barangnya cukup banyak sekalipun lokasinya jauh dari rumah para konsumen. Menurut tabel sebelumnya masyarakat berpengeluaran golongan atas dalam berbelanja mingguan lebih banyak memilih  hypermarket sebagai tempat berbelanja dibanding golongan menengah dan bawah, terlebih lagi hypermarket lebih banyak berpromosi dibanding supermarket.

Dari uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pasar tradisional (pasar basah) masih dapat diandalkan sebagai tempat berbelanja masyarakat sehari-hari bagi mereka yang berdomisili di wilayah perkotaan. Di lain pihak, peran toko/warung yang dikelola secara tradisional ada kecenderungan disisihkan oleh peran minimarket. Apabila supermarket dan hypermarket kelak memiliki jenis barang dagangan yang semakin beragam, terutama untuk komoditi basah, maka kedua jenis pasar moderen ini akan menjadi pesaing yang potensial bagi pasar-pasar tradisional dalam arti akan dikunjungi setiap hari. Hal ini sudah mulai tampak terjadi terutama, di kota-kota besar di mana banyak dijumpai masyarakat yang berpengeluaran golongan atas dan menengah berbelanja ke supermarket atau hypermarket hampir setiap hari ketika mereka pulang dari tempat kerja. Oleh karenanya, agar pasar tradisional tetap mampu bersaing, maka segi ketradisionalan dalam cara pengelolaan pasar tradisional perlu diubah menjadi lebih profesional, demikian juga cara berdagang di pasar tersebut.

Rabu, 19 September 2012

PEDAGANG PASARKU PERLU TAHU ILMU MERCHANDISING

Seperti yang telah diuraikan pada artikel tentang "Pasarku Bukan Gudang" para pedagang pasar tradisional cenderung menyimpan cadangan barang dagangan yang volumenya melebihi kemampuan menjual dalam periode tertentu. Hal ini mengakibatkan barang dagangan yang dipunyainya tampak menumpuk melebihi daya tampung lapak atau kios miliknya, sehingga mengakibatkan pasar kelihatan kumuh dan pengap karena banyak pedagang yang menimbun barang tanpa ditata rapi. Memang di tempat yang sudah sempit tidak mungkin lagi dapat  menata barang-barang dengan rapi.

Kondisi di muka sudah berlangsung sangat lama, bahkan seolah-olah ini merupakan kebiasaan yang lumrah dimiliki oleh setiap pedagang pasar tradisional, terutama yang berjualan barang-barang tahan atau setengah tahan lama (barang yang dijual tidak perlu harus laku pada waktu pendek) yang dapat disimpan selama periode tertentu. 

Untuk dapat menghilangkan kebiasaan berjualan sesuai dengan tradisi tersebut, maka kepada para pedagang pasar tradisional perlu diperkenalkan tentang ilmu merchandising. Di sini para pedagang secara bertahap diberikan dasar-dasar merchandising sederhana disesuaikan dengan jenis barang yang dijual dan kemampuan pedagang untuk memahami serta mengimplementasikannya. Idealnya, dalam mengimplementasikan pengetahuan yang telah diperolehnya didampingi oleh orang yang dapat membimbing mereka, sebaiknya ia adalah salah seorang pengelola pasar. Oleh karenanya, sebelum kepada para pedagang diperkenalkan ilmu merchandising, maka ilmu ini harus terlebih dahulu dikuasai oleh pihak pengelola pasar sebagai calon pendamping para pedagang pasar ketika mereka mulai mencoba mengimplementasikan ilmu yang telah diperolehnya. Inilah yang merupakan salah satu bentuk pembinaan para pedagang oleh pihak pengelola pasar tradisional.

Pada bagian awal pengenalan ilmu merchandising, kepada para pedagang diperkenalkan perencanaan persediaan menyangkut volume dan lama penyimpanan dan pembelian sesuai dengan rencana persediaan selama periode penyimpanan dan penjualan untuk jenis-jenis barang utama yang mereka perdagangkan. Di sini para pedagang diminta untuk mengingat kembali (apabila mereka tidak mempunyai catatan pembelian dan penjualan) kapan terjadi pembelian oleh pelanggan (penjualan) dalam volume yang besar dibanding rata-rata penjualan biasanya (periode ramai pembeli) dan kapan terjadi penjualan dalam volume yang kecil (periode sepi pembeli). Sehingga di sini para pedagang harus benar-benar tahu siapa yang menjadi pelanggannya termasuk perilaku pembelian. Informasi ini diperlukan untuk menentukan kapan mereka harus menimbun persediaan dalam jumlah besar, misal 1,5 kali jumlah yang dibutuhkan  untuk melayani penjualan selama suatu periode biasanya, dan kapan menimbun dalam jumlah kecil, misal 1,2 kali jumlah yang dibutuhkan. Di samping itu kepada para pedagang juga perlu diminta untuk mengingat, apakah pernah mengalami kesulitan dalam mendapatkan barang karena faktor musim atau lainnya. Sehingga ketika menghadapi musim sulit untuk mendapatkan barang, sebelumnya para pedagang sudah memiliki persediaan yang cukup memadai. Dari informasi tentang penjualan dan pembelian (kulakan) tersebut para pedagang dapat menyusun rencana persediaan barang, sehingga persediaan barang tidak berlebih jumlahnya, tetapi juga cukup aman untuk melayani pembeli atau pelanggan dalam suatu periode. Sedapat mungkin metode ini dibuat sesederhana mungkin, sehingga para pedagang tidak merasa kesulitan untuk memahami dan mencoba untuk penerapannya.

Selain itu, para pedagang juga perlu diperkenalkan metode FIFO (First in First Out) yaitu barang-barang yang dibeli pada kesempatan pertama harus dijual pada kesempatan pertama juga dan LIFO  (Late in First Out) yaitu barang-barang yang datang terakhir justru harus dijual pada kesempatan pertama. Metode ini berkaitan dengan penetapan harga jual, mengingat  selama periode  penyimpanan kadang-kadang terjadi gejolak harga. Selain itu, untuk barang-barang yang apabila disimpan selama waktu tertentu kadang-kadang dapat berubah kualitasnya atau menjadi kedaluwarsa, sehingga perlu dipertimbangkan lamanya waktu penyimpanan dan saat kapan harus dijual. 

Dalam merencanakan persediaan, kepada para pedagang juga harus diingatkan untuk memperhitungkan daya tampung lapak atau kios yang bersangkutan. Jangan sampai setelah dihitung diperoleh angka volume persediaan yang ideal, tetapi daya tampung lapak atau kios miliknya tidak memadai. Sehingga ketika lapak atau kios ini harus dipaksakan untuk menampung persediaan, maka pedagang harus mencari tempat  tambahan yang tersedia adalah memanfaatkan gang di depan tempat ia berjualan atau menumpuk barang ke bagian atas lapak atau kios dengan memanfaatkan plafon. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab lapak atau kios menjadi tampah kumuh, penuh dengan tumpukan barang.  Hal lain yang harus diberikan pemahaman kepada para pedagang adalah bahwa setiap pengadaan barang untuk persediaan mengandung konsekwensi aliran kas (cash flow) yang mandeg yang berarti muncul biaya (cost). Seringkali para pedagang pasar tradisional beranggapan bahwa dengan memiliki banyak persediaan barang dagangan akan merasa aman dibanding menyimpan uang riel (cash). Anggapan ini harus dapat diubah secara perlahan dengan memberikan pengertian dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka.

Dalam menyusun perencanaan persediaan barang, juga mempertimbangkan jenis barang yang dijual. Untuk barang-barang yang relatif tahan lama seperti SEMBAKO, bumbu-bumbuan dan bahan baku pembuatan jamu, maka lama waktu penyimpanan tidaklah terlalu ketat sebagai bahan pertimbangan. Tetapi untuk barang-barang yang tidak dapat tahan lama, cepat busuk maka perhitungan persediaan hanyalah untuk waktu yang sangat singkat, harian sifatnya. Khusus untuk barang-barang yang tahan lama tetapi sangat tergantung mode, seperti pakaian dan tas, maka perubahan mode dan selera masyarakat harus masuk salah satu unsur pertimbangan. Selain itu, perilaku pengunjung pasar juga harus dipelajari secara seksama, agar barang-barang persediaan yang memang diinginkan  oleh para pengunjung/pembeli.

Khusus untuk para pedagang kios pakaian, tas atau barang-barang lain yang biasanya barang yang dijual mengikuti mode, pemanfaatan ilmu merchandising sederhana tadi dapat ditingkatkan kearah perhitungan pengurangan persediaan dalam rangka peningkatan penjualan melalui program "cuci gudang" dengan memberikan harga "diskon". Hal ini dapat dicoba secara selektif sebagai uji coba, guna dapat meningkatkan volume penjualan. Cara-cara yang tidak biasa bagi para pedagang tradisional ini perlu dikembangkan dan dicoba secara perlahan agar tumbuh suatu keberanian di antara para pedagang pasar tradisional untuk ke luar dari kebiasaannya berdagang. Hal ini menurut pandangan penulis lebih efektif dalam melindungi para pedagang pasar tradisional dari persaingan pasar moderen, dibanding dengan langkah-langkah  membatasi operasi pasar moderen tetapi di lain pihak  membiarkan para pedagang tradisional berdagang secara apa adanya seperti yang kini mereka biasa lakukan sehari-hari sekalipun telah difasilitasi dengan bangunan pasar baru hasil renovasi.

Untuk dapat memahami ilmu merchandising yang sudah disederhanakan ini, diakui bahwa para pedagang pasar tradisional membutuhkan waktu dan juga perlu ada pendamping yang setiap kali membimbing dan mengingatkan agar mereka tetap konsisten menerapkan ilmu ini. Di sinilah hendaknya para pengelola pasar memahami hal ini dan bersedia dengan tekun dan konsisten membimbing para pedagang yang ini merupakan salah satu unsur pembinaan pasar tradisional sebagai tugas aparatur pemerintah kabupaten/kota yang setiap harinya langsung berhadapan dengan mereka.

Senin, 17 September 2012

PENGELOLA PASARKU

Salah satu penyebab dari munculnya citra negatif pada pasar tradisional  saat ini adalah lemahnya pengelolaan pasar. Hal ini dapat dijumpai hampir di semua daerah terutama pada pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Selanjutnya upaya-upaya perbaikan terhadap kelemahan pengelolaan ini masih sebatas perbaikan phisik bangunan pasar.  Setelah bangunan pasar dibangun atau direnovasi, biasanya perubahan tampilan pasar tradisional menjadi tampak lebih bersih dan tidak lagi kumuh hanya bisa dipertahankan untuk waktu sementara 3-5 tahun. Sesudahnya, keadaan pasar kembali sama seperti kondisi sebelum dibangun atau direnovasi.

Seringkali pembangunan kembali atau renovasi bangunan pasar dijadikan bukti bahwa pemerintah kabupaten/kota telah banyak berupaya membenahi pasar tradisional di wilayahnya. Namun mereka lupa bahwa pembangunan kembali atau renovasi bangunan pasar tidak cukup, bahkan kondisi pasar bersih dan nyaman hanya bersifat sementara sebelum pasar kembali menjadi kotor dan kumuh. Pembangunan kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) mutlak harus dilakukan di samping pembangunan phisik (bangunan) pasar, bila memang pemerintah kabupaten/kota benar-benar menginginkan merubah citra negatif pasar tradisional di wilayahnya.

Diakui bahwa pembangunan phisik (bangunan) pasar lebih mudah dilakukan dan tidak memerlukan waktu yang relatif lama. Sedangkan untuk membangun kelambagaan pasar dan SDM lebih sulit dan memerlukan waktu yang panjang, bahkan sepanjang masa secara berjenjang. Tetapi apabila ini juga dilakukan bersamaan pembangunan phisik (bangunan) pasar, maka hasilnya akan lain. Kesan kotor dan kumuh pasar tradisional dapat dihilangkan secara bertahap. Bahkan dalam jangka panjang kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan ketertiban di daerah yang bersangkutan akan tumbuh secara bertahap pula, sehingga berbagai program lain seperti perbaikan kesehatan masyarakat dan upaya meraih gelar kota bersih melalui ADIPURA juga dapat diwujudkan secara bersamaan. Hal ini semuanya dapat diwujudkan mengingat pasar adalah tempat bertemunya masyarakat pedagang dan konsumen serta ada keterlibatan para pengelola serta pembina pasar yang di dalamnya termasuk aparatur pemerintah dimulai tingkat pimpinan daerah sampai jajaran petugas di bawah.

Dalam mengembangkan kelembagaan dan SDM serta bangunan phisik pasar dimulai dari komitmen Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang komitmen ini dituangkan ke dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta segala peraturan pelaksanaannya. Keberpihakan pemerintah kabupaten/kota terhadap perkembangan pasar tradisional di wilayahnya ke arah positif terlihat di dalam PERDA tersebut, seperti fungsi pasar yang menonjol seharusnya untuk memfasilitasi masyarakat agar kehidupannya menjadi lebih sejahtera melalui ketersediaan barang kebutuhan masyarakat konsumen dengan harga layak relatif tidak berfluktuasi, serta menyediakan kesempatan berusaha bagi masyarakat pedagang tradisional agar mereka dapat memperoleh pendapatan yang layak. Jadi fungsi utamanya bukan sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikenakan kepada para pedagang. Dengan kata lain pasar lebih bersifat "cost centre" daripada berfungsi sebagai "financial resources".

Selanjutnya komitmen tentang pembinaan pasar tradisonal yang tertuang dalam PERDA akan lebih jelas operasionalisasinya pada bentuk Organisasi yang membidangi pasar tradisional yang seringkali di beberapa daerah diwujudkan dengan membentuk Dinas Pasar atau Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) atau Bidang Pasar di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (DISPERINDAGKOP). Komitmen yang tampak paling ekstrim minimal ialah jika untuk tugas pembinaan pasar diserahkan kepada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) yang ini banyak terjadi di luar Pulau Jawa, atau sedikit ekstrim jika tugas pembinaan tersebut diserahkan kepada Dinas Perdagangan dan Pendapatan Daerah seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di Jawa.

Apabila di dalam detail struktur organisasi dinas pembina pasar tradisional hanya terdapat Bidang atau Seksi yang menangani retribusi, keamanan dan ketertiban pasar, maka hampir dapat dipastikan bahwa penanganan aspek pembinaan pengelolaan pasar tidak akan tersentuh, terlebih lagi pembinaan terhadap pedagang pasar sama sekali akan luput dari perhatian. Hal ini lah yang sering banyak dijumpai di kabupaten/kota yang secara hirarkhi bermuara pada tampilan pasar tradisional di wilayahnya yang kebanyakan kotor dan kumuh.

Apabila melangkah lebih lanjut dari organisasi yang membidangi pasar tradisional di banyak kabupaten/kota, khususnya yang berkaitan dengan tatakelola, maka pada umumnya penjabaran PERDA tentang Pasar Tradisional ke arah lebih kearah teknis seperti Prosedur Operasi Baku (Standard Operating Procedure-SOP) untuk berbagai aktivitas pengelolaan pasar jarang dijumpai secara detail, bahkan seringkali tidak dijumpai adanya. Apabila ini ada,  maka jarang atau tidak pernah sama sekali dipedomani dalam aktivitas sehari-hari. Sebagai alasan yang menonjol adalah para aparatur atau petugas pelaksana tidak mengetahui, ataupun apabila mereka sudah mengetahuinya mereka tidak dapat melaksanakannya dengan berbagai alasan seperti tidak pernah dilatih menggunakannya sebagai pedoman, jumlah aparatur pengawas dan petugas pelaksana terbatas dan tidak tersedianya peralatan kerja yang dibutuhkan. Masalah ini seringkali terus menerus terjadi dari waktu ke waktu, dan hampir tidak ada upaya yang serius untuk mengatasinya. Termasuk ketika dimulainya pengoperasian pasar kembali setelah selesai dibangun atau direnovasi, segala sesuatu yang sudah diuraikan di atas di banyak daerah tidak pernah diperhatikan sama sekali.

Masalah lain yang juga penting dan di banyak kabupaten/kota tidak banyak diperhatikan adalah pembinaan terhadap pedagang pasar, seperti yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan pasar bersih dan nyaman. Para pedagang harus memahami tentang prinsip persediaan barang dagangan yang dapat memenuhi kebutuhan pembeli/pelanggan dan ekonomis (efektif dan efisien), sehingga mereka tidak asal menimbun barang dagangan di lapak atau kiosnya yang menjadikan pasar menjadi gudang yang pada akhirnya los-los pasar tampak kumuh. Selain itu, para pedagang juga harus diberikan pemahaman tentang manajemen keuangan sederhana. Ini dimulai dari pemahaman tentang pemisahan keuangan pribadi dan keuangan usaha, agar mereka dapat menghitung pendapatan dan keuntungan secara benar. Di sini para pedagang dibiasakan membuat catatan pembukuan sederhana, sehingga apabila ada lembaga keuangan yang akan membantu permodalan, maka hal ini akan memudahkan kedua belah pihak untuk merealisasikannya. Bagi para pedagang dalam berjualan harus mendisplai barang dagangannya, maka kepada mereka juga harus diberikan pemahaman tentang teknik-teknik penyajian yang komunikatif yang dapat menarik para pengunjung pasar. Hal-hal yang sudah diuraikan di muka merupakan bagian dari teknik-teknik perdagangan eceran (ritel) sederhana yang apabila dapat dikuasai dan dilaksanakan oleh para pedagang, maka daya saing pasar tradisional terhadap pasar moderen akan meningkat. Sayangnya semua pihak pengelola pasar-pasar tradisional terutama milik pemerintah kabupaten/kota tidak memahami hal ini. Sehingga apabila diri mereka sendiri tidak paham, maka sudah dipastikan para pedagang pasar tidak akan pernah mengetahui teknik-teknik perdagangan eceran (ritel) yang benar.  Selamanya mereka akan tetap berdagang yang secara teknis sama sekali tidak berkembang dari waktu ke waktu. Apakah pasar tradisional akan tetap dibiarkan seperti sekarang adanya? Apakah alasan kata tradisional yang menyebabkan para pengelola dan pedagang tidak perlu berubah memperbaiki diri? Apabila itu alasannya, maka pasar tradisional akan terus tertinggal jauh di belakang perkembangan pasar moderen.

Senin, 10 September 2012

CONTOH BAIK DARI PASARKU

Pasar tradisional tidak semuanya kotor, kumuh, semrawut dan atribut negatif lain. Penulis akan tampilkan pasar tradisional yang dapat dijadikan contoh bagi pasar tradisional lain. 
Pasar Tradisional dimaksud adalah Pasar Segar Graha Raya, Bintaro di selatan Jakarta yang letaknya di kawasan pertokoan ukuran sedang yang di kelilingi oleh kompleks perumahan. Di sekitar pasar tersebut, selain dipenuhi dengan toko-toko, fasilitas keuangan seperti kantor cabang (pembantu) beberapa bank, kantor-kantor, juga fasilitas lain termasuk beberapa minimarket. Sekalipun di dekat pasar terdapat minimarket, namun demikian pedagang pasar, baik yang berjualan di lapak-lapak maupun kios-kios di dalam maupun bagian luar pasar tampak tetap berjualan tanpa merasa tersaingi. Hal dikarenakan kondisi pasar yang bersih dan nyaman untuk dikunjungi. Berikut ulasan keberadaan pasar dimaksud dalam tampilan beberapa gambar.
Di pelataran kawasan tersebut dijumpai papan reklame yang cukup besar yang mempromosikan ke beradaan Pasar Segar Graha Raya, Bintaro yang ini dapat juga ditiru bentuknya untuk dipasang di pasar-pasar tradisional lain.









Di sekitar pasar ini berada dapat dijumpai pasar-pasar moderen yang sering kali ditakuti para pedagang di pasar-pasar tradisional di tempat lain. Tetapi di Pasar Segar ini justru dianggap sebagai pelengkap, bukan sebagai pesaing. Keberadaan pasar moderen ini justru mendatangkan pengunjung lebih banyak, karena tidak semua kebutuhan mereka dapat dipenuhi oleh pasar moderen, sehingga harus dicari di Pasar Segar ini.          





Pintu Utama Pasar Segar Graha Raya, Bintaro tampak bersih dari para pedagang yang biasanya pada pasar-pasar tradisional lain banyak berjualan di depan atau di sekitar pintu, sehingga menghalang-halangi para pengunjung yang akan masuk berbelanja di dalam pasar. Selain itu, apabila banyak dijumpai pedagang yang berjualan di sekitar pintu atau di depan pasar, maka ini membuat pasar kelihatan semrawut, sehingga para pengunjung pasar enggan untuk masuk ke dalam pasar, mereka merasa cukup berbelanja di depan pasar. Akibatnya, para pedagang di dalam pasar sepi dari pengunjung yang pada akhirnya mereka ke luar, berdagang di bagian luar pasar dan sebaliknya di dalam pasar kondisinya  sepi pengunjung dan jumlah pedagang yang berjualan berkurang.
Pasar Segar Graha Raya ini memiliki pintu-pintu lain, selain pintu utama dan semuanya tampak bersih dari para pedagang dan parkir kendaraan bermotor roda dua. Sehingga dari luar keadaan di dalam pasar tampak terang dan bersih.

Pada gambar di samping terlihat keadaan di dalam pasar. Tampak bahwa atap pasar sangat tinggi dengan kerangka baja dan tampak terang layaknya suasana di sebuah hypermarket. Di bagian atas los, tampak penunjuk zona barang dagangan yang dijual, dengan papan warna hijau dan penunjuk lokasi warna merah dan putih yang cukup mencolok. Di lorong/gang los tersebut banyak dijumpai tong-tong sampah bertutup, sehingga memudahkan para pengunjung dan penjual untuk membuang sampah mereka. Sehingga pada saat pasar tengah beroperasi pun, lantai lorong/gang tetap tampak bersih. Di latar belakang bagian atas di bawah atap terdapat dua exhaust fan yang berukuran besar yang membuat udara di dalam pasar selalu segar, terlebih lagi di bagian atas lapak-lapak bebas dari barang-barang dagangan sehingga angin lancar berhembus.
Memang di pasar ini para pedagang hanya menyimpan banyak persediaan barang dagangan secukupnya di lapaknya masing-masing, seperti terlihat pada gambar di samping yang ditutupi penutup warna coklat. Sehingga, tampak semua barang dagangan dapat diletakkan di lapak dan tidak terlihat penyajian barang dagangan di depan lapak, karena tidak perlu lagi. 
Semua pedagang di pasar ini dilarang melakukan sortasi barang dagangan di dalam pasar, sehingga barang dagangan yang akan dijual sudah dalam keadaan terseleksi dan mereka tinggal menatanya di lapak- lapak yang cukup luas bagi barang-barang yang akan dijualnya. Dengan sistem seperti ini tidak ada sampah yang terbawa masuk, karena semuanya sudah bersih merupakan hasil dari suatu sortasi. Kondisi ini sama sekali berbeda dengan pasar-pasar tradisional pada umumnya. 
Pada gambar di atas, tampak pengunjung pasar bersama kedua anaknya sedang berbelanja dengan santai dan merasa nyaman karena lorong yang lantainya bersih. Para pedagang meletakkan barang dagangan di tempat berupa kotak terbuka dari plastik yang memudahkan pengunjung melihat dan memilih barang yang akan dibelinya.

Gambar di atas menunjukkan lapak untuk pedagang buah-buahan yang di bagian depan terdapat plastik-plastik yang sengaja digantungkan untuk tempat sampah-sampah kecil. Di bagian ini tampak timbangan meja, tampaknya para pembeli harus menimbang sendiri buah-buahan yang sudah dipilihnya untuk dibeli. Dengan cara ini para pembeli merasa yakin dengan berat buah yang dibelinya dan tidak merasa takut dicurangi oleh pedagang yang bersangkutan. Sistem seperti inilah yang juga diterapkan di pasar-pasar moderen.
Pada gambar di samping menunjukkan suasana los basah di mana terdapat lapak yang berjualan ayam potong. Di depan lapak terdapat saluran air dan tampak tidak ada air yang melimpah ke luar, sehingga lantai tetap kering.










Pada gambar di samping adalah los untuk pedagang daging sapi, di mana pada setiap lapak terdapat gantungan daging sehingga daging tidak diletakkan di atas lapak yang kemungkinan lantai tersebut berdebu atau ada kotoran lain. Dengan adanya gantungan daging tersebut, maka daging sapi yang dijual cukup higienis.
Di pasar ini, pada setiap los-los basah termasuk los daging sapi diperlengkapi fasilitas elektronik pengusir lalat, sehingga di los-los ini tidak dijumpai banyak lalat. Di los daging ini juga tampak bahwa air di saluran tidak melimpah ke luar, sehingga lantai los tetap kering dan bersih.

Berikut pada gambar di samping ditampilkan penataan barang dagangan oleh pedagang kios yang berjualan peralatan rumah tangga. Penataan barang dagangan tampak terorganisasi cukup baik, di mana kelompok barang-barang sejenis diletakkan di satu tempat, sehingga memudahkan para pengunjung mencari barang-barang yang di kehendakinya.






Dalam penggunaan rak-rak untuk memajang dagangan juga tampak terorganisasi cukup baik, sehingga dapat dikatakan penyajiannya sudah mendekati penyajian barang-barang dagangan di pasar-pasar moderen. Penyajian seperti ini sudah waktunya juga dilakukan oleh para pedagang di kios-kios pasar-pasar tradisional.







Pada gambar di samping kiri dan kanan ditampilkan alat kebersihan lantai dan petugas kebersihan yang membersihkan  halaman luar pasar yang diawasi oleh seorang pengawas (supervisi) kebersihan. Di pasar ini, unsur kebersihan merupakan unsur utama yang mutlak harus dapat diwujudkan, sehingga pihak manajemen menyediakan peralatan dan sejumlah petugas yang memadai. Di banyak pasar tradisional, penyediaan alat-alat sarana kebersihan yang memadai sering kali sulit kali dilakukan, sehingga para petugas kebersihan bekerja dengan peralatan yang seadanya. Terlebih lagi para petugas bekerja tanpa dipedomani oleh petunjuk operasional yang baku, dan juga bekerja tanpa disupervisi. Sehingga kebersihan pasar dari hari ke hari tidak standar, kadang-kadang relatif bersih dan seringkali juga masih banyak sampah berceceran di sana sini ketika di pagi hari pasar akan memulai beroperasi.  
Gambaran situasi di Pasar Segar Graha Raya, Bintaro di atas mencerminkan kemampuan pihak pengelola pasar yang bekerja secara profesional. Di sini pihak pengelola pasar adalah perusahaan swasta yang memang ditunjuk untuk mengelola pasar ini. Apakah para pengelola pasar tradisional di berbagai pemerintah kabupaten dan kota dapat melakukannya seperti yang sudah dilakukan oleh perusahaan swasta ini? Jawabannya kenapa tidak, asalkan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki komitmen yang besar untuk memperbaiki pasar tradisional di daerahnya serta bersedia untuk belajar tentang pengelolaan pasar tradisional dan memberikan bimbingan kepada para pedagang tentang perdagangan eceran.

Minggu, 02 September 2012

ZONASI DI PASARKU

Zonasi (zoning) pasar-pasar tradisional di berbagai daerah tampak lemah  sehingga pasar terlihat semrawut. Berbagai lapak yang berjualan berbagai jenis barang dagangan bercampur aduk dalam satu los yang sama. Kondisi ini menjadi salah satu sebab makanan sudah dimasak ketika dijual menjadi tidak lagi higienis, karena dalam penjualannya bercampur dengan penjualan barang dagangan lain, tidak dipisah-pisahkan berdasarkan zona-zona barang dagangan sejenis melainkan saling bercampur.
Kekacauan zona ini juga menjadikan para pengunjung pasar menjadi tidak nyaman dalam berbelanja, karena harus mencari-cari penjual yang menjual barang dagangan yang dibutuhkannya. Tanda penunjuk zona menjadi tidak bermanfaat lagi bagi para pengunjung karena menunjukkan tempat yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, pada akhirnya tanda penunjuk ini tidak lagi diperhatikan oleh mereka yang berbelanja. Pada gambar di bawah ini menunjukkan zonasi sudah tidak tertib lagi di mana para pedagang buah-buahan bercampur dengan penjual pakaian.

Pada awalnya, setelah suatu Pasar Tradisional selesai di renovasi atau dibangun kembali zonanisasi pedagang dilakukan berdasarkan jenis barang dagangan. Namun dalam perjalanannya terjadi perubahan kepemilikan lapak atau tempat berjualan yang pedagang baru penggantinya menjual barang dagangan yang tidak lagi sejenis dengan zona barang dagangan di los. Kejadian ini dari waktu ke waktu bertambah banyak sehingga dalam satu los terdapat berbagai jenis barang dagangan. Padahal setiap jenis barang dagangan seringkali memerlukan perlakuan berbeda dalam penataan dan penyajian, misal pedagang yang menjual ikan basah memerlukan air bersih, pedagang daging memerlukan gantungan, pedagang sayur memerlukan tempat yang agak luas untuk menata sayuran yang jenisnya beragam dan sebagainya. Setidaknya dibutuhkan perlakuan yang berbeda antara los basah dan los kering.
Pada gambar di bawah ditunjukkan ketertiban zonanisasi di mana di los tersebut ditempatkan para penjual makanan matang dan minuman yang berjajar dan tampak bersih dengan pedagangnya menggunakan celemek.

Ketidaktertiban zonanisasi juga menggambarkan ketidaktertiban pengelolaan pasar oleh pihak manajemen. Seharusnya setiap pergantian kepemilikan lapak/kios harus sepengetahuan pihak manajemen pasar. Proses pergantian ini harus dalam pengawasan pihak manajemen. Apabila setiap akan terjadi perpindahan kepemilikan lapak/kios, maka sebelumnya harus diperiksa terlebih dahulu, apakah jenis barang dagangannya sama dengan jenis yang dijual oleh penjual lama yang juga berarti apakah sama dengan peruntukan los yang bersangkutan atau berbeda. Apabila jenis barang dagangannya berbeda, maka perpindahan kepemilikan ini untuk sementara dilarang, sampai calon pemilik lapak/kios yang baru bersedia mengganti jenis barang dagangannya sama dengan yang dijual oleh pemilik lama.
Agar ketentuan pergantian kepemilikan lapak/kios yang mengindahkan zonanisasi dapat dilaksanakan secara konsisten secara berkesinambungan, maka ketentuan ini harus dijadikan prosedur baku dan ini harus disosialisasikan kepada seluruh anggota manajemen dan para pedagang pasar. Apabila ingin lebih kuat dari sisi legalisasi, maka para pedagang yang akan menghuni lapak/kios pada saat awal mulai berjualan (biasanya pada awal operasi setelah pasar direnovasi atau dibangun kembali) harus menandatangani di atas meterai bahwa setiap pengalihan kepemilikan harus mengikuti ketentuan zonasi dan mendapat persetujuan dari pihak manajemen pasar. Prosedur seperti ini kini sudah diterapkan di beberapa pasar tradisional terutama yang dikelola oleh pihak swasta, sehingga umumnya pasar-pasar tersebut tampak teratur tidak semrawut.