Kamis, 11 Oktober 2012

PEMERINTAH BINA DAN BERDAYAKAN PKL

Pedagang Kaki Lima (PKL) di banyak kota seringkali menimbulkan masalah seperti munculnya kawasan kumuh, kemacetan lalulintas, mengganggu keberadaan pedagang pasar tradisional. Namun keberadaannya tidak bisa dengan serta merta diabaikan begitu saja. Keberadaan PKL sebagai konsekwensi dari terbatasnya penyediaan lapangan pekerjaan sektor formal. Di lain pihak, jumlah tenaga kerja tumbuh lebih pesat dari waktu ke waktu terutama yang datangnya dari daerah pedesaan yang dikenal dengan urbanisasi. Memang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dari dahulu  sampai sekarang lebih pesat terjadi di kawasan perkotaan dibanding di kawasan pedesaan. PKL sebagai lapangan pekerjaan informal di suatu daerah adalah sektor usaha yang paling mudah dimasuki, namun juga paling mudah ditinggalkan ketika seseorang telah mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih layak,  baik yang masih juga di sektor informal di daerah lain, maupun di sektor formal seperti sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan.

Keberadaan PKL dan permasalahannya belum dapat diatasi pada dewasa ini dalam arti mengurangi atau menghambat pertambahannya, sehingga yang bisa dilakukan adalah menata dan memberdayakan mereka. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (PERMENDAGRI) Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima menata dan memberdayakan PKL melalui keterlibatan secara berjenjang sejak dari Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan dilanjutkan ke jenjang Gubernur dan Bupati/Walikota yang berkewajiban melakukan penataan dan pemberdayaan PKL. 

Tujuan dan pemberdayaan PKL adalah:
a. memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan 
    peruntukannya;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang 
    tangguh dan mandiri; dan
c. untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana 
    perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.   

Adapun ruang lingkup dari penataan dan pembinaan PKL adalah:
a.  pendataan;
b.  perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal;
c.  fasilitas akses permodalan;
d.  penguatan kelembagaan;
e.  pembinaan dan bimbingan teknis;
f.  fasilitasi kerjasama antar daerah; dan
g.  mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.

Selanjutnya secara hirarkhi menurut  PERMENDAGRI No. 41 Tahun 2012 tersebut Gubernur melalukan penataan melalui:
a. fasilitasi penataan PKL lintas kabupaten/kota di wilayahnya;
b. fasilitasi kerjasama penataan PKL antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
c.  pembinaan Bupati/Walikota di wilayahnya.

Adapun Bupati/Walikota dalam melakukan penataan PKL memakai cara:
a. pendataan PKL meliputi identitas, lokasi, jenis tempat usaha  baik yang bersifat tidak bergerak
   (berpindah-pindah tempat) maupun bergerak, bidang usaha dan modal usaha;
b. pendaftaran PKLbaik untuk PKL lama maupun baru yang nantinya kepada setiap PKL yang sudah
    terdaftar dan memenuhi persyaratan dasar penerbitkan Tanda Daftar Usaha (TDU) diberikan TDU;
c. penetapan lokasi PKL yang dapat bersifat permanen dan sementara;
d. pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL bagi PKL yang menempati lokasi yang tidak
    sesuai dengan peruntukan; dan
e. peremajaan lokasi PKL pada lokasi binaaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi
    prasarana, sarana dan utilitas kota.

Dalam pemberdayaan PKL, Gubernur melakukan:
a. fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
b. pembinaan dan supervisi pemberdayaan PKL yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

Sedangkan Bupati/Walikota melakukan pemberdayaan PKL antara lain melalui:
a.  peningkatan kemampuan berusaha;
b. fasilitasi akses permodalan;
c. fasilitasi bantuan sarana dagang;
d. penguatan kelembagaan;
e. fasilitasi peningkatan produksi;
f. pengolahan, penegmbangan jaringan dan promosi; dan
g. pembinaan dan bimbingan teknis.

Selama ini dalam penetapan lokasi PKL binaaan, Pemerintah Kabupaten/Kota dihadapkan masalah keterbatasan lahan. Apabila tersedia, lahan namun peruntukkan lahan tersebut tidaklah sesuai dengan rencana penempatan PKL. Ada beberapa alternatif lokasi yang akan dipakai oleh para PKL binaan, yaitu lokasi yang cukup luas, sesuai dengan peruntukannya dan biasanya terletak dipinggir kota, tempat-tempat kosong di pasar tradisional, dan di sekitar lokasi sekarang di mana PKL beroperasi. 

Untuk lokasi yang cukup luas dan sesuai untuk peruntukkan hendaknya sejak awal direncanakan sebagai upaya pembentukan pasar, di mana penempatan PKL yang sekarang adalah awal atau embrio pasar yang akan dibentuk. Apabila lokasi tersebut berada di pinggiran, jauh dari pusat kota, maka perlu dipersiapakn jalur atau rute angkutan umum perkotaan (ANGKOT) yang melalui lokasi tersebut. Selain itu, sejak awal disiapkan papan penunjuk jalan ke lokasi tersebut. Hal ini yang sudah dilakukan di Solo, ketika terjadi perpindahan lokasi PKL klitikan di daerah Banjarsari (daerah perumahan elit) ke Notoharjo, Semanggi di pinggiran kota Solo (pinggir Bengawan Solo) di mana Pemerintah Surakarta menyediakan jalur angkutan kota melalui daerah tersebut dan memasang petunjuk-petunjuk jalan ke lokasi tersebut. Cara pemindahannya pun tanpa gejolak, dan cukup unik prosesnya dipimpin langsung oleh Walikota dan Wakil Walikota setelah bertemu langsung dengan PKL yang akan dipindahkan sebanyak 54 kali sebelum dipindahkan. Kini lokasi tersebut menjadi Pasar Klitikan Notoharjo.


Kedua, PKL dipindahkan ke lokasi yang menempati tempat-tempat kosong di pasar tradisional. Pemindahan ini dapat dilakukan dengan mengatur jam operasi PKL bergantian dengan Pedagang Pasar Tradisional. Misalnya di pagi-pagi hari pukul 5 - 8 pagi para PKL diperkenakan berjualan di halaman pasar tradisional, kemudian setelah jam 8 pagi para PKL bubar dan para Pedagang Pasar Tradisoinal mulai beroperasi.  Demikian juga di sore hari, misalnya setelah pukul 16 atau 17 pasar tradisional boleh mulai beroperasi, ketika para pedagang di pasar tradisional mulai berhenti beroperasi. Pemindahan lokai PKl dapat juga dilakukan ke tempat-tempat kosong di dalam pasar tradisional, baik di lantai dasar maupun di lantai atas, jika pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat.

Di kota-kota besar, keberadaan PKL diperlukan untuk memenuhi kebutuhan terutama makanan bagi para karyawan yang bekerja di sektor formal seperti di kawasan perkantoran dan kebutuhan para pelayan pusat perbelanjaan. Para PKL tersebut perlu ditampung di lokasi di kawasan perkantoran seperti di kantin-kantin perusahaan dan dibina oleh perusahaan yang para karyawannya berbelanja ke para PKL tersebut, seperti dalam hal penataan dagangan, perbaikan pelayanan dan bagi PKL kuliner bagaimana membuat dan menyajikan makanan secara higienis. Apabila ini bisa dilakukan oleh setiap perusahaan di mana para karyawannya membutuhkan jasa PKL, maka upaya perusahaan ini cukup membantu penataan dan pembinaan PKL yang telah dicanangkan melalui program pemerintah.

Di banyak daerah muncul aktivitas PKL kuliner dan kerajinan yang dikelola secara terorganisasi oleh paguyuban PKL kuliner dan kerajinan, dan menarik banyak pengunjung, baik penduduk setempat maupun pendatang yang sedang berkunjung ke daerah tersebut. Aktivitas yang teratur, bersih dan layanan pengunjung dengan cara mengikuti berkepribadian (bersopan-santun) setempat menjadikan lokasi ini menjadi ikon kota yang bersangkutan, seperti Malioboro di Yogyakarta dan GALABO di Solo. Sehingga akhirnya lokasi ini menjadi pendukung pariwisata di kota-kota tersebut. 

Upaya memindahkan lokasi usaha PKL ke suatu tempat yang kemudian dijadikan pasar tradisional atau memindahkan ke pasar tradisional memerlukan tindakan lanjutan berupa pengubahan perilaku PKl yang terbiasa bebas dalam berjualan menjadi perilaku yang harus memperhatikan kebersihan dan kerapian dalam penataan dagangan. Upaya ini harus dilakukan oleh pihak pengelola pasar, sehingga mantan PKl tersebut dapat segera menyesuaikan diri dalam berjualan seperti pedagang tradisional lain pada umumnya yang sudah terbiasa berjualan di pasar tradisional.

Untuk memudahkan pembinaan PKL, maka sejak awal perlu membentuk paguyuban PKL dengan menunjuk PKL yang berkharisma atau memiliki wibawa di antara para PKL lain, sebagai ketua paguyuban. Sehingga ketika akan dilakukan upaya pembinaan seperti pelatihan atau pemberian bantuan sarana dan modal usaha, maka pihak pembina cukup menghubungi ketua paguyuban. Paguyuban ini secara bertahap diarahkan menjadi Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan akhirnya terbentuk Koperasi yang antara lain berperan dalam program kemitraan dengan para pemasok barang dagangan, mengupayakan bantuan permodalan, sarana usaha melalui program CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan pemasok seperti Teh Sosro, Indofood dan Unilever.

Pembentukan Koperasi secara bertahap dari pembentukan Paguyuban PKL yang kemudian ditingkatkan menjadi KUB dan Koperasi memerlukan waktu. Namun dengan cara bertahap ini akan memberikan pembelajaran kepada PKL tentang kehidupan berorganisasi dan membentuk usaha bersama, sehingga nantinya Koperasi yang terbentuk dapat memberikan manfaat kepada PKL anggota, bukan hanya kepada para pengurus Koperasi semata, dan memiliki kegiatan usaha yang tangguh serta memiliki posisi tawar yang kuat ketika akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar dan perbankan.
  
Pembinaan lainnya adalah peningkatan kemampuan dalam bentuk mengikutsertakan para PKL dalam berbagai pelatihan, seperti pelatihan kewirausahaan, cara menata dagangan dan melayani pembeli serta akutansi sederhana. Pelatihan kerwirausahaan dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada para PKL agar terus mengembangkan usahanya dan tidak selalu puas dengan perkembangannya sekarang. Banyak para pewaralaba dahulunya adalah PKL, namun dengan sikapnya yang tidak pernah puas dengan kemajuan usaha yang sekarang dipunyainya, mereka terus belajar menciptakan sistem usaha sehingga terwujudlah suatu usaha waralaba.

 Penguasaan akutansi sederhana di kalangan PKL akan menjadikan setiap PKL dapat dievaluasi peerkembangan usahanya dan ini bermanfaat untuk menyusun strategi pengembangan usaha yang dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan. Selain itu, jika setiap PKL sudah terbiasa menerapkan akutansi sederhana, maka dapat dipastikan Paguyuban yang dibentuk kemudian meningkat menjadi KUB akhirnya Koperasi memilki sistem akutansi yang cukup baik. Sehingga apabila dikehendaki untuk bermitra dengan perbankan, maka kelaikan usahanya dapat segera dipelajari oleh perbankan guna dapat menentukan besarnya bantuan dana permodalan yang akan diberikan.

Upaya pembinaan yang telah diuraikan di atas memerlukan kesiapan dalam penguasaan pengetahuan berusaha dan dedikasi yang tinggi dari para pembina PKL di lapangan. Oleh karenanya, sebelumnya kepada para pembina lapangan perlu diberikan pelatihan tentang semua pengetahuan yang dibutuhkan oleh para PKL. Upaya pembinaan yang akan dilakukan memerlukan waktu dan kesinambungan pendampingan. Sehingga upaya pembinaan dalam bentuk phisik seperti bantuan sarana usaha dan permodalan tidaklah cukup untuk mengembangkan kegiatan usaha PKL. Bantuan berupa pemberian pelatihan dan pendampingan lapangan merupakan hal yang mutlak yang harus diberikan kepada PKL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar