Minggu, 31 Agustus 2014

PENGATURAN PEDAGANG KAKI LIMA

Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di berbagai kota seringkali dianggap sebagai masalah, karena secara kasat mata keberadaannya dianggap menjadi penyebab kesemrawutan dan kekumuhan kota. Apabila keberadaan PKL tersebut di dekat pasar, maka PKL tersebut sangat berpotensi untuk mengganggu para pedagang pasar. Seringkali suasana di dalam pasar menjadi sepi, karena para pedagangnya berjualan di luar pasar seperti PKL. Di lain pihak, keberadaan PKL masih diharapkan oleh segolongan masyarakat konsumen perkotaan, karena bisa memasok barang-barang kebutuhan mereka dengan harga murah. Di samping itu, di berbagai kota besar yang pada umumnya dilanda oleh arus urbanisasi, PKL dianggap sebagai penampung kerja bagi kebanyakan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja di sektor formal atau yang tidak dapat ditampung karena keterbatasan daya tampung sektor ini.

Pengaturan PKL dengan alasan untuk menghilangkan kesemarawutan dan kekumuhan kota perlu memperhatikan sisi positif dan negatif dari keberadaan mereka di perkotaan pada saat ini, seperti yang telah diuraikan di muka.

Beberapa kebijakan yang ditempuh oleh kebanyakan pemerintah daerah dapat berupa reloksi (pemindahan) ke bangunan pasar terdekat, dengan mengisi tempat/los pasar yang masih kosong. Kebijakan yang lain adalah memindahkan ke lokasi yang memang dimaksudkan sebagai tempat penampungan beroperasinya PKL secara permanen. Kebijakan yang kedua, biasanya menghasilkan pusat penjualan baru, seperti Pusat Jajan atau Kuliner (Pusat Jajan Serba Ada-PUJASERA) jika PKL yang dipindahkan adalah pedagang makanan matang, atau menjadi Pasar Klithikan jika yang dipindahkan adalah para pedagang barang-barang bekas (loakan).

Untuk membuat rencana relokasi yang berkaitan dengan lokasi dan besaran luas area, diperlukan data tentang jumlah PKL, jenis barang dagangan dan perilaku berdagang seperti kebiasaan waktu berdagang, tata cara berdagang dan siapa konsumen mereka. Selanjutnya rencana yang sudah dibuat disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat dan Parlemen Daerah (DPRD) untuk mendapatkan masukan perbaikan. Dalam pelaksanaannya, seringkali masalah komunikasi antara Pemerintah Daerah dengan para PKL menjadi ganjalan dalam proses relokasi ke tempat yang sudah ditentukan. Oleh karenanya, materi yang dikomunikasikan haruslah jelas yang meliputi rencana relokasi, waktu dan pembiayaannya disertai dengan maksud dan tujuan serta manfaat relokasi bagi berbagai pihak, seperti: masyarakat PKL dan konsumen, baik yang berasal dari kota setempat maupun dari luar kota; terwujudnya keindahan kota, serta manfaat bagi Pemerintah Daerah. Di sini,manfaat bagi Pemerintah Daerah seperti pendapatan dari retribusi sengaja diletakkan di posisi terakhir, karena peran Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah memberikan pelayanan bagi masyarakat.   

Dalam menentukan lokasi penampungan permanen, diperlukan data jumlah PKL dan jenis barang dagangan lebih terkait dengan kebutuhan luas areal dan lokasi yang diinginkan PKL dan pembeli (masyarakat konsumen). Pemilihan lokasi yang memenuhi syarat, seringkali sulit terpenuhi. Secara teoritis dalam perdagangan ritel, faktor yang terpenting adalah lokasi gerai yang mudah dijangkau dan nyaman untuk dikunjungi oleh para pembeli (konsumen). Apabila lokasi yang dipilih ternyata tidak memenuhi keinginan PKL berdasarkan pengalaman mereka dengan para konsumennya akan sepi pembeli, maka perlu dipikirkan upaya lain dari Pemerintah Daerah untuk melengkapi agar nantinya tidak sepi pembeli. Sebagai contoh, ketika Pemerintah Kota Surakarta memindahkan PKL klitikan (barang loakan/bekas) di Kelurahan Banjarsari di tengah kota ke daerah Notoharjo di pinggiran kota (bekas lokalisasi Silir di pinggir Sungai Bengawan Solo) yang lokasinya jauh dari pembeli dapat teratasi dengan mengatur kembali trayek kendaraan umum (angkutan kota) agar melalui daerah itu. Selain itu juga, memberikan rambu lalu lintas yang menunjukkan arah ke lokasi tersebut dari berbagai tempat, termasuk rambu yang menunjukkan arah sejak masuk kota. Dengan upaya pengaturan trayek angkutan kota dan pemasangan rambu penunjuk jalan, jumlah pengunjung Pasar Klitihikan Notoharjo bertambah dari hari ke hari, bahkan pengunjungnya tidak lagi semata-mata dari Solo, tetapi juga dari luar kota Solo. Berdasarkan pengakuan dari para pedagang yang sebelumnya adalah PKL, rata-rata omzetnya naik dibanding ketika masih berdagang sebagai PKL di Banjarsari.

Untuk mempermudah berkomunikasi dengan para PKL, maka sebaiknya sudah terbentuk paguyuban pedagang, dan di sini para pedagang harus betul-betul dapat terwadahi dalam paguyuban ini. Pengurus paguyuban harus dapat mewakili para pedagang dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah pada saat dilakukan relokasi PKL. Sehingga paguyuban benar-benar menjadi mitra Pemerintah Daerah dalam penataan PKL. Setelah PKL direlokasi, peran paguyuban meningkat sebagai organisasi yang mewadahi kepentingan para pedagang dalam melakukan kegiatan usahanya, antara lain dalam penyediaan kebutuhan modal,pembelian barang dagangan (kulakan), dan penjualan bersama. Untuk melayani kebutuhan para pedagang, seyogyanya paguyuban berubah menjadi koperasi.   

Kamis, 31 Juli 2014

REVITALISASI PASAR TRADISIONAL TANPA PEMBENAHAN MANAJEMEN

Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah giat melakukan revitalisasi pasar tradisional milik pemeritah daerah di berbagai kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, jumlah pasar tradisional yang telah direvitalisasi sudah mencapai ratusan pasar sejak tahun 2008. Dana yang dicurahkan oleh pemerintah dalam program revitalisasi pasar tradisional milik pemerintah daerah ini melalui dua jenis saluran, yaitu Tugas Perbantuan (TP) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), di mana dana yang disalurkan melalui TP biasanya lebih besar dibanding dengan DAK. Di samping anggaran dari pemerintah, masing-masing pemerintah kabupaten dan kota serta pemerintah provinsi melalui APBD mereka juga turut serta membiayai revitalisasi pasar-pasar tradisional di daerah.

Keberhasilan revitalisasi pasar tradisional diklaim oleh pemerintah cukup berhasil dengan menunjukkan adanya peningkatan jumlah dan nilai transaksi setelah pasar direvitalisasi. Namun apabila melihat perkembangan di lapangan, sebenarnya terjadinya peningkatan jumlah dan nilai transaksi tersebut akibat setelah pasar direvitalisasi jumlah pedagangnya bertambah banyak dibanding jumlah sebelumnya, di mana biasanya pedagang kaki lima (PKL) yang semula berdagang di luar pasar yang lama kini harus masuk ke pasar yang telah selesai direvitalisasi bangunannya. Penambahan jumlah pedagang baru ex PKL menimbulkan keadaan pasar menjadi semrawut, mengingat pedagang ex PKL hanya diminta pindah tanpa dipersiapkan terlebih dahulu perilaku mereka. Sebagai catatan, pedagang ex PKL lebih mempunyai sifat sulit diatur "maunya sendiri", berbeda dengan pedagang pasar yang biasa berdagang di dalam bangunan pasar. Terlebih lagi, pengisian bangunan pasar yang telah selesai direvitalisasi tanpa diikuti dengan penataan zonasi barang dagangan, di mana pedagang dibiarkan menempati posisi yang sama dengan di pasar yang lama yang pada saat itu zonasinya sudah sangat kacau. Di sini, program revitalisasi pasar tradisional sudah kehilangan momentum untuk menata kembali zonasi barang dagangan akibat lemahnya manajemen pasar.      

Sebagian terbesar atau seluruh anggaran pemerintah tersebut ditujukan merevitalisasi bangunan phisik pasar. Hanya sebagian kecil dana yang disertakan untuk melakukan pembenahan pedagang dan pengelolaan (manajemen) pasar, sehingga kegiatan pembenahan atau seringkali juga disebut sebagai kegiatan pendampingan hanya berlangsung dalam waktu yang terbatas, biasanya hanya selama tiga bulan dalam setahunnya, sekalipun terus berlanjut selama tiga tahun. Jumlah anggaran pendampingan ini terlalu kecil, karena seharusnya kegiatan pendampingan setidaknya berlangsung selama tiga tahun secara terus menerus (setidaknya selama 10 bulan setiap tahun). Biasanya untuk kegiatan yang berkelanjutan terus menerus selama tiga tahun terhambat oleh ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berkenaan dengan kegiatan yang bersifat multi years. Apalagi setiap tahun anggaran baru, kegiatan pendampingan tersebut harus ditenderkan yang memerlukan waktu untuk prosesnya. Padahal kegiatan pendampingan selama tiga tahun terus menerus tidak boleh berhenti, karena dampak kegiatan ini akan tidak nampak hasilnya apabila terputus atau tidak berkelanjutan.

Tidak dapat dilakukannya kegiatan pendampingan tersebut berdampak pada kegagalan manajemen pasar tradisional yang sesudah mengalami revitalisasi bangunan phisik pasar, yaitu terjadinya kembali kekumuhan pasar sekalipun bangunan phisiknya baru saja dibangun. Oleh karenanya pada saat revitalisasi pasar tradisional dilakukan, perlu juga dipikirkan kelangsungan pemanfaatan bangunan phisik pasar yang telah dibangun dalam jangka panjang di mana pasar tersebut tetap bersih dan tertata rapi serta tetap diminati oleh kalangan masyarakat banyak sejajar dengan pasar-pasar moderen Oleh karenanya pembenahan terhadap manajemen pasar tradisional mutlak harus dilakukan bersamaan dengan proses revitalisasi yang ini seringkali dilupakan atau bahkan kurang mendapatkan perhatian.  

Pembenahan manajemen pasar yang sifatnya non-phisik lebih sulit dilakukan dibanding dengan pembangunan phisik bangunan pasar, karena menyangkut pengembangan sumber daya manusia, perubahan perilaku dan pola pikir, serta biasanya memerlukan waktu panjang dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Konsistensi kebijakan pembenahan pasar tradisional oleh pemerintah daerah terutama Pemerintah Kabupaten dan Kota sangat diperlukan yang notabene di sini dituntut komitmen kepala daerah yang sangat tinggi. Pergantian pejabat yang membina pasar tradsional sejak dari jajaran paling rendah sampai dengan pimpinan sebaiknya jangan terlalu sering dilakukan agar selalu terjadi proses yang berkesinambungan. Ini semua di lapangan, tampak kurang terjadi sehingga pembenahan manajemen pasar dalam revitalisasi masih kurang mendapatkan perhatian yang utama. Apabila pembenahan manajemen pasar tidak dilakukan bersamaan dengan program revitalisasi pasar tradisional, maka dapat dipastikan program ini kurang dapat menghasilkan pasar-pasar tradisional yang bersih, nyaman dan tertata baik, bahkan kekumuhan akan selalu terjadi kembali setelah paling lama lima tahun saat pasar selesai direvitalisasi.





Selasa, 29 Juli 2014


PEMBENTUKAN PAGUYUBAN PEDAGANG PASAR

Paguyuban pedagang pasar memegang peran penting pada pengelolaan pasar tradisional milik Pemerintah Daerah bersama dengan pihak pengelola pasar dalam bentuk pola kemitraan. Oleh karenanya di setiap pasar tradisional perlu dibentuk paguyuban pedagang, sehingga tugas pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan mengingat pada umumnya pengelola memiliki keterbatasan jumlah personil dan dana yang tersedia.

Pembentukan paguyuban pedagang di pasar-pasar tradisional di kebanyakan kota-kota besar relatif mudah dilakukan, bahkan ketika paguyuban ini sudah berdiri para pedagang sudah mampu mengembangkan paguyubannya sehingga paguyuban dapat dengan cepat bertindak ketika dihadapkan permasalahan yang berkaitan dengan aktivitas berdagang. Misalnya dalam penanganan permasalahan sampah, paguyuban pedagang langsung bertindak mencari jalan ke luarnya, sekalipun belum mendapatkan arahan dan dukungan dari pihak pengelola pasar. Bahkan seringkali dijumpai, paguyuban telah bertindak lebih maju, yaitu mengajukan proposal tentang penanganan sampah pasar dan membentuk satuan petugas sampah beserta pendanaannya yang ini semua ditanggung oleh paguyuban pedagang, sebelum pihak pengelola meminta partisipasi para pedagang pasar untuk berperan serta dalam penanganan masalah sampah.

Mengingat tingkat kehidupan masyarakat di berbagai daerah berbeda-beda, maka dalam pembentukan paguyuban juga diperlukan cara yang berbeda-beda dan waktu yang diperlukannya pun berbeda-beda. Pembentukan di pasar-pasar tradisional di kabupaten/kota-kota kecil lebih memerlukan upaya ekstra dan waktu yang lebih lama, mengingat kemampuan dan pengalaman para pedagang dalam berorganisasi sangat lemah. Sebaliknya bagi para pedagang di pasar tradisional di kota-kota besar mereka kebanyakan sudah memiliki pengalaman beroganisasi, biasanya di organisasi sosial keagamaan dalam waktu yang cukup panjang. Sehingga ketika mereka diajak berorganisasi di paguyuban pedagang, relatif mudah, hanya memerlukan sedikit penyuasaian diri.

Untuk membentuk paguyuban pedagang di pasar-pasar tradisional di kabupaten/kota-kota kecil pada awalnya harus terlebih dahulu dilakukan upaya untuk membiasakan para pedagang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil sebagai media berhimpun dalam berbagai kegiatan sosial keagamaan seperti mengaji, berkunjung ke keluarga yang sedang ditimpa musibah kemalangan (sakit dan meninggal) atau yang sedang mendapatkan kesempatan punya hajatan. Dalam kelompok-kelompok kecil ini tentu ada yang mengorganisir yang biasanya sebagai pemimpin kelompok yang ditunjuk oleh para pedagang dan kegiatan mengumpulkan uang sebagai sumbangan sukarela dari setiap pedaganng. Selanjutnya, untuk lebih mempererat dan mengikat para pedagang biasanya dikembangkan suatu kegiatan arisan dan simpan pinjam. Kalau kegiatan seperti ini sudah mulai dilakukan, maka biasanya diperlukan jumlah pengurus kelompok yang lebih banyak, yaitu sekretaris dan bendahara. Pada tahap ini biasanya kelompok para pedagang sudah mulai tumbuh dan berkembang dan sudah dapat diperluas cakupan keanggotaannya sehingga bisa terbentuk paguyuban pedagang

Di sini ada catatan tentang terbentuknya paguyuban yang perlu diperhatikan bahwa ketika pada awal terbentuk perkumpulan kelompok kemudian menjadi paguyuban yang dimulai dengan aktifitas kegiatan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan biasanya lebih mudah dilakukan dan bisa berjalan lancar. Namun, ketika kegiatannya bertransisi masuk ke kegiatan ekonomi atau yang berhubungan dengan aktifitas berdagang, seperti kulakan bersama dan menyimpan stok bersama, hal ini sulit dilakukan. Biasanya tingkat kepercayaan di antara sesama pedagang menurun, sehingga menyulitkan pengembangan kegiatan paguyuban yang mengarah pada kegiatan ekonomi. Oleh karena itu perlu pamahaman yang mendalam tentang karakteristik individu pedagang beserta kegiatannya masing-masing.
Agar pembentukan paguyuban pedagang seperti yang tahapannya telah diutarakan di muka, maka terlebih dahulu diketahui karakteristik umum dari pedagang pasar tradisional.Paguyuban pedagang, dan paguyuban hendaknya dibentuk secara alamiah, yakni para pedagang secara sukarela tanpa paksaan berhimpun dalam paguyuban atas kemauannya sendiri. Pada dasarnya mereka mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama di bidang ekonomi khususnya dalam hal berjual beli di pasar yaitu sebagai pekerjaan dan sumber pendapatan keluarga. Jadi para pedagang bersedia untuk mengikat diri dalam wadah paguyuban karena memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Di sini perlu penjelasan atau sosialisasi yang berulang-ulang, karena untuk meyakinkan bahwa pentingnya berhimpun dalam paguyuban dibanding berdagang sendiri-sendiri tanpa ada wadah paguyuban untuk berorganisasi.

Biasanya para pedagang sulit diorganisir dalam paguyuban karena pada dasarnya mereka saling bersaing diantara sesama pedagang. Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU (November,2007), pesaing terberat adalah sesama pedagang di dalam pasar (38,96%), kemudian para pedagang kaki lima/PKL (27,27%), sedangkan minimarket dan supermarket hanya 7,80% dan pedagang keliling 0,65%, sisanya tidak diketahui. Di sinilah diperlukan pihak yang bertindak sebagai starter, bisa dari kalangan pedagang sendiri biasanya dari di luar kelompok yang dianggap cukup memiliki kharisma untuk mempersatukan mereka atau dari pihak lain yang dekat dengan pedagang, seperti pihak pengelola pasar.

Paguyuban pedagang yang dibentuk secara alamiah di mana para pedagang pasar berkumpul tanpa paksaan atau atas kemauannya sendiri, dapat dikatakan sebagai suatu komunitas moral dalam skala kecil di suatu pasar tradisional. Menurut Sztomka, komunitas sosial dibangun di atas tiga hal: kepercayaan (trust), loyalitas (loyalty), dan solidaritas (solidarity). Ketiga hal tersebut diartikan sebagai tiga pilar komunitas moral yang juga merupakan pilar tumbuhnya suatu organisasi ekonomi yang kuat,jika di kemudian hari paguyuban pedagang pasar ini dikembangkan menjadi Koperasi Pedagang Pasar atau Koperasi Pasar ketika anggotanya tidak sebatas para pedagang pasar semata.

Kepercayaan (trust) adalah pilar pertama yang menjadi pertanyaan adalah,apakah masyarakat pedagang dapat digolongkan ke dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high-trust society0 atau sebaliknya, masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan rendah (low-trust society). Biasanya negara yang masyarakatnya memilki tingkat kepercayaan yang tinggi seperti Jepang dan Amerika Serikat akan mampu mencapai keberhasilan ekonomi yang tinggi pula. Kalau melihat hasil penelitian Lembaga Penelitian SMERU seperti yang sudah diuraikan di atas,karena sesama pedagang pasar saling bersaing maka tingkat kepercayaan di antara mereka adalah rendah. Sehingga di sini perlu dibangun terlebih dahulu rasa kepercayaan di antara mereka sebelum membentu paguyuban. Di sini perlunya bantuan pihak lain dari luar kelompok pedagang, untuk dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama pedagang, karena seringkali seseorang pedagang yang akan mengajak pihak lain akan sulit mendapatkan kepercayaan dari para pedagang lain.

Loyalitas (loyalty) sebagai pilar yang kedua terbentuk setelah atau hampir bersamaan terbentuknya tingkat kepercayaan yang tinggi di mana proses pembentukan kepercayaan sudah berlansung cukup lama secara berkesinambungan. Proses ini memerlukan kejujuran dan ketelatenan dari semua pihak yang terlibat. Loyalitas yang sudah terbentuk menjadikan para pedagang patuh dan loyal terhadap paguyuban di mana mereka berorganisasi.

Solidaritas (soridarity) atau rasa setiakawan dari pedagang yang merupakan pilar ketiga, pada dasarnya merupakan solidaritas mekanik yang biasa diketemukan di kalangan masyarakat tradisional termasuk masyarakat pedagang pasar tradisional. Solidaritas mekanik didasarkan pada kesadaran kolektif bersama.Solidaritas ini didasarkan atas nurani kolektif yang kuat, yakni pengertian-pengertian, norma-norma dan kepercayaan yang lebih banyak dianut bersama. Menurut Durkheim, pada dasarnya solidaritas dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas organik ditemukan di dalam masyarakat moderen di mana solidaritas dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang.

Sifat-sifat natural sosial yang ada dalam masyarakat pedagang pasar tradisional menjadikan kesadaran kolektifitas sangat dominan, di mana komunitas berperan dalam menghukum orang-orang yang menyimpang dan masyarakatnya memegang konsesus terhadap pola-pola normatif yang berlaku. Sifat-sifat sosial inilah yang perlu diperhatikan ketika membentuk suatu paguyuban pedagang, karena sifat-sifat ini nantinya yang mewarnai mekanisme prosedural organisasi paguyuban pedagang, Sifat-sifat pokok masyarakat pada solidaritas mekanik seperti tidak ada pembagian kerja yang kuat serta saling ketergantungan yang rendah di antara pedagang pasar perlu diperbaiki dengan memperkenalkan pentingnya kepengurusan paguyuban agar kelak dapat mengelola kepentingan dan tujuan bersama di bidang ekonomi. Seperti diketahui bahwa paguyuban merupakan wadah pedagang pasar yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama di bdiang ekonomi. Di antara pengurus paguyuban hendaknya harus ada pembagian kerja dan ada saling ketergantungan. Jadi di antara para pengurus harus diperkenalkan pembentukan solidaritas organik yang biasa terjadi pada masyarakat industrial perkotaan.

Jadi dengan memperhatikan ketiga modal sosial yang terdapat pada komunitas pedagang sebagai suatu komunitas sosial, maka dalam pembentukan pagyuban pedagang pasar tradisional perlu dilakukan terlebih dahulu dilakukan adalah pembangunan kepercayaan di antara para pedagang, kemudian secara bersamaan perlahan-lahan dibangun rasa loyalitas dan kesetiakawanan (soldaritas) di antara mereka. Keterlibatan pihak lain yang dekat dengan kelompok pedagang seperti pihak pengelola pasar dan para pembina pasar tradisional. Langkah-langkah ini perlu dilakukan dengan penuh ketelatenan dan secara berkesinambungan.

Minggu, 20 Juli 2014

PAGUYUBAN PEDAGANG MITRA KERJA PENGELOLA PASAR TRADISIONAL

Dalam pengelolaan pasar tradisional milik Pemerintah Daerah peran paguyuban pedagang sangatlah penting, karena keterbatasan pihak pengelola pasar, terutama dalam hal keterbataaan jumlah personil dan dana.Namun di kebanyakan pasar tradisional di daerah-daerah peran paguyuban pedagang masih kurang dioptimalkan. Bahkan kedudukan paguyuban pedagang belum dianggap sebagai mitra kerja dan masih diposisikan yang lebih rendah dibanding posisi pihak pengelola pasar. Di beberapa pasar tradisional, peran paguyuban dalam pengelolaan pasar sudah sangat maju, seperti dalam hal pengelolaan kebersihan melalui pengelolaan Bank Sampah dan pembuatan kompos, keamanan,dan pengelolaan toilet. Peran ini sebenarnya sudah memperingan tugas pihak pengelola pasar, hanya saja di banyak daerah dalam menjalankan perannya paguyuban pedagang masih dibiarkan berjalan sendiri sehingga para pedagang menganggap kehadiran pihak pengelola hanya sebatas menyediakan tempat berdagang yang harus diimbali dengan pembayaran restribusi pasar.

Paguyuban pedagang yang mampu mengelola pasar tradisional dibentuk dan berkembang dalam waktu yang cukup lama. Paguyuban pedagang yang berkembang menuju kedewasaan melalui proses dalam waktu lama, dan proses ini dapat berlangsung lebih cepat di pasar-pasar tradisional di daerah perkotaan. Hal ini karena pemikiran para pedagang yang sudah maju, seperti mereka sudah mempunyai kesadaran tentang pentingnya berorganisasi untuk mendapatkan kemudahan, keamanan dan kenyamanan dalam berdagang di dalam pasar. Sedangkan di pasar-pasar tradisional di daerah kabupaten/kota kecil, untuk membentuk dan mengembangkan paguyuban pedagang yang nantinya sanggup diajak berperan sebagai mitra kerja pihak pengelola pasar dalam pengelolaan pasar tradisional diperlukan pendampingan yang intensif dan waktu yang lebih lama. Masalah di sini yang muncul dalam pembentukan dan pengembangan paguyuban pedagang ialah ketika pihak pengelola pasar tradisional tidak memahami tentang pentingnya paguyuban pedagang sebagai mitra kerjanya dalam pengelolaan pasar atau sebenarnya mereka sendiri tidak paham tentang cara pembentukan dan pengembangan paguyuban pedagang sehingga pada akhirnya pihak pengelola cenderung menjadi apatis.

Ada tiga peran yang dimainkan oleh paguyuban pedagang, yaitu: 1. Memfasilitasi aspirasi pedagang dalam penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan aktivitas perdagangan pasar. 2. Mengembangkan kegiatan para pedagang untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam peningkatan kesejahteraan hidupnya. 3. Memediasi kemungkinan kerjasama antara para pedagang dengan pihak lain (sesama pedagang dalam pasar yang sama, dengan kelompok pedagang di pasar lain, pemasok/distrbutor, kelompok pengguna/pelanggan, instansi terkait) yang sifatnya saling memperkuat kemandirian dan atau produktivitas para pedagang anggota paguyuban dan pihak lain mitra pedagang.

Ketiga peran dasar paguyuban pedagang di muka, yang pertama berperan dalam penyelesaian masalah di antar pedagang dan antara pedagang dengan pihak pengelola pasar dan atau pihak-pihak lain yang ada di pasar. Kedua berperan dalam mengembangkan kegiatan pedagang seperti mengupayakan perbaikan tempat usaha dan pelatihan pedagang serta mengupayakan kebersihan, keamanan dan kenyamanan tempat berdagang agar jumlah pembeli pasar meningkat. Ketiga berperan sebagai penghubung dengan pihak-pihak lain sebagai mitra pedagang, seperti para pemasok, lembaga keuangan dan kelompok pembeli. Ketiga peran yang dimainkan oleh paguyuban pedagang apabila benar-benar mampu dijalankan oleh paguyuban pedagang, maka pihak pengelola pasar dalam mengelola pasar tradisional akan banyak terbantu. Pasar-pasar tradisional di beberapa kota seperti di Surakarta di mana pasar tampak terkelola dengan baik terutama dari segi kebersihan, keamanan dan kenyamanan karena memilki paguyuban pedagang yang cukup maju yang mampu dijadikan mitra kerja dalam pengelolaan pasar bagi pihak pengelola.Oleh karena itu, untuk dapat memajukan pasar tradisional perlu dilakukan pembentukan dan pengembangan paguyuban pedagang di samping juga membenahi kemampuan manajemen pihak pengelola pasar, sehingga kemitraan di antara kedua belah pihak benar-benar merupakan sinergisitas yang bisa mewujudkan kondisi pasar tradisional menjadi lebih baik.      
PERAN PAGUYUBAN PEDAGANG DALAM PENGELOLAAN PASAR TRADISIONAL

Di kebanyakan pasar tradisional terutama yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah pengelolaan pasar tradisional belum banyak melibatkan paguyuban pedagang.Adanya potensi paguyuban pedagang yang masih terpendam belum banyak disadari oleh pihak pengelola pasar, sehingga pengelolaan pasar tradisional di banyak daerah semuanya dilakukan sendiri oleh pihak pengelola.Di lain pihak, pihak pengelola mempunyai keterbatasan antara lain dalam hal jumlah personil yang terbatas dan ketersediaan anggaran dalam jumlah yang cukup.    

Paguyuban pedagang dapat diajak berperan dalam pengelolaan pasar tradisional, seperti dalam hal penanganan kebersihan melalui pengelolaan Bank Sampah dan pengolahan sampah menjadi kompos, penanganan keamanan dengan membiayai para petugas keamanan,pengelolaan toilet,dan membantu penyediaan dan perawatan sarana pasar.Kemampuan paguyuban pedagang dalam pengelolaan pasar dapat ditunjukkan oleh kerelaan para pedagang untuk menyediakan tenaga dan dana yang mereka kumpulkan.Potensi yang sudah dimiliki ini kemudian diwujudkan dalam bentuk kemampuan paguyuban tentunya setelah melalui proses berorganisasidan kepemimpinan di kalangan para pedagang.Oleh karena itu,yang pertama perlu dilakukan adalah pembentukan paguyuban pedagang dan mendorong paguyuban tersebut untuk tumbuh dan secara bertahap menunjukkan kemampuannya turut serta dalam pengelolaan pasar. 

Dalam pembentukan paguyuban pedagang hingga mereka berkembang diperlukan peran pengelola pasar.Memang di banyak pasar tradisional,paguyuban pedagang dapat terbentuk dan tumbuh tanpa banyak turut campur dari pihak pengelola pasar tradisional, sedangkan di banyak kota dan kabupaten keadaannya masih lemah. Di pasar di kota-kota besar paguyuban pedagang bisa berusaha sendiri untuk mengelola pasar setelah melihat dan mengalami sendiri bahwa kepedulian pihak pengelola pasar hanya sebatas menyediakan tempat berdagang dan para pedagang membayar imbalan berupa restribusi pasar. Sedangkan kebutuhan para pedagang seperti kebersihan dan keamanan di dalam pasar sepenuhnya merupakan kewajiban paguyuban pedagang untuk menanganinya sendiri.Pada situasi seperti ini pihak pengelola pasar menganggap bahwa para pedagang sebagai pengguna sudah seharusnya memenuhi kebutuhannya sendiri selain tempat berdagang yang sudah disediakan oleh pihak pengelola.

Membentuk paguyuban pedagang pasar bukan suatu yang sulit dilakukan, karena di banyak pasar tradisional milik Pemerintah Daerah keberadaan paguyuban pedagang tidak sulit untuk ditemui. Namun jika melihat lebih jauh apa peran paguyuban yang sudah terbentuk tersebut, maka tidaklah banyak ditemui yang sudah berperan aktif dalam pengelolaan pasar. Biasanya di pasar-pasar tradisional di kota-kota besar di mana para pedagangnya sudah mampu mengorganisasi diri, paguyuban pedagang yang ada sudah banyak berperan dalam pengelolaan pasar, tanpa banyak turut campur tangan pihak pengelola. Bahkan pihak pengelola pasar cenderung membiarkan mereka melakukannya sendiri (tanpa keinginann untuk banyak tahu tentang kegiatan paguyuban pedagang). Pihak pengelola pasar menganggap kedudukan paguyuban pedagang lebih rendah dibanding kedudukannya sendiri, di mana paguyuban hanya sekedar merupakan kumpulan para penyewa tempat berdagang yang tidak harus dilayani untuk mencapai kepuasan dalam memanfaatkan tempat berdagang. Ini terjadi karena para pedagang dianggap sudah disediakan tempat berdagang yang layak dan tidak boleh berdagang di sebarang tempat termasuk di jalan. 

Keadaan yang selama ini terjadi di banyak pasar tradisional milik Pemerintah Daerah di mana kedudukan para paguyuban pedagang belum dianggap sejajar dengan pihak pengelola pasar perlu diubah. Tentunya perubahan ini perlu dilakukan dengan mengubah pola pikir dan bertindak para pengelola pasar, dan setelah itu perubahan ini dibawa untuk menjadikan paguyuban pedagang sebagai mitra kerjanya dalam pengelolaan pasar tradisional.       

  

Selasa, 15 Juli 2014

MONETISASI LIMBAH PASAR TRADISIONAL

Dewasa ini sampah merupakan penyebab utama kekumuhan di semua pasar tradisional.Hanya sedikit pasar tradisional yang berhasil menjadikan sampah memiliki nilai jual,dan sekaligus sebagai salah satu sumber pendapatan.

Sampah atau limbah pasar dapat dijadikan sesuatu yang memiliki nilai jual jika di pasar tradisional dengan mengubahnya menjadi kompos dan atau dijual dalam bentuk limbah yang dapat diolah kembali. Untuk menjadikan limbah pasar tersebut kompos diperlukan kepedulian para pedagang yang sejak awal membuang sampahnya yang sudah dipilah- pilah menjadi dua jenis sampah, yaitu sampah organik dan sampah an-organik.Sampah organik inilah yang dijadikan bahan baku pembuatan kompos. Sedangkan sampah an-organik nantinya dapat dipilah-pilah kembali untuk dijual kepada pengepul limbah. Pemilahan sampah oleh para pedagang inilah menjadikan pengolahan sampah menjadi kompos lebih mudah dibanding memilah-milah setelah sampah dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Agar sampah-sampah ini dapat terpilah-pilah,maka diperlukan tempat-tempat sampah yang terpisah antara tempat sampah organik (sampah basah) dan sampah an-organik (sampah kering).

Bagi limbah pasar yang dapat diolah kembali dapat ditangani melalui Bank Sampah yang biasa dikelola oleh Paguyuban Pedagang Pasar. Apabila jumlah limbah pasar an-organik ini jumlahnya tidaklah terlalu banyak, maka Bank Sampah dapat beroperasi setiap seminggu sekali atau dua kali. Apabila jumlah sampah tersebut cukup banyak, maka Bank Sampah dapat beroperasi setiap hari. Setiap pedagang yang menjual sampahnya ke bank, menjadikan secara otomatis pedagang tersebut adalah nasabah Bank Pasar. Setiap hasil penjualan, dicatat di buku tabungan milik setiap pedagang. Pencatatan pendapatan hasil penjualan tersebut merupakan pencatatan akhir pendapatan pedagang setelah dikurangi sejumlah tertentu untuk membiayai operasionalisasi Bank Pasar, seperti untuk pembayaran petugas Bank Sampah.Bank Pasar ini bekerjasama dengan para pengepul limbah yang siap menampung hasil penjualan limbah oleh para pedagang, sehingga harga pembelian limbah dari pedagang oleh Bank Sampah dapat mengikuti perkembangan harga pembelian oleh pengepul. 

Selanjutnya Bank Sampah ini bekerjasama dengan kalangan perbankan seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang menerima setoran setiap hasil penjualan limbah pasar dari pedagang sebagai tabungan di BPR. Sehingga di sini setiap pedagang yang menjadi nasabah Bank Sampah juga merupakan nasabah BPR. Kemudian para pedagang dapat menjadikan tabungan tersebut untuk membiayai kewajiban pedagang dalam berdagang, seperti membayar restribusi, dana kebersihan dan keamanan yang pembayarannya dilakukan melalui BPR dengan mendebet tabungan di bank tersebut. Sudah barang tentu, apabila jumlah tabungan setiap pedagang dari pendapatan hasil penjualan limbah pasar sudah cukup besar untuk membiayai kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan cara seperti ini penggunaan uang kartal di pasar oleh pedagang guna membiayai kewajiban pedagang menjadi berkurang. Di lain pihak, restribusi yang dibayarkan oleh para pedagang melalui pendebetan tabungan mereka, diterima oleh Dinas (SKPD) Pemerintah Kabupaten/Kota yang membidangi pasar tradisional melalui transfer dari BPR ke rekening instansi tersebut di bank lain.Monetisasi ini juga dapat dilakukan dalam penjualan kompos dari Unit Pengolahan Sampah kepada pihak lain, misalnya Koperasi Produsen Pertanian melalui transfer dari BPR ke bank lain di mana koperasi tersebut menjadi nasabannya. Kemudian pendapatan hasil penjualan sampah yang dibayarkan oleh Bank Sampah ke pada para petugas juga dilakukan dengan memasukkannya ke buku tabungan setiap petugas Unit Pengolahan Sampah. Akumulasi dari pendapatan ini merupakan tabungan bagi yang bersangkutan yang dapat dipakai, misalnya apabila di pasar tersebut terdapat Koperasi Pasar untuk berbelanja atau membayar berbagai kewajiban sebagai anggota koperasi dengan mendebetnya dari tabungan yang bersangkutan. Penjualan limbah sampah dari Bank Sampah ke para pengepul juga dapat dilakukan dengan melalui transfer antar bank di mana masing-masing pihak menjadi nasabahnya.

Monetasi sampah ini, di samping dapat mengurangi pengguanaan uang kartal dan membiasakan para pelaku di pasar dengan penggunaan layanan perbankan dan yang lebih penting adalah mengurangi sampah di pasar. Pada akhirnya modernisasi pasar tradisional dapat diwujudkan dengan langkah-langkah yang cukup sederhana dan bukan hal yang sulit untuk diterapkan di setiap pasar tradisional, dengan hanya bermodalkan kemauan dan keterlatenan hal ini dapat diterapkan.