Selasa, 06 November 2012

KEPALA DAERAH YANG PEDULI PASARKU

Tidak banyak Kepala Daerah yang peduli terhadap pasarku. Untuk dapat melihat kepedulian Kepala Daerah, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan yang peduli terhadap pasar tradisional tercermin pada: Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan dan pedoman pelaksanaannya yang substansinya lebih bersifat penataan, pembinaan dan perlindungan pasar tradisional ketimbang mengatur retribusi. Dengan perkataan lain, tidak memposisikan pasar tradisional sekadar penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikumpulkan melalui pedagang, tetapi merupakan tempat yang sengaja disediakan oleh Pemerintah Daerah di mana masyarakat dapat berbelanja dan berjualan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, Kepedulian Pemerntah Daerah terhadap pasar tradisional tercermin pada bentuk organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi atau membina pasar tradisional setingkat Eselon II, karena kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan pasar tradisional yang memerlukan kewenangan pembina yang cukup tinggi. Di sini, dalam pengelolaan pasar tradisional memerlukan koordinasi dengan SKPD terkait, seperti dalam hal penyusunan anggaran, pemungutan retribusi, penanganan parkir, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan dan lingkungan hidup, bangunan pasar, tata ruang dan wilayah, serta pedagang dan konsumen. Hal yang krusial adalah penanganan Pedagang Kaki Lima di mana PKL merupakan pesaing utama para pedagang pasar tradisional terutama yang berdagang di sekitar pasar. SKPD yang membidangi pasar sudah seharusnya juga menangani PKL di mana sedikit demi sedikit PKL yang berjualan di sebarang tempat di daerah perkotaan pada akhirnya dilokalisasi di suatu daerah yang khusus yang memang diperuntukkan untuk penampungan PKL sehingga mereka diubah menjadi pedagang yang menetap, tidak lagi berpindah-pindah. Sebagai contoh, di kota Solo penanganan PKL dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) yang memindahkan PKL di Banjarsari ke Semanggi (Pasar Notoharjo) tanpa kekerasan. Selain itu juga memindahkan PKL di jalan sekitar pasar ke Pasar Gading dan Pasar Nusukan. Pemindahan PKL ke pasar tradisional memerlukan upaya pembinaan lanjutan, karena diperlukan merubah perilaku PKL yang biasanya kurang peduli dengan penataan dagangan dan kebersihan lingkungan menjadi pedagang pasar yang harus patuh terhadap tata tertib pedagang.

Ketiga, kebutuhan anggaran operasional pengelolaan pasar tradisional biasanya melebihi retribusi yang dipungut dari pedagang. Bagi daerah yang peduli terhadap pasar tradisional, maka kebijakan Kepala Daerah tentang pasar tradisional di daerahnya adalah meletakkan fungsi pasar sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, baik konsumen maupun pedagang. Pasar tradisional merupakan "cost centre" daripada "profit centre". Sehingga sudah sewajarnya dialokasikan anggaran yang cukup memadai bagi operasionalisasi pasar-pasar tradisional di daerahnya sebagai upaya melayani kebutuhan masyarakat yang secara makro ekonomi dapat menekan laju inflasi dan meningkatan pendapatan masyarakat.

Keempat, kebijakan memberdayakan pengelola dan pedagang pasar tradisional. Kebanyakan Kepala Daerah masih belum memperhatikan pemberdayaan pengelola dan pedagang pasar tradisional di deerahnya. Pengorganisasian dan peningkatan kapasitas para pengelola pasar belum dilakukan, ditandai dengan diterapkannya Sistem Prosedur dalam Pengelolaan Pasar, dan para petugas pasar masih bekerja seadanya tanpa pedoman kerja baku. Demikian pula pengawasan terhadap terselenggaranya aktivitas di pasar pada umumnya sangat lemah. Sebagai contoh, seringkali terjadinya kebakaran pasar tradisional yang biasanya akibat hubungan arus pendek karena kabel-kabel listrik yang tidak pernah dikontrol dan akibat kompor meledak karena para pedagang yang memasak makanan di dalam pasar luput dari pengawasan. Demikian juga sampah yang berceceran di pasar merupakan cerminan tidak adanya sistem prosedur penanganan kebersihan. Belum adanya sistem prosedur ditambah terbatasnya jumlah petugas dan lemahnya kepemimpinan (leadership) Kepala pasar merupakan penyebab utama lemahnya pengelolaan pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Demikian juga pemberdayaan para pedagang pasar tradisional  di daerah pada umumnya belum dilakukan, karena kebijakan Kepala Daerah belum pernah menyentuhnya. Pemberdayaan pedagang pasar-pasar tradisional dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan antara lain pelatihan tentang manajemen ritel dan manajemen keuangan sederhana. Di Pasar Kranggan, kota Yogyakarta, pedagang mendapatkan pelatihan dan pendampingan melalui Sekolah Pasar yang diinisiasi oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada. Kementerian Perdagangan juga melakukan pemberdayaan pedagang pasar tradisional di 10 pasar  percontohan di mana pasar-pasar tersebut sebelumnya telah direvitalisasi bangunannya. Kementerian Perdagangan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) juga memberikan pelatihan kepada para pengelola pasar dan pedagang pasar tradisional di Solo dan Balikpapan, di mana pada tahun 2011 penulis terlibat di dalamnya. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap daerah yang melakukan program pemberdayaan pasar tradisional (pengelola dan pedagang) pada tahun 2010 dan 2011, hanya Kepala Daerah Kota Surakarta (Walikota Solo) melibatkan diri secara langsung, baik dalam saat berlangsungnya pelatihan maupun sesudahnya melalui monitoring dampak pelatihan. Bahkan Wakil Walikota Solo turut mengajar pada sesi awal pelatihan.

   Walikota Solo (Bp. Jokowi) se-
   dang menyampaikan arahan ke-
   para peserta pelatihan mana-  
    jemen perpasaran, Nopember 
   2011.











Wakil Walikota Solo (Bp. FX. Hadi Rudyatmo) turut mengajar tentang manajemen mutu terpadu pengelolaan pasar tradisional, 2011.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar