Minggu, 31 Agustus 2014

PENGATURAN PEDAGANG KAKI LIMA

Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di berbagai kota seringkali dianggap sebagai masalah, karena secara kasat mata keberadaannya dianggap menjadi penyebab kesemrawutan dan kekumuhan kota. Apabila keberadaan PKL tersebut di dekat pasar, maka PKL tersebut sangat berpotensi untuk mengganggu para pedagang pasar. Seringkali suasana di dalam pasar menjadi sepi, karena para pedagangnya berjualan di luar pasar seperti PKL. Di lain pihak, keberadaan PKL masih diharapkan oleh segolongan masyarakat konsumen perkotaan, karena bisa memasok barang-barang kebutuhan mereka dengan harga murah. Di samping itu, di berbagai kota besar yang pada umumnya dilanda oleh arus urbanisasi, PKL dianggap sebagai penampung kerja bagi kebanyakan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja di sektor formal atau yang tidak dapat ditampung karena keterbatasan daya tampung sektor ini.

Pengaturan PKL dengan alasan untuk menghilangkan kesemarawutan dan kekumuhan kota perlu memperhatikan sisi positif dan negatif dari keberadaan mereka di perkotaan pada saat ini, seperti yang telah diuraikan di muka.

Beberapa kebijakan yang ditempuh oleh kebanyakan pemerintah daerah dapat berupa reloksi (pemindahan) ke bangunan pasar terdekat, dengan mengisi tempat/los pasar yang masih kosong. Kebijakan yang lain adalah memindahkan ke lokasi yang memang dimaksudkan sebagai tempat penampungan beroperasinya PKL secara permanen. Kebijakan yang kedua, biasanya menghasilkan pusat penjualan baru, seperti Pusat Jajan atau Kuliner (Pusat Jajan Serba Ada-PUJASERA) jika PKL yang dipindahkan adalah pedagang makanan matang, atau menjadi Pasar Klithikan jika yang dipindahkan adalah para pedagang barang-barang bekas (loakan).

Untuk membuat rencana relokasi yang berkaitan dengan lokasi dan besaran luas area, diperlukan data tentang jumlah PKL, jenis barang dagangan dan perilaku berdagang seperti kebiasaan waktu berdagang, tata cara berdagang dan siapa konsumen mereka. Selanjutnya rencana yang sudah dibuat disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat dan Parlemen Daerah (DPRD) untuk mendapatkan masukan perbaikan. Dalam pelaksanaannya, seringkali masalah komunikasi antara Pemerintah Daerah dengan para PKL menjadi ganjalan dalam proses relokasi ke tempat yang sudah ditentukan. Oleh karenanya, materi yang dikomunikasikan haruslah jelas yang meliputi rencana relokasi, waktu dan pembiayaannya disertai dengan maksud dan tujuan serta manfaat relokasi bagi berbagai pihak, seperti: masyarakat PKL dan konsumen, baik yang berasal dari kota setempat maupun dari luar kota; terwujudnya keindahan kota, serta manfaat bagi Pemerintah Daerah. Di sini,manfaat bagi Pemerintah Daerah seperti pendapatan dari retribusi sengaja diletakkan di posisi terakhir, karena peran Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah memberikan pelayanan bagi masyarakat.   

Dalam menentukan lokasi penampungan permanen, diperlukan data jumlah PKL dan jenis barang dagangan lebih terkait dengan kebutuhan luas areal dan lokasi yang diinginkan PKL dan pembeli (masyarakat konsumen). Pemilihan lokasi yang memenuhi syarat, seringkali sulit terpenuhi. Secara teoritis dalam perdagangan ritel, faktor yang terpenting adalah lokasi gerai yang mudah dijangkau dan nyaman untuk dikunjungi oleh para pembeli (konsumen). Apabila lokasi yang dipilih ternyata tidak memenuhi keinginan PKL berdasarkan pengalaman mereka dengan para konsumennya akan sepi pembeli, maka perlu dipikirkan upaya lain dari Pemerintah Daerah untuk melengkapi agar nantinya tidak sepi pembeli. Sebagai contoh, ketika Pemerintah Kota Surakarta memindahkan PKL klitikan (barang loakan/bekas) di Kelurahan Banjarsari di tengah kota ke daerah Notoharjo di pinggiran kota (bekas lokalisasi Silir di pinggir Sungai Bengawan Solo) yang lokasinya jauh dari pembeli dapat teratasi dengan mengatur kembali trayek kendaraan umum (angkutan kota) agar melalui daerah itu. Selain itu juga, memberikan rambu lalu lintas yang menunjukkan arah ke lokasi tersebut dari berbagai tempat, termasuk rambu yang menunjukkan arah sejak masuk kota. Dengan upaya pengaturan trayek angkutan kota dan pemasangan rambu penunjuk jalan, jumlah pengunjung Pasar Klitihikan Notoharjo bertambah dari hari ke hari, bahkan pengunjungnya tidak lagi semata-mata dari Solo, tetapi juga dari luar kota Solo. Berdasarkan pengakuan dari para pedagang yang sebelumnya adalah PKL, rata-rata omzetnya naik dibanding ketika masih berdagang sebagai PKL di Banjarsari.

Untuk mempermudah berkomunikasi dengan para PKL, maka sebaiknya sudah terbentuk paguyuban pedagang, dan di sini para pedagang harus betul-betul dapat terwadahi dalam paguyuban ini. Pengurus paguyuban harus dapat mewakili para pedagang dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah pada saat dilakukan relokasi PKL. Sehingga paguyuban benar-benar menjadi mitra Pemerintah Daerah dalam penataan PKL. Setelah PKL direlokasi, peran paguyuban meningkat sebagai organisasi yang mewadahi kepentingan para pedagang dalam melakukan kegiatan usahanya, antara lain dalam penyediaan kebutuhan modal,pembelian barang dagangan (kulakan), dan penjualan bersama. Untuk melayani kebutuhan para pedagang, seyogyanya paguyuban berubah menjadi koperasi.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar