Rabu, 26 September 2012

REVITALISASI PASARKU

Revitalisasi pasar tradisional seringkali berujung pada munculnya permasalahan baru, karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru, atau pun jika pedagang tersebut berjualan dengan menggunakan lapak kini ukuran luas lapaknya jadi mengecil, sehingga terpaksa harus meletakkan sebagian barang dagangannya di depan kios atau lapak, mengurangi lebar lorong atau gang yang ada. Apabila langkah ini juga dilakukan oleh pemilik kios atau lapak yang berhadap-hadapan, maka sudah dapat dipastikan lorong atau gang di situ menjadi sangat sempit dan tidak lagi nyaman untuk dilalui oleh para pengunjung atau pembeli. Keadaan ini seringkali ditanggapi oleh pedagang dengan memilih berjualan di luar gedung pasar, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai dan pedagang tersebut semula berdagang di lantai atas. Sehingga mereka berjualan berbaur dengan pedagang kaki lima (PKL) menutupi jalan masuk dan bangunan pasar yang pada akhirnya pasar yang direvitalisasi tersebut menjadi tampak semrawut. 

Permasalahan lainnya yang muncul adalah tidak dilibatkannya Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) atau Paguyuban Pedagang Pasar dalam pengelolaan pasar seperti penyediaan jasa kebersihan, pemeliharaan toilet, dan penagihan biaya penggunaan daya listrik, karena biasanya setelah pasar direvitalisasi kegiatan-kegiatan tersebut akan ditangani oleh pihak pengelola  baru, khususnya jika dalam program revitalisasi ini melibatkan pihak swasta sebagai penyandang dana yang kemudian bertindak sebagai pihak pengelola pasar. Padahal pendapatan dari penyediaan jasa kebersihan, pemeliharaan toilet dan penagihan biaya penggunaan daya listrik tersebut merupakan salah satu sumber dana bagi KOPPAS atau Paguyuban Pedagang Pasar.

Kedua permasalahan yang muncul di muka merupakan satu penyebab kemunduran kegiatan usaha pedagang dan pasar tradisional yang bersangkutan secara keseluruhan, setelah direvitalisasi karena hanya melakukan renovasi pasar secara phisiknya semata.

Lain halnya jika program revitalisasi tersebut sepenuhnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) seperti yang dialkukan oleh Pemerintah Kota Surakarta di Solo, di mana sepenuhnya pedagang tidak dibebani biaya untuk mendapatkan kios atau lapak baru, kecuali apabila pedagang yang bersangkutan berkeinginan untuk menambah luas lapak atau kiosnya. Selain itu, kegiatan KOPPAS atau Paguyuban Pedagang Pasar (PAPATSUTA-Paguyuban Pasar Tradisional Surakarta) justru dikembangkan ikut dalam program revitalisasi pasar. Sebagai contoh PAPATSUTA di malam hari di saat pasar sedang tidak beroperasi diserahi mengelola pasar kuliner di halaman Pasar Nusukan, Solo. 

Program Revitalisasi Pasar Tradisional di beberapa kota dan kabupaten dilakukan dengan beberapa cara:

1. Seluruhnya dibiayai oleh APBD Pemerintah Kabupaten/Kota atau bersama Pemerintah melalui
    dana APBN.
2. Dilakukan melalui kerjasama antara Pemerintah Kabupaten/Kota menggunakan APBD atau
    menyediakan lahan aset pemerintah daerah dengan pihak Swasta sebagai penyandang dana.

Pada Program Revitalisasi Pasar Tradisional dengan menggunakan cara pertama, para pedagang lama dibebaskan dari pembayaran lapak/kios di pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali. Sedangkan luas lapak/kios yang mereka peroleh sama luasnya dengan ketika saat berdagang di pasar lama. Hanya kepada pedagang lama yang berkeinginan memperluas lapak/kios menjadi lebih luas dibanding miliknya di pasar lama diwajibkan membayar tambahan luas tersebut. Demikian juga kepada para pedagang yang baru diwajibkan untuk membayar kepemilikan lapak/kios tersebut.

Pengelolaan pasar setelah pasar selesai direnovasi tetap dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan sistem pengelolaannya biasanya hampir tidak berubah dibanding pengelolaan pasar lama. Inilah yang seringkali memunculkan kondisi pasar yang tidak berubah seperti pasar yang lama, sekalipun sudah direnovasi. Seharusnya ketika pasar sedang dibangun dan para pedagang dipindahkan ke tempat berjualan sementara, maka pada saat itulah persiapan tata cara pengelolaan pasar yang baru perlu dilakukan, antara lain: menyusun struktur organisasi beserta uraian jabatan; menyusun berbagai prosedur operasi baku (SOP) dan instruksi kerja dengan form-form kelengkapannya yang dibutuhkan untuk melakukan pencatatan; membuat pedoman pengawasan dan berbagai peraturan internal pasar yang harus dipatuhi oleh para pemangku kepentingan di pasar; serta melakukan rekruitmen calon kepala pasar dan petugas pengelola pasar yang diikuti dengan pelatihan tentang penggunaan instruksi kerja, prosedur operasi baku, dan pedoman pengawasa. Pembuatan berbagai prosedur, instruksi kerja dan pedoman sebaiknya dilakukan sendiri oleh para calon Kepala Pasar dan Staf Pengelola pasar didampingi oleh tenaga konsultan yang berkompeten agar sejak awal para calon tersebut memiliki pemahaman tentang hal-hal tersebut yang disertai dengan rasa memiliki (sense of belonging). Setelah dilatih, sekalipun pasar belum selesai direnovasi, kepada mereka langsung diminta bekerja dengan menggunakan cara pengelolaan yang nantinya dipakai di pasar yang baru. Kepada para pedagang juga dilakukan sosialisasi tentang cara pengelolaan pasar yang baru dan berbagai peraturan internal pasar yang harus dipatuhi secara bertahap dan konsisten.

Dalam cara kedua, dimana ada keterlibatan pihak swasta, di sini terdapat beberapa bentuk kerjasama yaitu pertama pihak swasta (pengembang) membangun pasar yang baru dan kepadanya diberikan kewenangan untuk menjual lapak/kios kepada pedagang baru dan pedagang lama yang ingin memperluas lapak/kiosnya. Pengelolaan pasar yang sudah direnovasi diserahkan kembali ke pihak Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketika pasar selesai direnovasi, kemudian dilakukan penjualan lapak/kios oleh pihak pengembang, seringkali terjadi masyarakat pemilik dana besar membeli beberapa lapak/kios sekaligus kemudian dialihkan atau dijual kembali ke orang lain yang kadang-kadang juga tidak langsung dipakai tetapi dibiarkan kosong menunggu orang yang bersedia menyewa. Karena pihak pengembang berhitung dengan dana yang dikeluarkan untuk merenovasi pasar agar mendapatkan keuntungan dari penjualan lapak/kios, maka pasar yang dibangun biasanya bertingkat. Adanya pembelian lapak/kios oleh masyarakat pemilik dana besar yang kemudian tidak dipakainya sendiri untuk berjualan, seringkali menimbulkan kekosongan lapak/kios di lantai atas. Terlebih lagi, dalam membangun pasar yang baru jauh lebih besar dibanding bangunan pasar lama, tanpa memperhitungkan jumlah pengunjung yang diharapkan berbelanja di situ dan juga tidak memperhitungkan keberadaan pasar lain. Keadaan ini diperparah oleh pembiaran beroperasinya Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar pasar baru tersebut yang dapat menyaingi para pedagang di dalam pasar. Setelah pasar selesai direnovasi, pihak pengembang menyerahkan pengelolaan pasar tradisional tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan pihak pengembang hanya sebatas menyelesaikan penjualan dan pembayaran lapak/kios yang masih belum tuntas. Seperti yang telah diuraikan di muka, untuk menghadapi pengelolaan pasar baru segalanya perlu dipersiapkan sejak dini.

Bentuk kerjasama yang lain adalah pihak swasta sebagai pengembang diijinkan untuk membangun pasar moderen ditempat yang sama, biasanya di lantai atas, sedangkan di lantai bawah diperuntukkan bagi para pasar tradisional. Dengan cara penempatan pasar moderen dan pasar tradisional seperti ini tampak adanya saling melengkapi, seperti ditunjukkan relatif tidak beroperasinya PKL di sekitarnya. Biasanya di sekitar pasar moderen beroperasi PKL yang menjajagan makanan, minuman, pakaian dan tas serta barang-barang lain serupa dengan barang-barang yang dijual di pasar moderen tempat PKL tersebut beroperasi. Tentunya kualitas barang yang dijual lebih rendah, namun harganya juga lebih murah, sehingga masih banyak yang berminat untuk membeli.

Sebagian dari masyarakat perkotaan menjadikan pasar moderen (mall dan department store) masih sebatas tempat untuk berekreasi (jalan-jalan cuci mata), namun ketika mencari barang yang dibutuhkannya atau membeli makanan minuman mereka mencari PKL yang beroperasi di sekitar pasar moderen tersebut. Apabila di lokasi yang sama tersedia pasar tradisional, maka mereka akan berbelanja di pasar tersebut. Sebagian lagi menjadikan pasar moderen sebagai tempat utama untuk berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjadikan pasar tradisional sebagai pelengkap pasar moderen. Keadaan ini merupakan cerminan dari adanya perbedaan orientasi ekonomi yang menimbulkan perbedaan nilai sosial dan budaya di kalangan masyarakat yang datang mengunjungi  pasar  moderen, yaitu golongan masyarakat kapitalistik yang berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi dan golongan masyarakat prakapitalistik yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.

 Pengelolaan pasar tradisional yang sudah direvitalisasi yang lokasinya bersamaan dengan pasar moderen tersebut, di beberapa kota atau kabupaten kembali dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota seperti yang dijumpai di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Di tempat lain, pengelolaan pasar tradisional dilakukan oleh pihak pengembang bersama-sama dengan pengelolaan pasar moderen, seperti di Kota Balikpapan.




Kembali ke topik Revitalisasi Pasar Tradisional ini, kunci keberhasilannya adalah terletak pada cakupan program revitalisasi ini. Apabila hanya sebatas merenovasi bangunan phisik pasar, maka sudah dipastikan setelah beberapa tahun keadaan pasar tradisional tersebut menjadi tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelum program revitalisasi. Penyiapan pengelolaan pasar justru harus sudah dilakukan sedini mungkin yaitu bersamaan dengan proses renovasi bangunan phisik pasar. Hal inilah seringkali tidak pernah dipikirkan dan dilakukan oleh banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang melaksanakan Program Revitalisasi Pasar Tradisional yang justru pihak pengelola swasta selalu dengan serius mempersiapkannya sejak awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar