Rabu, 14 November 2012

PENGORGANISASIAN PEDAGANG PASARKU

Pedagang di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah pada umumnya berusaha secara indiviual. Bahkan berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 di pasar-pasar tradisional di kawasan JABODETABEK (DKI Jakarta, Depok, Tangerang, Bogor) dan Bandung pesaing utama pedagang di pasar-pasar tradisional adalah sesama pedagang di pasar yang bersangkutan. Sehingga adanya persaingan ini, maka di antara sesama pedagang seringkali sulit menumbuhkan kepercayaan di antara mereka. Bahkan di lapangan, di suatu pasar di kota Klaten di Provinsi Jawa Tengan yang baru saja dibangun kembali, ditemui adanya permintaan sekat di antara lapak-lapak yang saling bertetangga yang dilontarkan oleh para pedagang dengan maksud agar apabila sedang dilakukan tawar menawar pedagang dengan pelanggannya, maka hal ini jangan sampai terdengar atau diketahui oleh pedagang tetangganya. Karena apabila sampai terdengar, maka pedagang tetangganya tersebut dapat menentukan strategi harga yang diterapkan di kalangan pembeli. 

Persaingan yang disertai dengan taktik masing-masing pedagang yang berbau dengan rasa kecurigaan yang  menimbulkan kurangnya rasa percaya di antara sesama pedagang merupakan salah satu penyebab mereka cenderung berusaha secara individual, tidak teroganisir. Kelompok pedagang yang ada di pasar-pasar tradisional yang terbentuk secara tidak sengaja, hanya terdiri dari beberapa pedagang yang biasanya didasari hubungan emosional, seperti masih ada hubungan kekerabatan di antara mereka atau merasar berasal dari suatu daerah (desa, kampung). Di lain pihak, kegiatan usaha  dari para pedagang di pasar-pasar tradisional yang kondisinya stagnan dari waktu ke waktu, salah satu penyebabnya adalah akibat dari mereka yang tidak terorganisir.

Beberapa masalah yang muncul akibat tidak terorganisirnya para pedagang tradisional.adalah munculnya rinternir di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah yang sudah jamak terjadi. Pengadaan barang dagangan (kulakan) yang tidak efisien seperti membeli sendiri-sendiri dalam jumlah yang relatif kecil yang harganya berbeda-beda di antara pedagang sekalipun mereka membeli dari pemasok atau lokasi yang sama. Para pemasok yang berposisi sebagai oligopoli memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat dibanding dengan para pembelinya, para pedagang pasar tradisional yang jumlah individunya lebih banyak.

Selanjutnya, para pedagang pasar tradisional yang tidak terorganisir dalam berusaha, hampir dapat dipastikan mereka sulit memenuhi pembeli tunggal yang membeli dalam partai besar, cenderung melayani dalam partai eceran. Sebagai contoh, pasar Keranggan di kota Yogyakarta terkenal dengan kekhasan barang dagangan kue-kue basah. Apabila pembeli (misal pegawai kantor yang ditugasi membeli makanan kecil yang dihidangkan pada saat kantornya mengadakan pertemuan) berkeinginan membeli beberapa jenis kue basah dengan volume pembelian cukup besar, maka pembeli tersebut harus melakukan transaksi dengan beberapa pedagang agar jenis dan volume kue basah yang diinginkannya terpenuhi dan diharapkan mendapatkan harga yang sama untuk masing-masing jenis kue  dari setiap pedagang yang melayaninya. Hal ini tentu pembeli yang bersangkutan memerlukan upaya yang cukup besar dan waktu yang lama. Lain halnya, apabila penjualan kue basah oleh para pedagang tersebut teroganisir, sehingga para pembeli dapat terlayani dengan memuaskan. Lebih baik lagi, apabila para pedagang dapat terorganisir dalam paguyuban pedagang yang menerapkan pelayanan prima kepada para pembelinya. Para pembeli cukup mengangkat telepon untuk melakukan pemesanan dan kemudian pesanan tersebut diantar oleh pihak paguyuban pedagang yang melayaninya. Bahkan paguyuban tersebut dapat menerapkan cara "jemput bola' yaitu mendatangi langsung para calon pembeli di tempatnya dengan membawa brosur dan contoh kue basah agar calon pembeli dapat melihat dan merasakannya. Apabila calon pembeli tersebut memutuskan membeli untuk jenis kue basah dan volumenya, maka informasi ini segera diteruskan kepada paguyuban pedagang untuk disiapkan jenis kue dengan jumlah sesuai dengan permintaan. Pembayaran dapat dilakukan melalui tranfer kerekening bank paguyuban pedagang. 


Pengembangan kehidupan berorganisasi di kalangan para pedagang tradisional sudah merupakan suatu keniscayaan, apalagi memang kita semua menghendaki peningkatan kegiatan usaha para pedagang tradisional di tengah-tengah gempuran pasar-pasar moderen yang berkembang pesat. Di sini diperlukan upaya langsung di tengah-tengah para pedagang untuk membangkitkan kesadaran berorganisasi dan menghilangkan rasa ketidakpercayaan di antara sesama pedagang pasar. Memang mudah untuk berwacana dan sulit melaksanakan upaya yang konkrit untuk mewujudkannya. Namun penulis berpendapat dengan niat yang besar, maka keinginan dari berbagai individu yang berkembang untuk memajukan pasar-pasar tradisional dapat disatukan dan penulis bersedia dengan tulus untuk turut membantu mewujudkannya. Mari kita wujudkan bersama, pasti bisa.

Selasa, 06 November 2012

KEPALA DAERAH YANG PEDULI PASARKU

Tidak banyak Kepala Daerah yang peduli terhadap pasarku. Untuk dapat melihat kepedulian Kepala Daerah, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan yang peduli terhadap pasar tradisional tercermin pada: Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan dan pedoman pelaksanaannya yang substansinya lebih bersifat penataan, pembinaan dan perlindungan pasar tradisional ketimbang mengatur retribusi. Dengan perkataan lain, tidak memposisikan pasar tradisional sekadar penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikumpulkan melalui pedagang, tetapi merupakan tempat yang sengaja disediakan oleh Pemerintah Daerah di mana masyarakat dapat berbelanja dan berjualan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, Kepedulian Pemerntah Daerah terhadap pasar tradisional tercermin pada bentuk organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi atau membina pasar tradisional setingkat Eselon II, karena kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan pasar tradisional yang memerlukan kewenangan pembina yang cukup tinggi. Di sini, dalam pengelolaan pasar tradisional memerlukan koordinasi dengan SKPD terkait, seperti dalam hal penyusunan anggaran, pemungutan retribusi, penanganan parkir, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan dan lingkungan hidup, bangunan pasar, tata ruang dan wilayah, serta pedagang dan konsumen. Hal yang krusial adalah penanganan Pedagang Kaki Lima di mana PKL merupakan pesaing utama para pedagang pasar tradisional terutama yang berdagang di sekitar pasar. SKPD yang membidangi pasar sudah seharusnya juga menangani PKL di mana sedikit demi sedikit PKL yang berjualan di sebarang tempat di daerah perkotaan pada akhirnya dilokalisasi di suatu daerah yang khusus yang memang diperuntukkan untuk penampungan PKL sehingga mereka diubah menjadi pedagang yang menetap, tidak lagi berpindah-pindah. Sebagai contoh, di kota Solo penanganan PKL dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) yang memindahkan PKL di Banjarsari ke Semanggi (Pasar Notoharjo) tanpa kekerasan. Selain itu juga memindahkan PKL di jalan sekitar pasar ke Pasar Gading dan Pasar Nusukan. Pemindahan PKL ke pasar tradisional memerlukan upaya pembinaan lanjutan, karena diperlukan merubah perilaku PKL yang biasanya kurang peduli dengan penataan dagangan dan kebersihan lingkungan menjadi pedagang pasar yang harus patuh terhadap tata tertib pedagang.

Ketiga, kebutuhan anggaran operasional pengelolaan pasar tradisional biasanya melebihi retribusi yang dipungut dari pedagang. Bagi daerah yang peduli terhadap pasar tradisional, maka kebijakan Kepala Daerah tentang pasar tradisional di daerahnya adalah meletakkan fungsi pasar sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, baik konsumen maupun pedagang. Pasar tradisional merupakan "cost centre" daripada "profit centre". Sehingga sudah sewajarnya dialokasikan anggaran yang cukup memadai bagi operasionalisasi pasar-pasar tradisional di daerahnya sebagai upaya melayani kebutuhan masyarakat yang secara makro ekonomi dapat menekan laju inflasi dan meningkatan pendapatan masyarakat.

Keempat, kebijakan memberdayakan pengelola dan pedagang pasar tradisional. Kebanyakan Kepala Daerah masih belum memperhatikan pemberdayaan pengelola dan pedagang pasar tradisional di deerahnya. Pengorganisasian dan peningkatan kapasitas para pengelola pasar belum dilakukan, ditandai dengan diterapkannya Sistem Prosedur dalam Pengelolaan Pasar, dan para petugas pasar masih bekerja seadanya tanpa pedoman kerja baku. Demikian pula pengawasan terhadap terselenggaranya aktivitas di pasar pada umumnya sangat lemah. Sebagai contoh, seringkali terjadinya kebakaran pasar tradisional yang biasanya akibat hubungan arus pendek karena kabel-kabel listrik yang tidak pernah dikontrol dan akibat kompor meledak karena para pedagang yang memasak makanan di dalam pasar luput dari pengawasan. Demikian juga sampah yang berceceran di pasar merupakan cerminan tidak adanya sistem prosedur penanganan kebersihan. Belum adanya sistem prosedur ditambah terbatasnya jumlah petugas dan lemahnya kepemimpinan (leadership) Kepala pasar merupakan penyebab utama lemahnya pengelolaan pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Demikian juga pemberdayaan para pedagang pasar tradisional  di daerah pada umumnya belum dilakukan, karena kebijakan Kepala Daerah belum pernah menyentuhnya. Pemberdayaan pedagang pasar-pasar tradisional dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan antara lain pelatihan tentang manajemen ritel dan manajemen keuangan sederhana. Di Pasar Kranggan, kota Yogyakarta, pedagang mendapatkan pelatihan dan pendampingan melalui Sekolah Pasar yang diinisiasi oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada. Kementerian Perdagangan juga melakukan pemberdayaan pedagang pasar tradisional di 10 pasar  percontohan di mana pasar-pasar tersebut sebelumnya telah direvitalisasi bangunannya. Kementerian Perdagangan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) juga memberikan pelatihan kepada para pengelola pasar dan pedagang pasar tradisional di Solo dan Balikpapan, di mana pada tahun 2011 penulis terlibat di dalamnya. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap daerah yang melakukan program pemberdayaan pasar tradisional (pengelola dan pedagang) pada tahun 2010 dan 2011, hanya Kepala Daerah Kota Surakarta (Walikota Solo) melibatkan diri secara langsung, baik dalam saat berlangsungnya pelatihan maupun sesudahnya melalui monitoring dampak pelatihan. Bahkan Wakil Walikota Solo turut mengajar pada sesi awal pelatihan.

   Walikota Solo (Bp. Jokowi) se-
   dang menyampaikan arahan ke-
   para peserta pelatihan mana-  
    jemen perpasaran, Nopember 
   2011.











Wakil Walikota Solo (Bp. FX. Hadi Rudyatmo) turut mengajar tentang manajemen mutu terpadu pengelolaan pasar tradisional, 2011.





Minggu, 04 November 2012

PENARIKAN RETRIBUSI DI PASARKU

Di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah, pemungutan dilakukan petugas pasar setiap hari. Sebaliknya di pasar-pasar tradisional, tidak ada lagi pemungutan retribusi dan sebagai gantinya para pedagang membayar sendiri retribusi kewajibannya di loket-loket yang telah disediakan yang mereka lakukan setelah pasar berhenti beroperasi (tutup).

Kebiasaan yang terjadi di pasar-pasar tradisional yang dikelola perusahaan swasta dapat dicoba untuk diterapkan di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah. Sebelumnya perlu dipersiapkan peraturan Bupati/Walikota tentang pembayaran retribusi oleh para pedagang sendiri ketika mereka selesai berjualan (pasar selesai beroperasi/tutup). Untuk itu, perlu dipersiapkan loket-loket pembayaran yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah pedagang yang diwajibkan untuk membayar retribusi. Selain itu juga perlu dipersiapkan daftar pedagang yang berjualan di pasar yang bersangkutan, dimulai pedagang pemilik kios, lapak tertutup dan terbuka, lesehan dan sebagainya. Dengan daftar tersebut dapat ditetapkan perkiraan besarnya penerimaan retribusi yang disetor melalui loket-loket pembayaran.

Pengelolaan loket pembayaran retribusi beserta petugasnya dapat dikerjasamakan dengan pihak perbankan seperti Bank Rakyat  Indonesia dan Bank Propinsi setempat (dahulu Bank Pembangunan Daerah-BPD). Sehingga pihak bank nantinya akan mengelola pembayaran retribusi (penarikan melalui loket dan pengadministrasiannya) dan kemudian menyetorkan ke (mentransfer ke rekening) Dinas Pendapatan Daerah secara periodik.

 Menjelang sistem pembayaran ini diterapkan, perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada semua pedagang di pasar tradisional yang bersangkutan setidaknya selama tiga bulan. Pada awal penerapan, hendaknya dicoba terlebih dahulu terhadap para pedagang pemilik kios. Setelah berlangsung tiga bulan, penerapan sistem ini diperluas ke para pedagang pemilik lapak, baik tertutup maupun terbuka. Tiga bulan kemudian diterapkan ke seluruh pedagang yang berdagang secara menetap di pasar tersebut. Sedangkan bagi para pedagang yang tidak menetap (musiman), pembayaran retribusinya masih tetap ditarik oleh petugas pasar. 

Dengan diterapkannya sistem tersebut di atas, maka tugas penarikan retribusi dapat berkurang. Perlu diketahui bahwa tugas penarikan retribusi di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah menyita hampir seluruh waktu dan tenaga pengelola pasar. Akibatnya tugas-tugas lain relatif tidak tersentuh, antara lain pembinaan pedagang pasar tradisional di bidang kebersihan dan tugas pengawasan seperti pengawasan terhadap kabel-kabel listrik dan saluran air. Tampaknya selama ini penarikan retibusi lebih diutamakan, karena setiap pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah pada umumnya dibebani dengan target tertentu, dan retribusi pasar adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain volume pekerjaan penarikan retribusi berkurang, juga kebocoran yang kemungkinan dapat terjadi dapat diminimalisasi. Tugas pemantauan dan pencatatan pengumpulan retribusi yang harus dilakukan setiap harinya oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi/membina pasar tradisional juga berkurang. 

Setelah sistem pembayaran retribusi sendiri tersebut berjalan, dapat dikembangkan lebih lanjut yaitu mewajibkan para pedagang menjadi nasabah bank bersangkutan untuk pelayanan tabungan serta transfer pembayaran ke pemasok dan dari pelanggan. Sehingga kelak pembayaran retribusi dapat dilakukan melalui transfer otomatis tanpa harus melalui loket. Menjadikan pedagang pasar sebagai nasabah bank, hal ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan pinjaman modal usaha yang diharapkan dapat mengurangi beroperasinya rentenir di pasar. Upaya semacam ini dapat juga dilakukan bermitra dengan Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) dan sekaligus pihak perbankan diharapkan juga turut membina manajemen operasi simpan pinjam anggota yang dilakukan oleh KOPPAS. Ini semua perlu dicoba di pasar tradisional tertentu sebagai "pilot project" secara bertahap karena memerlukan proses belajar di kalangan aparatur pemerintah daerah, para pedagang pasar dan pihak perbankan.

Sabtu, 03 November 2012

PERAN PASARKU DALAM DISTRIBUSI BARANG

PENDAHULUAN
Pasar tradisional dapat dan kini sudah berperan dalam suatu rantai distribusi barang. Selama ini, peran pasar tradisional dalam distribusi dapat dijumpai di berbagai daerah, misalnya yang terlihat pada rantai distribusi beberapa jenis komoditi pertanian seperti sayur mayur,  buah-buahan dan palawija sejak dari petani di sentra-sentra produksi yang kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul untuk dijual ke pedagang pasar dalam hal ini pasar induk. Di pasar ini kebanyakan pembelinya bukanlah pembeli atau konsumen akhir, melainkan pedagang dari pasar lain yang bertindak sebagai peritel yang menjual ke konsumen akhir atau pedagang warung di daerah perumahan. Peran dalam rantai distribusi baang seperti ini sudah berjalan sejak dahulu kala.
 
Potensi pasar tradisional dalam rantai distribusi barang, khususnya para pedagang pasar yang bertindak sebagai peritel menjual barang atau komoditi langsung ke para konsumen akhir, dapat dikembangkan lebih lanjut. Namun untuk dapat menuju ke sana perlu pembangunan kapasitas para pedagang di pasar-pasar tradisional, khususnya untuk meningkatkan posisi tawar mereka, baik dihadapan para pemasaok maupun para pembeli.

Pada umumnya para pedagang pasar tradisional selain memiliki kelemahan dalam hal manajemen sederhana perdagangan eceran (ritel) dan keuangan juga memiliki kelemahan dalam hal kesadaran dan kemampuan berorganisasi. Dalam artikel ini dikemukakan pentingnya pembentukan lembaga yang menampung para pedagang pasar tradisional dan tahapan pembentukannya sesuai dengan perkembangan kesadaran dan kemampuannya dalam berorganisasi. Agar lembaga yang dibentuk mengakar ke seluruh pedagang secara merata, bukan hanya melibatkan kalangan pedagang tertentu, maka proses pembentukannya harus dari bawah ke atas (bottom up) bukannya pembentukan dari atas ke bawah (top down), seperti yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrat pemerintah.
 
PEMBENTUKAN ORGANISASI PEDAGANG
Para pedagang di pasar-pasar tradisional biasanya berjualan secara individual, ataupun bila berkelompok, jumlah pedagang dalam kelompok bersangkutan tidaklah banyak. Biasanya para pedagang dalam kelompok tersebut satu sama lain mempunyai ikatan emosional, seperti berasal dari daerah yang sama atau ikatan keluarga. Peran kelompok ini dalam pengembangan kegiatan usaha di pasar, hampir tidak ada. Padahal, kelompok yang diinginkan untuk menjadikan para pedagang pasar tradisional lebih berperan dalam rantai distribusi barang, yaitu semacam kelompok usaha bersama (KUB) yang menyatukan berbagai kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pedagang ketika berjualan, seperti pengadaan barang dagangan secara terorganisir sehingga mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat dihadapan para pemasok barang dibanding ketika melakukan kulakan barang dagangan secara sendiri-sendiri.

Mengingat kesadaran dan kemampuan berorganisasi di kalangan para pedagang tradisional masih rendah, maka pembentukan kelompok perlu diikuti dengan penyadaran pentingnya para pedagang berorganisasi guna mengembangkan kegiatan usaha serta menanggulangi permasalahan keuangan keluarga. Sebagai tahap pertama pembentukan organisasi adalah membentuk kelompok/paguyuban pedagang sejenis, seperti paguyuban pedagang sayur mayur; paguyuban pedagang buah-buahan; paguyuban pedagang bumbu-bumbuan dan bahan jamu; paguyuban pedagang kios pakaian, sepatu dan tas; dan sebagainya. Di sini para pedagang memilih pengurus kelompok/paguyuban (ketua, sekretaris dan bendahara) yang biasanya pedagang yang dianggap mumpuni (berkarisma dan ringan tangan, senang membantu siapapun dan senang berkumpul dengan pedagang lain) oleh para pedagang anggota paguyuban. Pada awalnya kegiatan kelompok/paguyuban pedagang ini hanya sebatas berkumpul diikuti dengan kegiatan arisan yang periodenya dapat mingguan, tengah bulanan atau bulanan. Perkumpulan ini juga beraktivitas sosial dalam kalangan anggota seperti melakukan kunjungan bagi pedagang yang sedang mengalami musibah atau kemalangan, seperti ada anggota keluarga yang sakit atau meninggal, aktivitas sosial lain seperti mengantar perdagang atau keluarganya yang menuaikan ibadah haji. Kemudian selain kegiatan arisan juga dikembangkan kegiatan simpan pinjam. Kegiatan dari kelompok/paguyuban dengan aktivitas seperti ini hendaknya jangan berlangsung terlalu lama, maksimal selama satu tahun. Tujuan aktivitas semacam ini pada awal perkumpulan terbentuk adalah membiasakan para pedagang bertemu rutin dan berorganisasi yang dikelola oleh pengurus kelompok/paguyuban.

Apabila para pedagang sudah terbiasa berkumpul secara rutin dan berorganisasi, kemudian dilanjutkan untuk dikembangkan aktivitasnya ke kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan usaha pedagang anggota kelompok/paguyuban, seperti kegiatan kulakan bersama dan menjadi pemasok bersama untuk melayani kebutuhan pelanggan dalam partai besar.

Setelah disepakati untuk melakukan kulakan bersama, maka sebelumnya perlu diinventarisasi kebutuhan barang dagangan dalam jenis dan jumlahnya dari setiap pedagang anggota kelompok/paguyuban ketika melakukan kulakan dalam suatu periode tertentu (harian, mingguan, tengah bulanan atau bulanan), serta dari mana (siapa) biasanya para pedagang tersebut mendapatkan barang. Setelah diketahui jenis barang dan volumenya secara keseluruhan anggota, maka dijajagilah untuk mencari mitra pemasok untuk dicari kemungkinan kerjasama kemitraan dalam pengadaan barang (kulakan). Di samping jenis barang dan volumenya, dapat juga dijajagi tentang cara pembayarannya,  apakah pembayaran langsung (cash and carry) atau pembayaran dengan selang waktu tertentu (setelah dua hari, tiga hari atau satu minggu). Sesudahnya perlu dibuat kesepakatan-kesepakatan antara pengurus kelompok/paguyuban atas nama para pedagang anggota dengan pihak pedagang pemasok.

Selain kegiatan kulakan bersama, juga dapat dikembangkan penjualan bersama secara terorganisasi. Sebagai contoh di kalangan paguyuban pedagang buah ketika memasok buah-buhan ke hotel dan rumah makan, atau penjual parsel pada saat datangnya hari-hari raya, di mana para pedagang anggota saling berkontribusi untuk memasok buah-buahan dalam volume cukup besar untuk jenis buah-buhan yang beragam. Ini tentunya akan sulit dipenuhi apabila para pedagang memasok secara individual. Di sini paguyuban bisa mengikat kontrak kerjasama dengan pihak pembeli dengan partai besar tersebut.

KELOMPOK USAHA BERSAMA DAN KOPERASI
Dalam kegiatan kulakan atau penjualan secara bersama yang dilakukan, para pedagang memiliki posisi tawar yang kuat dihadapan para pemasok ketika mereka melakukan kulakan atau dihadapan para pembeli dalam partai besar ketika mereka melakukan penjualan. Kelompok/paguyuban pedagang yang sudah melakukan aktivitas pembelian atau penjualan bersama dapat disebut sebagai kelompok usaha bersama (KUB). Apabila kelompok/paguyuban pedagang sudah mencapai tahap KUB, maka tahap berikutnya dapat diubah menjadi koperasi berbadan hukum. Dengan statusnya yang berbadan hukum, maka kerjasama kemitraan dapat diperluas seperti ke lembaga-lembaga keuangan perbankan dan ke industri besar seperti industri makanan minuman (INDOFOOD, MAYORA, ABC).

Koperasi berbadan hukum tersebut biasa dinamakan Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) yang embrionya berasal dari KUB jelmaan dari beberap kelompok/paguyuban pedagang sejenis. Apabila KOPPAS berada di setiap pasar bergabung dalam Induk Koperasi (INKOPPAS), maka posisi tawar para pedagang pasar menjadi semakin kuat, bahkan INKOPPAS dapat memposisikan diri dalam rantai distribusi barang, baik dalam pengadaan maupun penjualan barang-barang kebutuhan masyarakat yang dilengkapi dengan tempat-tempat penyimpanan barang-barang yang akan didistribusikan. Apabila posisinya sudah cukup kuat, INKOPPAS atau KOPPAS dapat sekaligus mengelola operasionalisasi pasar-pasar tradisional dengan menerapkan manajemen pasar yang moderen yang apabila hal ini dapat diwujudkan, maka daya saing pasar-pasar tradisional akan semakin kuat setara dengan manajemen pasar-pasar moderen. Selain itu, di sini juga terwujud sistem distribusi barang-barang kebutuhan masyarakat yang efisien yang dilakukan oleh para pedagang pasar-pasar tradisional. Bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, hanya memerlukan komitmen semua pihak pemangku kepentingan untuk mewujudkannya.