Senin, 24 September 2012

PEMERINTAH MELINDUNGI PASARKU

Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, pemerintah memberikan perlindungan terhadap Pasar Tradisional terhadap yang disebut dengan pesaingnya yaitu Pusat Perbelanjaan dan Toko Moderen. 

Salah satu tujuan dari peraturan tersebut ialah untuk memberdayakan pasar tradisional agar dapat tumbuh berkembang, serasi saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Pemberdayaan pasar tradisional berarti memperkuat keunggulan dan mengatasi kelemahan yang dimiliki olehnya serta memberi peluang agar pasar tradisional dapat memperkuat jaringan ritel di antara sesama pasar tradisional serta bersama dengan pusat perbelanjaan dan toko moderen dengan prinsip serasi, saling memperkuat dan saling menguntungkan tanpa saling mematikan melalui persaingan yang adil. 

Dalam peraturan tersebut diatur zonasi untuk pendirian lokasi pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko moderen. Dalam pendirian pasar tradisional, menurut peraturan tersebut harus memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, keberadaan pasar tradisional yang sudah ada serta usaha kecil dan koperasi yang beroperasi di wilayah bersangkutan. Adanya masyarakat yang masih terbiasa dengan tawar menawar dan pergi berbelanja menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki serta menyenangi produk yang segar, maka keberadaan pasar tradisional lebih diminati dibanding dengan keberadaan pusat perbelanjaan dan toko moderen.

Kini keberadaan minimarket yang berada di daerah pemukiman menggerogoti omset penjualan pasar tradisional, khususnya omset kios-kios yang biasanya berada di bagian luar pasar tradisional yang memiliki kesamaan jenis barang yang dijual. Jarak ke lokasi yang relatif sama dengan ke pasar tradisional serta kenyamanan dan harga yang tidak jauh berbeda mendorong para konsumen yang tinggal di daerah perumahan cenderung berbelanja fast moving consumption goods (FMCG) seperti sabun, sikat gigi, shampo, mie instan, kopi, gula, susu, makanan camilan dan sebagainya di minimarket. Di sinilah perlunya pengaturan zonasi pendirian ritel moderen dengan melakukan kajian secara lebih detail yang salah satu di antaranya ialah memperhatikan jenis barang dagangan yang dikaitkan dengan keberadaan pasar tradisional di wilayah tersebut. Tentunya kajian ini dilakukan setelah calon lokasi pendirian pasar moderen mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota atau Rencana Dasar Tata Ruang Wilayah (RDTRW) Kabupaten/Kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. 

Untuk melindungi keberadaan pasar tradisional juga diatur waktu beroperasi hypermarket, supermarket dan department store, yaitu mulai pukul 10 pagi waktu setempat. Pasar tradisional umumnya mulai beroperasi sejak subuh yaitu diawali oleh para pedagang dari luar kota yang menjual komoditi segar, antara lain sayur mayur, buah-buahan, bumbu-bumbuan, ikan dan ayam potong, serta makanan matang seperti kueh basah. Biasanya para pedagang ini mengakhiri aktivitasnya sampai dengan pukul 8 atau 9 pagi. Kemudian dilanjutkan oleh para pedagang yang secara tetap berjualan di lapak/kios pasar tradisional bersangkutan. Jadi apabila konsumen menghendaki berbelanja barang kebutuhannya yang segar pada pagi-pagi hari, mereka harus datang ke pasar tradisional.

Serangkaian pembatasan pendirian dan pengoperasian pasar dan ritel moderen sudah dilakukan, sekalipun di sana-sini masih terjadi penyimpangan, guna untuk melindungi keberadaan pasar tradisional. Namun pembatasan-pembatasan ini tidak cukup untuk mendorong kinerja pasar-pasar tradisional agar keberadaannya tetap didambakan oleh masyarakat banyak di tengah-tengah keberadaan pasar dan ritel moderen yang berkembang semakin pesat. Sebenarnya ada hal yang lebih penting dibanding dengan sekadar pembatasan pendirian dan pengoperasian pasar dan ritel moderen, yaitu pemberdayaan pasar tradisional terutama melalui peningkatan kompetensi pengelola dan pedagang pasar di samping pendanaan serta perbaikan dan pembangunan phisik pasar (program renovasi dan revitalisasi pasar tradisional). Pemberdayaan pasar-pasar tradisional merupakan salah satu fungsi dan tugas pokok pemerintah kabupaten/kota. Namun menurut pengamatan penulis, justru kegiatan pemberdayaan melalui peningkatan kompetensi pengelola dan pedagang pasar belum banyak dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Padahal kegiatan inilah yang lebih dapat menjadikan kualitas layanan pasar-pasar tradisional sejajar dengan pasar dan ritel moderen.

Salah satu contoh pemerintah kota yang sudah memberdayakan pasar-pasar tradisional dengan cukup baik adalah Pemerintah Kota Surakarta. Di sini Pemerintah Kota Surakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Walikota Surakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pasar Tradisional Kota Surakarta. Pengelolaan dan perlindungan pasar bertujuan  menata, mengevaluasi, mengawasi, melindungi dan membangun kegiatan perdagangan serta prasarana untuk:
 a. menciptakan, memperluas dan memeratakan kesempatan kerja di bidang perdagangan;
b. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat;
c. memanfaatkan sumberdaya milik Pemerintan kota Surakarta bagi kepentingan masyarakat;
d. memberikan kesempatan kepada masyarakat atau badan dalam mengelola dan memanfaatkan pasar
    bagi kemajuan daerah;
e. mempertahankan, menjaga dan melestarikan pasar sesuai peran dan fungsinya sebagai lembaga
   ketahanan ekonomi, sosial dan budaya; dan
f. mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Hal yang menarik dari tujuan pengeloaan dan perlindungan pasar tradisional tersebut adalah lebih mementingkan kepentingan masyarakat terlebih dahulu dan meletakkan tujuan untuk mendukung PAD sebagai tujuan terakhir. Di sinilah terlihat bahwa komitmen Pemerintah Kota Surakarta dalam mengelola dan melindungi pasar tradisional bagi kepentingan masyarakat sangat kuat. Di samping itu, Pemerintah Surakarta juga berkomitmen untuk mempertahankan, menjaga dan melestarikan pasar sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai lembaga ketahanan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga segi ketradisionalan pasar dapat terus terjaga di tengah-tengah era perkembangan modernisasi kehidupan masyarakat.

Perlindungan pasar menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2010 tersebut adalah merupakan upaya terpadu guna membangun daya tahan pasar yang berkelanjutan dan mampu memberdayakan pasar sebagai ruang kegiatan ekonomi dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Perlindungan pasar tersebut dilakukan dalam bentuk:
a. peningkatan kualitas bangunan, penataan atau pengelompokan pedagang;
b. pemberian kesempatan yang sama pada pedagang untuk memanfaatkan pasar, meningkatkan
    kesadaran, kemampuan dan kemandirian pedagang;
c. pemberian kemudahan kepada pedagang dalam hal perizinan, tertib administrasi, perlindungan 
    standardisasi pelayanan;
d. peningkatan pengembangan sumber daya pelaku pasar;
e. pemberian kenyamanan dan keamanan pasar; dan
f.  pemberian kepastian hukum terhadap pelanggaran.

Hal yang menarik dari bentuk-bentuk perlindungan pasar di atas ialah peningkatan sumber daya pelaku pasar yaitu pengelola dan pedagang pasar. Dengan adanya ketentuan secara eksplisit tentang peningkatan pengembangan sumber daya pelaku pasar, maka Pemerintah Kota Surakarta melakukan berbagai program pelatihan dan pendampingan bagi para pelaku pasar. Inilah salah satu bentuk upaya pemberdayaan pasar tradisional yang sangat penting yang dapat menjamin peruwujudan kesejajaran dalam tingkat kemajuan antara pasar tradisional dengan pasar dan ritel moderen.

Dalam pelaksanaan pengelolaan dan perlindungan pasar, Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang ditunjuk sebagai pelaksana adalah Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Dalam struktur organisasi DPP, dijumpai Bidang Kebersihan dan Pemeliharaan Pasar yang menangani phisik pasar (peralatan, fasilitas dan bangunan pasar) dan kebersihan pasar; Bidang Pengawasan dan Pembinaan yang menangani pemberdayaan dan pembinaan pedagang, keamanan dan ketertiban pasar, serta pengawasan pedagang; Bidang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menangani penataan dan pembinaan serta pengendalian PKL; dan Bidang Pendapatan Pasar yang menangani restribusi pasar.

Yang sangat menarik di sini adalah penanganan PKL dalam satu SKPD (dinas), sehingga pembinaan pedagang pasar dapat dilakukan secara terpadu bersama-sama dengan PKL. Perlu diketahui bahwa di lapangan seringkali dijumpai PKL yang berjualan di sekitar pasar menyaingi para pedagang pasar, sehingga para pedagang pasar berusaha untuk berjualan di halaman atau di sekitar pasar bersama-sama dengan PKL. Akibatnya halaman pasar kelihatan semrawut sehingga para pengunjung enggan berbelanja di pasar, atau bila pergi ke pasar enggan masuk ke dalam pasar, dan akhirnya lapak/kios banyak kosong ditinggalkan oleh para pedagang. Dengan pola pembinaan secara terpadu antara pedagang pasar dan PKL, maka Pemerintah Kota Surakarta memiliki program penempatan PKL di sekitar pasar ke dalam pasar, seperti yang dilakukan di Pasar Gading dan Pasar Nusukan. Setelah dipindahkan ke dalam pasar, para PKL mendapatkan pembinaan agar  merubah perilakunya menjadi perilaku pedagang pasar. Perubahan perilaku ini memang memerlukan waktu lama, bahkan pengalaman penulis di Pasar Klithikan Notoharjo yang menampung ex PKL Banjarsari, sekalipun mereka pindah sudah lebih dari satu tahun, namun sebagian dari mereka perilakunya masih belum banyak berubah, seperti mendisplai (menata) barang dagangan seadanya dan kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Sebagian dari mereka masih menganggap bahwa dirinya sendiri sebagai PKL sekalipun sudah memiliki kios di pasar. Memang pembinaan ex PKL menjadi pedagang pasar memerlukan waku lama, memerlukan kesabaran, konsisten dan harus dilakukan secara terus menerus. Ini semua dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta.

Di daerah lain, penanganan pedagang pasar dilakukan secara terpisah dari PKL, bahkan sulit diketemukan siapa yang sebenarnya bertindak sebagai pembina PKL. Seringkali karena PKL dianggap pedagang yang ilegal, maka tindakan yang diberikan adalah mengusir mereka dari tempat di mana mereka berjualan secara liar. Mengingat pengalaman Pemerintah Kota Surakarta dalam menangani pembinaan pedagang pasar dan PKL, maka sebaiknya pembinaan keduanya cukup dilakukan oleh satu SKPD (dinas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar