Jumat, 31 Agustus 2012

BERKENDARA DI DALAM PASARKU

Kejadian yang tidak dijumpai di Pasar Moderen dan terjadi di banyak Pasar Tradisional adalah adanya pengunjung yang mengendarai sepeda motor dan sepeda berbelanja di dalam pasar. Bahkan tidak jarang di pasar-pasar tertentu dijumpai becak yang juga masuk ke dalam pasar. Tentunya adanya kendaraan yang dipakai oleh para pengunjung dan pedagang di dalam pasar, mengganggu aktivitas  pasar, karena para pengunjung dan pedagang menjadi tidak nyaman, harus menghindar ketika kendaraan berlalu lalang di lorong/gang los-los pasar dan asap yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor menyebabkan kondisi udara menjadi tidak bersih. Terlebih lagi ketika banyak barang dagangan yang ditumpuk yaitu setelah para pedagang menurunkan barang dagangan dari kendaraan  dan menyimpan di lapak/kiosnya, sehingga menghalangi ventilasi udara.
Adanya kendaraan di dalam pasar, juga menyulitkan para petugas kebersihan untuk membersihkan gang/lorong di los-los dan membawa sampah ke Tempat Penimbunan Sampah Sementara. Sehingga hal ini juga berkontribusi terhadap terjadinya penumpukan sampah di dalam pasar.

Selain dijumpai kendaraan yang berlalu lalang, di antaranya banyak juga yang diparkir di lorong/gang los-los pasar ketika pemiliknya (pengunjung atau pedagang pasar) sedang berbelanja atau  melakukan kegiatan lain di dalam pasar.  Tentunya parkir di dalam pasar sebenarnya dilarang, dan semua kendaraan harus diparkir di tempat parkir yang sudah disediakan. Namun mereka melanggarnya dengan alasan mempermudah dan memperpendek waktu berbelanja, praktis untuk membawa barang yang dibeli, toh sekalipun dilarang pelanggaran ini tetap dibiarkan. Pembiaran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pembiaran-pembiaran yang terjadi di Pasar Tradisional. Dan pembiaran ini merupakan salah satu bagian dari ketidaktertiban yang melekat pada citra Pasar Tradisional.
 Oleh karena pada dasarnya setiap Pasar Tradisional menyediakan tempat parkir resmi untuk semua jenis kendaraan, mobil, sepeda motor, sepeda dan becak, maka semua jenis kendaraan harus parkir di tempat yang disediakan. Pembiaran parkir kendaraan di sembarang tempat, termasuk di dalam pasar  biasanya dilakukan oleh pihak Pengelola Pasar. Selain tindakan pembiaran ini merupakan tindakan pelanggaran juga merupakan tindakan yang tidak adil, karena bagaimanapun juga banyak orang yang masih patuh untuk memparkirkan kendaraannya di tempat yang telah ditentukan. Tindakan pembiaran seperti ini di banyak Pasar Tradisional tampaknya tidak disadari dengan sungguh-sungguh bahwa tindakan demikian adalah salah, dan cenderung dianggap sebagai hal yang biasa atau menjadi suatu kebiasaan yang tidak lagi dianggap  sebagai pelanggaran peraturan.
Tampaknya para Pengelola Pasar Tradisional harus disadarkan agar berani mengambil tindakan tegas terhadap berbagai pelanggaran, apabila kita semua menginginkan perbaikan Pasar Tradisional secara menyeluruh. Perlu dimengerti bahwa tindakan tegas bukanlah suatu tindakan kekerasan. Pemberian segala bentuk toleransi biasanya hanya mendorong terjadinya pembiaran berbagai pelanggaran yang pada akhirnya menjadikan Pasar Tradisional terkesan dikelola semaunya  sendiri.

Kamis, 30 Agustus 2012

PEDAGANG KAKI LIMA DI PASARKU

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) beralasan untuk memanfaatkan para pengunjung pasar yang kadang-kadang memang tidak dapat dipenuhi oleh pedagang pasar yang ada karena jumlahnya terbatas, sehubungan luas areal pasar yang juga terbatas. Dalam kondisi seperti ini, sebagai alasan yang dapat dibeanrkan adalah keberadaan mereka di sana, karena Pasar Tradisional yang tidak dapat menampung PKL. Namun ketika suatu pasar tradisional direnovasi atau dibangun kembali dengan luas bangunan yang lebih luas, keberadaan mereka tetap ada di situ.
Pada kondisi pasar setelah direnovasi atau dibangun kembali dengan bangunan yang lebih luas, keberadaan PKL di sekitar pasar sangat mengganggu pedagang di dalam pasar. Seringkali para pedagang pasar kehilangan pelanggan karena dihadang oleh PKL dengan jualan yang sama jenis dan kualitasnya, sehingga para pelanggan tidak perlu bersusah payah masuk ke dalam pasar. Bahkan, para pelanggan tidak perlu turun kendaraan roda dua yang dikendarainya yang berhenti tepat di depan PKL yang ditujunya. Sungguh praktis dan nyaman untuk berberlanja, tanpa kehilangan uang biaya untuk parkir. Pada akhirnya para pedagang di dalam pasar hanya dapat mengandalkan para pelanggannya yang tetap loyal berbelanja ke dirinya.
Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan berlangsung dan biasanya di banyak Pasar Tradisional memang dibiarkan, maka para pedagang di dalam pasar yang tersaingi oleh PKL melemah daya tahannya. Agar tetap dapat bertahan berjualan di pasar, maka mereka keluar pasar terutama yang biasa berdagang di lantai atas atau tempat-tempat yang kurang strategis (jarang dilalui oleh para pengunjung) untuk turut berjualan di lokasi yang sama dengan PKL. Akibatnya, pasar di bagian dalam terutama di lantai atas dan tempat-tempat yang kurang strategis menjadi kosong, tidak ada pedagang yang berjualan di situ. Di sini para pedagang terpaksa harus membiarkan asetnya berupa tempatnya berjualan yang sudah terlanjur dibeli atau disewanya yang bila diukur dengan  modal awal yang dimilikinya ternyata cukup besar.  
Hal ini yang terjadi di mana-mana, terutama ketika suatu Pasar Tradisional mulai beroperasi kembali setelah direnovasi atau dibangun kembali. Sungguh ironis keadaan ini, sehingga tujuan semula dari program revitalisasi Pasar Tradisional  melalui renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, yaitu 1) untuk menghilangkan kesan kumuh dan semrawut pada Pasar Tradisional; dan 2) menyediakan tempat berdagang yang layak kepada para pedagang pasar lama dan PKL untuk mencari nafkah yang lebih baik daripada semula, menjadi tidak dapat tercapai seutuhnya. Kemungkinan besar hasil yang dapat direalisasikan dari program ini adalah bertambah besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari restribusi pasar dan pendapatan lain. Sehingga di sini terjadi siklus yang berulang, yaitu: dari kondisi pasar yang awalnya kumuh, kotor dan semrawut kemudian untuk sementara berubah menjadi rapi, bersih dan nyaman, dan kembali kumuh, kotor dan semrawut, persis seperti keadaan awal. Ini merupakan kondisi akhir yang akan tidak pernah berubah menjadi lebih baik, tanpa ada komitmen yang kuat dari Kepala Daerah beserta jajarannya untuk mengubahnya yang diwujudkan dengan upaya yang sistematis, serius dan berkesinambungan.   
Berikut salah satu contoh yang dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Pemerintah Kota Solo yang memindahkan para PKL ke lantai dua di Pasar Nusukan yang dilakukan sejak bulan Januari 2012. Pada mulanya, kios dan lapak lantai dua Pasar Nusukan banyak yang kosong tidak dipakai berjualan oleh para pemiliknya. Alasan utama kenapa hal ini terjadi, karena hanya beberapa pengunjung pasar yang bersedia berbelanja atau sekadar mengunjungi lantai dua. Oleh karenanya pertama kali yang diupayakan adalah terlebih dahulu meramaikan transaksi penjualan di lantai dua dengan memindahkan para PKL yang berdagang di sekitar pasar ke lantai ini. Adanya peningkatan keramaian karena mulai didatangi oleh para pengunjung yang semula kemungkinan adalah para pelanggan PKL, maka beberapa pemilik lama kios dan lapak sedikit demi sedikit kembali berdagang di situ mengoperasikan aset yang sudah menganggur cukup lama. Para PKL menempati lokasi yang kosong termasuk di gang/lorong di depan kios yang masih tutup. Oleh karena sebelumnya adalah PKL, maka mereka dalam  berdagang di tempatnya yang baru  sudah barang tentu membawa kebiasaannya berperilaku sebagai PKL. Sebagai akibatnya, sebagian lantai dua menjadi terlihat kumuh dan semrawut. Mereka belum mengenal cara menata barang dagangan, hanya sekadar menumpuk-numpuknya seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.


Pengalaman ini juga dialami di Pasar Gading, Solo ketika para PKL yang beroperasi di jalan di sekitar pasar dipindahkan ke lantai dua pada pasar tersebut. Langkah yang dilakukan pada waktu itu, adalah merubah perilaku para PKL dan hal ini dilakukan secara perlahan, penuh dengan ketelatenan dan kesabaran, serta berkesinambungan oleh pihak pengelola pasar. Memang langkah ini memerlukan waktu yang cukup lama paling tidak selama 6 (enam) bulan bahkan satu tahun. Namun kini hasilnya sudah mulai nampak. Para PKL yang pada umumnya berjualan pakaian bekas, mulai terbiasa menata barang dagangannya, tidak lagi sekadar menumpuk-numpuk tetapi sudah ditatanya, digantung dengan menggunakan gantungan baju layaknya para pedagang pasar, sehingga tampak menarik para pengunjung. Mereka juga menjadi terbiasa memelihara kebersihan lingkungan tempatnya berjualan. Dengan diterapkan cara seperti ini, maka kebiasaan menggusur para PKL dengan menggunakan jasa Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) yang pada umumnya disertai dengan kekerasan sudah tidak diperlukan lagi. Cara yang dipakai ini layak ditiru untuk dapat diterapkan di daerah lain.

Rabu, 29 Agustus 2012

TEMPAT SAMPAH DI PASARKU

Selama ini Pasar Tradisional dipersepsikan pasar yang kumuh, kotor,  banyak sampah di mana-mana. Apabila diruntut ke belakang memang di kebanyakan pasar, jarang dijumpai tempat sampah di dalam pasar. Kalaupun ada selain jumlahnya tak memadai juga tidak memenuhi syarat sebagai tempat sampah. Karena jumlahnya terbatas, maka tidak semua gang/lorong di dalam pasar dapat dijumpai tempat sampah.
 Di banyak pasar tradisional, tempat sampah yang tersedia berbentuk keranjang dari anyaman bambu dengan dinding yang berlubang-lubang  dan terbuka, tanpa tutup. Oleh karena ada lubang-lubang,  tentunya apabila dipakai sebagai tempat sampah, maka sebagian sampah yang tercecer melalui lubang-lubang tersebut. Terutama ketika keranjang tersebut dipindahkan atau dipakai untuk membawa sampah dari suatu tempat ke tempat penimbunan sampah sementara (TPS), sehingga tempat-tempat yang dilaluinya banyak dijumpai ceceran sampah.

Di pasar-pasar tradisional lain tersedia tempat sampah dari tong plastik atau drum yang dindingnya rapat tidak berlubang, namun tidak bertutup, sehingga menimbulkan bau dan banyak lalat. Namun kondisinya sudah lebih baik dibanding tempat sampah yang berbentuk keranjang anyaman dari  bambu.


Tempat sampah yang paling ideal memenuhi syarat dan ini biasanya dijumpai di pasar-pasar tradisional yang baru saja direnovasi atau dibangun kembali. Biasanya berbentuk tong yang sengaja dibuat untuk tempat sampah. Biasanya terdiri dari dua tempat sampah tertutup, untuk sampah basah dan kering, atau tempat sampah organik dan anorganik. Ada yang terdiri dari tiga tempat sampah yang selain untuk sampah organik dan anorganik juga untuk sampah limbah B3. Berdasarkan pengamatan penulis di berbagai Pasar Tradisional di Jawa Tengah, penggolongan jenis sampah tersebut masih sebatas tanda di tempat sampah, karena pada kenyataannya semua jenis sampah bercampur aduk.  Tampaknya penggolongan jenis sampah ini masih sebatas keinginan untuk memenuhi salah satu kriteria Pasar Sehat, tetapi dalam pelaksanaannya belum ditindaklanjuti dengan kesiapan Sumber Daya Manusia, baik dari segi perubahan perilaku pedagang dan pengunjung pasar maupun kesiapan petugas kebersihan. Kebanyakan mereka juga belum mengetahui penggolongan ini dan tujuannya, ini menandakan bahwa belum ada sosialisasi yang dilakukan secara berkesinambungan dalam periode yang cukup panjang.  

Selanjutnya, setelah sampah terhimpun di tempat-tempat sampah, umumnya ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang pada umumnya berupa kontainer yang setiap hari s/d 2 hari sekali dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di salah satu Pasar Tradisional (Pasar Kota Boyolali) dijumpai kontainer sampah diletakkan di sebelah unit pembuatan kompos (pupuk organik), sehingga sampah yang telah dipisah-pisahkan di tempat-tempat sampah, khusus untuk sampah organik diproses dijadikan kompos. Namun penulis pada akhir Juli 2012 mendapati bahwa unit pengolahan kompos tersebut sudah tidak beroperasi dengan alasan tidak ada petugas yang mengoperasikannya. Petugas yang pernah dilatih mengoperasikan unit pengolahan sampah ini sudah tidak bertugas di situ lagi.
Di pasar lain, pengolahan sampah menjadi kompos dilakukan dengan  menggunakan tong-tong plastik yang difungsikan sebagai komposter. Tampaknya hal ini juga tidak berjalan baik, karena sejak awal tidak dipersiapkan SDM-nya dengan serius. Aktivitas ini masih sebatas pada kegiatan yang bersifat ad-hoc dan parsial sehubungan dengan event tertentu. Bukan sengaja ditujukan untuk program mengubah citra Pasar Tradisional menjadi lebih bersih dan nyaman. Apabila kegiatan yang bersifat ad-hoc dan parsial ini dilakukan terus menerus, maka upaya mengubah citra Pasar Tradisioanal menjadi pasar bersih dan nyaman sulit untuk diwujudkan sampai kapan pun.

Selasa, 28 Agustus 2012

FASILITAS LEMBAGA KEUANGAN DI PASARKU

Di beberapa Pasar Tradisional kini menunjukkan kemajuan layanan jasa keuangan seperti Perbankan,  Pegadaian serta Penukaran Uang Asing. Layanan jasa keuangan ini melayani kebutuhan para pedagang yang terutama dan pengunjung pasar (pembeli).  Lembaga Keuangan Perbankan tampaknya yang terbanyak dijumpai di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah dibanding layanan jasa keuangan lainnya. Lembaga Keuangan Perbankan yang terbanyak dijumpai adalah Bank BRI, Bank Pembangunan Daerah (BPD)yang beberapa di antaranya dilengkapi dengan ATM (Anjungan Tunai Mandiri) dan berbagai Bank Pasar.
Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU tehadap pasar-pasar tradisional di kawasan JABODETABEK dan Bandung pada tahun 2007, terungkap bahwa sumber-sumber modal dari para pedagang pasar yang diteliti sebagian terbesar merupakan modal sendiri (86,7% dari total reponden); kemudian dari perbankan 7,7% yang terbagi dua kelompok, yaitu berasal dari Bank Pemerintah 4,7% dan Bank Swasta 3,0%; sedangkan berasal dari Tukang Riba/Rentenir 1,0%; Koperasi 0,7%; dan Bank Pasar 0,2%.
Tingginya kepemilikan modal sendiri menunjukkan kemandirian para pedagang, namun sekaligus memperlihatkan kelemahan dirinya yaitu kegiatan usaha mereka cenderung tidak berkembang atau statis sepanjang waktu. Kebanyakan para pedagang Pasar Tradisional selalu merasa sudah puas dengan keadaannya sekarang. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya mereka tidak atau belum memiliki jiwa kewirausahaan (tidak atau belum memiliki sifat kreatif, inovatif dan berani mengambil risiko) dan memiliki keterbatasan pengetahuan tentang perdagangan eceran. Jika sebagian kecil  dari mereka ada yang berkeinginan untuk memperluas kegiatan usaha dengan meminjam dana dari lembaga keuangan, maka biasanya akan sulit atau dinyatakan belum layak mendapatkan pinjaman. Biasanya mereka lemah dalam pencatatan pembukuan dan pengelolaan keuangan. Mereka sulit menghitung aset, rata-rata omset, biaya operasi kecuali pembelian barang dagangan, bahkan sulit melakukan perhitungan keuntungan yang benar dengan memperhitungkan semua biaya-biaya yang dikeluarkan, karena tidak ada catatan perhitungannya. Padahal catatan ini semua dibutuhkan dalam perhitungan kelayakan usaha pedagang yang bersangkutan. Contoh yang biasa ditemukan pada pedagang Pasar Tradisional tentang kelemahan dalam pengelolaan keuangan sederhana ialah para pedagang tidak bisa memisahkan antara uang untuk keperluan usaha dengan uang yang diperlukannya untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Mereka mencampur-adukkan uang untuk keperluan usaha dan keperluan sehari-hari. Bahkan berapa pendapatan yang harus diperolehnya dalam sehari ketika berjualan tidak dihitungnya. Oleh karena itu, apabila ditanya berapa nilai asetnya sejak awal mulai berjualan hingga saat ini sulit dijawabnya. Untuk mengatasi kelemahan ini, maka kepada mereka perlu diberikan pelatihah pengelolaan keuangan lengkap dengan pembukuan sederhana.


Penggunaan pinjaman dari Pegadaian, Koperasi (kebanyakan hanya melayani simpan pinjam kepada para anggotanya) dan Tukang Riba/Rentenir diduga sebagian besar dipakai untuk membiayai kebutuhan sehari-hari yang sifatnya konsumtif.dan kebutuhan lainnya seperti membiayai anak sekolah dan keluarga yang sakit serta untuk biaya hajatan. Untuk mendapatkan uang dari ketiga pihak penyedia dana pinjaman tersebut relatif lebih mudah dibanding dengan meminjam dari Bank.Beperannya Tukang Riba/Rentenir yang dibeberapa daerah disebut dengan Bank Plecit atau bank Titil suit untuk dihindari dan keberadaannya masih dibutuhkan. Sekalipun dikenakan bunga yang cukup tinggi dibanding dengan Perbankan, Pegadaian dan Koperasi Simpan Pinjam, karena pembayarannya secara harian dan dilakukan dengan jemput bola (langsung mendatangi pedagangn yang bersangkutan), maka kebanyakan pedagang yang dijumpai penulis mengatakan bahwa hal ini masih bisa dalam batas kemampuan bayarnya walaupun merasa terpaksa melakukannya. Apabila ingin ini dihapuskan, maka perlu dipermudah cara/prosedur dan diperluas peluang untuk mendapatkan pinjaman dari Bank, Pegadaian dan Koperasi Simpan Pinjam.
Hal yang menarik dijumpai di salah satu Pasar Tradisional adalah Tempat Penukaran Uang Asing. Hal ini menandakan bahwa di daerah tersebut banyak dijumpai para mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang membawa pulang pendapatannya (remittance) yang diperolehnya ketika bekerja di luar negeri kemudian ditukarkannya di tempat ini. Biasanya mereka memiliki daya beli yang relatif lebih kuat dibanding pada umumnya para pengunjung pasar. Hal ini mendorong jumlah (omset) penjualan dan kualitas barang dagangan lebih tinggi dibanding dengan Pasar Tradisional di daerah lain. 

Minggu, 26 Agustus 2012

HIMBAUAN DAN SLOGAN DI PASARKU

Di banyak Pasar Tradisional terpasang himbauan dari Kepala Daerah dan slogan-slogan yang menggambarkan kebaikan pasar yang bersangkutan. Slogan-slogan tersebut tampaknya tidak bertindak lanjut yang akhirnya menjadi tidak berarti,  kosong tidak ada apa-apanya.
Seperti gambar di samping, Kepala Daerah menghimbau kepada semua orang agar menjaga dan merawat bersama Pasar Ratu agar tetap bersih, sehat, indah, nyaman dan aman. Ini bisa dikatakan bahwa adanya himbauan yang ditampilkan di atas billboard tersebut merupakan satu bentuk kepedulian Kepala Daerah yang bersangkutan terhadap Pasar Tradisional di daerahnya.
Biasanya himbauan seperti ini bersifat  mengajak khalayak untuk turut peduli terhadap Pasar Tradisional dengan menjaga kebersihan, kesehatan, keindahan, kenyamanan dan keamanan pasar. Namun sayangnya, di beberapa daerah seringkali himbauan seperti ini tidak selalu didukung secara konsisten oleh program kerja tahunan dinas-dinas yang terkait dengan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang Pasar Tradisional. Sehingga himbauan seperti ini praktis tidak dapat direalisasi dengan upaya atau kegiatan untuk mewujudkannya,  karena tidak didukung oleh anggaran yang cukup.
Di tengah-tengah keterbatasan anggaran, beberapa Kepala Dinas di daerah tertentu yang membidangi perdagangan, pasar dan pedagang berbuat cukup cerdik,  inovatif  dan tidak birokratif artinya berani melakukan sesuatu di luar pakem/kebiasaan aparat pemerintah (biasanya hanya menunggu arahan dari pimpinan daerah sampai arahan tersebut datang) dengan mengajak perusahaan-perusahaan swasta/BUMN yang beroperasi di daerahnya agar berpartisipasi, baik berbentuk bantuan dana maupun paket sarana prasarana dalam rangka mewujudkan pasar tradisional yang  bersih, sehat, indah, nyaman dan aman.
Gambar di bawah menujukkan slogan tentang pasar bersih yang dikaitkan dengan rejeki pendapatan pedagang pasar tradisional yang bersangkutan. Slogan ini diutarakan dalam bahasa daerah agar dapat dipahami oleh masyarakat setempat yaitu: "RESIK PASARE REJEKINE APIK" yang artinya pasar yang bersih maka rejekinya baik. Pesan ini dimaksudkan untuk menggugah semua orang agar peduli terhadap kebersihan pasar yang nantinya berdampak pada pendapatan yang meningkat.
Pada gambar berikutnya di bawah ini disajikan slogan di pasar lain yang juga ditampilkan dalam bahasa daerah, yaitu:"REJO PASARE, RUMAKET PASUDURANE, SEMPULUR REJEKINE" yang artinya pasar yang rame, erat kekeluargaanya dan pendapatanya berlimpah. Slogan ini menegaskan bahwa dengan adanya pasar tradisional tidak hanya sekadar tempat melakukan transaksi jual beli guna memperoleh pendapatan yang berlimpah, tetapi pasar juga membuat daerah rame dan mempereratkan kekeluargaan dalam masyarakat. Slogan ini menujukkan karakter dan budaya masyarakat di daerah pedalaman yang relatif  mementingkan persaudaraan daripada hanya sekadar berupaya mencari pendapatan dan mencari keramaian semata. 
Di samping himbauan dan slogan, seringkali juga dapat dijumpai ajakan yang biasanya disampaikan oleh Pihak Pembina atau Pengelola pasar yang bersangkutan. Dari kata-katanya yang sifatnya memuji kepada semua orang yang diajak turut serta peduli terhadap kebersihan pasar, dapat dikatakan bahwa poster ini cukup kreatif dalam hal penyampaian pesan, berbeda dengan lainnya.

 Disayangkan bahwa himbauan, slogan dan ajakan yang dijumpai di lapangan, seringkali hanya sebatas tercantum di billboard, poster-poster serta di dinding-dinding pasar. Hampir tidak ada orag yang peduli dengan semuanya itu. Di sini ada sesuatu yang salah, sehingga hampir semua orang apatis terhadap himbauan, slogan dan ajakan yang disampaikan untuk memperbaiki kondisi Pasar Tradisional pada umumnya. Sebelum kita memperbaiki situasi ini, maka terlebih dahulu untuk memetakan seluruh kelemahan yang menimbulkan berbagai masalah dan memikirkan solusinya. Solusi yang akan dijalankan, perlu dijadikan sebagai suatu gerakan masal berkesinambungan yang didukung oleh komitmen para pemangku kepentingan di berbagai lapisan dan dana yang cukup memadai tidak berlebihan.


PASARKU BERPOTENSI JADI PASAR SEHAT

Kementerian Kesehatan (KEMENKES) sejak tahun lalu memiliki program Pasar Sehat sejak tahun 2009. Program ini merupakan salah satu dari program-program preventif terhadap timbulnya penyakit. 
Pasar Sehat didasarkan pada beberapa kriteria, di antaranya kebersihan pasar, keberadaan layanan kesehatan gratis, keberadaan tempat sampah yang disediakan di dalam pasar, serta pengolahan limbah padat yang dikelola secara baik dan mampu sebagai pupuk kompos. Keberadaan pojok ASI bagi ibu-ibu yang hendak menyusui buah hatinya pun menjadi salah satu kriteria pasar sehat. 
Sebanyak 10 pasar sehat  di beberapa provinsi di Indonesia yang telah ditetapkan sebagai proyek percontohan pada program kerja KEMENKES tahun 2011, yaitu:
1. Pasar Ibu, Kota Payakumbuh, Padang, Sumatera Barat,
2. Pasar Bundar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah,
3. Pasar Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali,
4. Pasar Podosugih, Kota Pekalongan, Jawa Tengah,
5. Pasar Cibubur, Jakarta,
6. Pasar Argosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta,
7. Pasar Argopuro, Kota Malang, Jawa Timur,
8. Pasar Rawa Indah, Kota Bontang, Kalimantan Timur,
9. Pasar Margondo, Kota Metro, Lampung,
10. Pasar Pagesangan, Kota, Makassar, Sulawesi Selatan.

Pada tinjauan "Pasarku Berpotensi Jadi Pasar Sehat" mencoba mencoba mengulas beberapa fakta di lapangan yang mengarah ke Pasar Sehat, di luar  masalah sampah.
Pada gambar di bawah ini, di salah satu blok  di Pasar Grogolan Kota Pekalongan yaitu Blok E dijumpai himbauan kepada para pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah memegang sesuatu barang dagangan (makanan) dan di dekatnya (sekitar 20 meter) tersedia wastafel (tempat cuci tangan) yang dilengkapi dengan sabun. Namun berdasarkan pengamatan penulis setidaknya selama sekitar 45 menit pada akhir bulan Juli 2012 lalu di kala situasi pasar sangat sibuk, hanya dijumpai beberapa orang mencuci tangan di tempat fasilitas yang sudah disediakan. Tampaknya untuk merubah kebiasaan masyarakat tidak cukup dengan sekadar himbauan, tampaknya tidak semua orang yang memperhatikan himbauan tersebut, mungkin hanya sebagian kecil saja. Inilah kelemahan dari suatu program yang selalu tidak tuntas karena hanya berhenti pada sebatas himbauan yang tertulis di papan yang maksudnya agar dapat dibaca oleh orang banyak yang ada di tempat itu. Di sini diperlukan tindak lanjut yaitu penyuluhan (sosialisasi), bimbingan dan pengawasan secara terus menerus sampai masyarakat pedagang dan pengunjung pasar menjadi terbiasa mencuci tangan dan merasakan manfaatnya.

Papan himbauan ini diletakkan di los bahan makanan segar (terutama sayur mayur) dan basah (ikan dan daging)
Di bagian atas samping kanan wastafel di letakkan sabun.



Pembangunan  Blok E Pasar Grogolan ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Kota Pekalongan dan Yayasan Danamon Peduli (YDP-Bank Danamon) di mana los-los dibangun dengan beralaskan keramik dan diarahkan menjadi pasar percontohan pasar lain di kota ini.
Selanjutnya, penulis juga menjumpai layanan kesehatan bagi para pengunjung pasar yang biasanya dilayani oleh tenaga para medis setiap seminggu sekali atau dua kali seminggu, dan secara periode yang lebih lama, kadang-kadang juga dilayani oleh seorang dokter. Di beberapa pasar, layanan kesehatan juga dipakai sebagai program pemeriksaan kesehatan masyarakat. Layanan ini diberikan secara gratis di tempat khusus yang di salah satu ruangan dalam bangunan pasar (Pos Kesehatan). Dengan adanya Pos Layanan Kesehatan ini, maka sebenarnya fasilitas ini dapat ditingkatkan fungsinya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara umum, khususnya pengelola, pedagang dan pengunjung pasar. Selain itu, adanya Pos Layanan Kesehatan yang biasanya dioperasikan oleh Dinas Kesehatan/Pusat Kesehatan Masyarakat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kebersihan dalam layanan oleh pedagang menuju kualitas barang konsumsi yang lebih higienis, antara lain melalui penyuluhan (sosialisasi) dan bimbingan secara terus menerus kepada para pedagang pasar dan pemasok barang dagangan dari luar pasar.


Di Pasar Tradisional seperti Pasar Nusukan, Solo dapat dijumpai tempat khusus untuk merokok agar tidak mengganggu orang lain yang tidak merokok, seperti yang tertera di bawah. Penyediaan fasilitas ini adalah salah satu upaya agar udara di dalam pasar khususnya, tidak dipenuhi oleh asap rokok yang dapat membahayakan kesehatan orang-orang yang bukan perokok. Di  beberapa daerah,  memang telah diterapkan larangan melalui Peraturan Daerah (PERDA) tentang Larangan Merokok di Tempat-tempat Umum, sekalipun penerapan sanksi dan pengawasannya masih dirasakan sangat lemah. Apabila hal ini dapat terlaksana, maka akan terwujud udara yang segar yang sehat tanpa asap rokok di tempat-tempat umum, termasuk di Pasar Tradisional, dengan catatan pengawasan dan penerapan sanksi harus dilaksanakan secara terus menerus dan konsisten tanpa pandang bulu.



  

Sabtu, 25 Agustus 2012

PENGOLAHAN BARANG DI PASARKU

Di kebanyakan Pasar Tradisional dijumpai berbagai kegiatan pengolahan, seperti pemarutan kelapa untuk nanti digunakan sebagai bahan pembuatan santan kelapa seperti tertera pada gambar di samping,  pemotongan ayam hidup diteruskan dengan pencabutan bulu, penggilingan daging sapi dan ayam, penggilingan biji kacang tanah untuk bahan pembuatan sambal pecal, pemotongan kacang tanah untuk bahan pembuatan rempeyek kacang, penggilingan biji kopi, pengupasan bawang merah dan bawang putih, jasa penjahitan pakaian, perbaikan hiasan emas dan perak, serta  masih banyak lagi aktivitas lainnya. Oleh karena tidak disediakan tempat khusus, kebanyakan aktivitas ini  dikerjakan di depan lapak di gang/lorong pasar. Ada beberapa kegiatan dilakukan di dalam lapak/kios atau tempat khusus di luar pasar. Bagi kegiatan yang dilakukan di gang/lorong pasar, hal ini dapat mengakibatkan gang/lorong pasar menjadi sempit sehingga sulit untuk dilalui dan tidak nyaman. Akibat lain adalah di dalam pasar menjadi banyak sampah, karena biasanya aktivitas ini memproduksi sampah atau limbah yang penampungannya sementara tidak memadai. Sehingga, seringkali aktivitas ini dicap menjadi salah satu penyebab pasar menjadi kotor dan kumuh. Di lain pihak, akitivitas ini sangat dibutuhkan dan membantu para pembeli barang dagangan.


Pada gambar di samping adalah tempat pencabutan 
ayam potong yang lokasinya berada di luar pasar. Namun tempat ini kurang layak, prosesnya tidak higienis dan tidak ada fasilitas limbah, terutama air bekas pencucian.
Pada gambar di atas, penggilingan kacang tanah untuk bahan pembuatan sambal pecal. Aktivitas penggilingan ini dilakukan di gang/lorong dalam pasar yang kebetulan tidak banyak dilalui oleh para pengunjung pasar. Namun demikian, bagaimana pun juga aktivitas penggilingan ini tidak layak dilakukan di dalam pasar.
Gambar di atas menunjukkan tempat penggilingan daging yang sekalipun berlokasi di luar pasar tampak bahwa proses penggilingan dilakukan seadanya dan tidak higienis. Padahal daging yang digiling tersebut umumnya daging sapi, nantinya antara lain digunakan untuk pembuatan makanan bakso. Di sini juga tidak ada fasiltas penanganan limbah, baik limbah cair maupun padat.

Lokasinya masih di sekitar tempat penggilingan daging, pada gambar di atas tamapk seorang pedagang sedang mengemas arang ke dalam kantong-kantong plastik sebelum dijual ke para pengunjung pasar. Letak yang berdekatan antara tempat penggilingan daging yang merupakan bahan makanan dengan tempat pengantongan arang yang banyak mngandung debu kotor, menurunkan kualitas higienisme dagangan daging giling. Keadaan ini sudah sejak lama, dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi. Pada hal kemungkinan besar salah satu sumber penyakit yang dialami oleh para pembeli pasar tradisional berasal dari sini. Gambar di bawah ini juga menunjukkan bagaimana proses memasak makanan (gorengan) dengan menggunakan penggorenagan yang tidak layak dan kompor dilakukan di dalam pasar yang tidak memperhatikan higienisme dan rawan akan bahaya kebakaran.


Ada aktivitas lain yang dapat dijumpai di dalam pasar, yaitu jasa jahitan yang pada gambar di bawah ini selain menjadi penjahit juga menjual minuman dalam botol. Penjahit tersebut juga menjual potongan-potongan kain yang dapat dibeli disertai dengan jasa menjahitnya. Biasanya harga yang ditawarkan akan lebih murah dibanding jika pembeli hanya membeli kain kemudian menjahitkannya ke penjahit lain. Di kebanyakan pasar tradisional, jasa jahitan dilakukan dengan mengoperasikan mesin jahit tangan tanpa kaki yang pengerjaannya dilakukan secara lesehan.Keberadaan fasilitas jasa jahitan ini nampaknya juga belum pernah tersentuh pembinaan dari para pengusaha konveksi misalnya. Di kemudian hari untuk meningkat kualitas produk mereka, perlu diberikan pembinanan yang dilakukan tentang mode serta cara memotong kain dan menjahit yang baik secara berkelanjutan.
Berikut ini, akan ditampilkan gambar layanan jasa perbaikan perhiasan emas dan perak yang tidak selalu dijumpai di pasar-pasar tradsional yang dialkukan secara tradisional turun temurun.


Melihat berbagai kegiatan pengolahan, baik berbentuk pengolahan barang maupun layanan jasa di atas menunjukkan bahwa begitu banyaknya aktivitas yang dilakukan di pasar-pasar tradisional bukan semata-mata traksaksi jual beli tetapi juga layanan jasa. Namun semuanya itu belum disentuh dengan penataan dan pembinaan yang berkesinambungan. Ke depan, hal ini perlu dipikirkan, sehingga pasar-pasar tradisional yang memiliki potensi begitu besar dari dalam perekonomian rakyat dapat berkiprah dan berkembang sehingga dapat disejajarkan dengan pasar-pasar moderen.;

Kamis, 23 Agustus 2012

OH PASARKU PENUH TEMPELAN


Di kebanyakan Pasar Tradisional di berbagai daerah dijumpai tempelan poster, pamflet iklan produk yang dijual di pasar tersebut. Penempelan dilakukan di tempat-tempat di luar dan di dalam pasar di mana produk-produk yang diiklankan tersebut dijual di kios/lapak-lapak. Cara penempelannya di lakukan asal-asalan sehingga menambah kesan pasar menjadi semakin kumuh. Berdasarkan pengamatan penulis, pemasangan atau penempelan dilakukan oleh para karyawan yang ditugasi mendistribusikan produk yang bersangkutan dan kebanyakan cara pemasangannya tanpa sepengetahuan pihak pengelola pasar. Di lain pihak, para pedagang juga tidak terlalu mempedulikan dengan cara penempelannya pamflet iklan produk yang dijual di kios/lapaknya. Memang hal ini cenderung dibiarkan begitu saja oleh pihak pengelola pasar.
Sebagian pedagang terutama yang memiliki kios di bagian luar pasar, menghadap ke jalan atau pelataran pasar memanfaatkan poster-poster sebagai penutup kiosnya dari sengatan sinar matahari. Apabila pemasangannya di atur, penutup kios tersebut cukup indah, tetapi apabila tidak diatur atau pemasangannya asal-asalan, maka akan diperoleh hasil sebailknya, seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.
Beberapa daerah mengatur tata cara pemasangan iklan tersebut dengan menyediakan billboard seperti yang terlihat pada gamabar di bawah ini, yaitu di Pasar Nusukan Solo. Di sini, di samping turut memperindah pasar juga mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak periklanan. Sebenarnya pemasangan poster atau pamflet di dalam pasarpun dapat diatur tata letaknya, kemungkinan tidak dikenakan restribusi iklan, tetapi pihak perusahaan pemasok dapat diajak turut menata pasar melalui penempatan iklan produknya dengan memperhatikan estetika.
Jika tidak dalam bentuk tempelan poster, cara pengiklanan produk dapat diwujudkan dalam bentuk clemek yang bertandakan merek produk yang dapat dipakai oleh pedagang tertentu, seperti pedagang makanan matang, daging, sayur mayur, sembako, dan sebagainya. Sebagai imbalan karyawan dari perusahaan pemasok produk yang bersangkutan diwajibkan untuk memberikan pemahaman tentang penataan dagangan (displai) agar tampak menarik bagi pembeli. Sehingga bila hal ini semua dapat dilakukan secara sistematis, maka pasar tradisional akan tampak terkesan semakin bersih, dan kesan kumuh menjadi berkurang bahkan hilang.


AMANKAH PASARKU DARI KEBAKARAN?

Kebakaran seringkali terjadi di pasar-pasar tradisional yang hal ini sudah sejak lama terjadi. Meskipun demikiaan, hampir tidak pernah ada upaya pencegahan sejak dini. Seringkali terjadinya kebakaran diakibatkan oleh hubungan pendek arus listrik sehubungan dengan kecerobohan yang dibiarkan, seolah-olah sudah lumrah tidak perlu dipikirkan dan ditangani secara serius. Padahal setiap terjadi kebakaran sudah tentu diikuti dengan kerugian pedagang pasar yang sangat besar. Sebagai misal, kebakaran yang tejadi di Pasar Projo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang pada tanggal 20 Juli 2012 pukul 22.45 WIB telah menimbulkan kerugian sekitar Rp.1 (satu) trilyun, suatu jumlah yang sangat besar bagi ukuran kota kecamatan.(KOMPAS.com)

Gambar di samping ini menunjukkan kabel-kabel jaringan listrik yang dibiarkan semrawut dan tidak pernah dirawat sejak pasar mulai beroperasi pertama kali. Hal ini sudah umum terjadi di pasar-pasar tradisional.

Gambar di samping adalah meter listrik di pasar yang tampak tidak pernah mendapatkan perawatan, kemungkinan ini terjadi sejak pasar pertama kali beroperasi.


Dengan kondisi seperti selain tidak ada upaya pencegahan, juga persiapan untuk berjaga-jaga untuk mengantisipasi kebakaran kurang menjadi perhatian yang serius. Hal ini ditunjukkan dengan terbatasnya alat pemadam kebakaran (APAR) portable yang seharusnya disediakan dalam jumlah cukup banyak yang disesuaikan dengan luas pasar. APAR portable yang terbatas jumlahnya tersebut tidak tepat peletakkannya, bahkan terkesan asal-asalan. Di beberapa pasar, APAR portable dikumpulkan di kantor pasar sepeti gambar di bawah ini, dengan alasan apabila diletakkan di pasar kemungkinan hilang diambil orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Apabila terjadi kebakaran, sudah barang tentu untuk mengambil dan menggunakannya akan mengalami kesulitan. Selain itu, apakah peralatan tersebut selalu diperiksa secara berkala agar selalu siap digunakan ketika dibutuhkan.
Namun ada upaya cerdik yang dilakukan oleh Pihak Pengelola Pasar lain dengan meletakkan di lemari kecil seperti di gambar di bawah ini, untuk mencegah agar tidak mudah dicuri orang yang tidak bertanggung jawab. Apabila akan dipakai, maka kaca lemari kecil tersebut dapat dipecah dan APAR-nya diambil dan dipakai untuk memadamkan kebakaran.


Selain APAR portable diperlukan APAR jenis lain yaitu hidran yang sangat diperlukan untuk memadamkan api ketika mulai membesar sehingga APAR portable sudah tidak memadai lagi. Kembali di kebanyakan Pasar Tradisional kesiapan hidran sangat diragukan karena tidak pernah diperiksa apakah ada air yang mengalir di dalam pipa dan apakah peralatannya cukup lengkap. Pernah dijumpai di pasar, keberadaan hidran ini tidak terbebas dari halangan atau dengan perkataan lain tertutup oleh pedagang yang berjualan, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Keadaan ini akan menyulitkan pemeriksaan hidran untuk mengetahui kesiapan untuk dipakai. Apabila terjadi kebakaranpun kondisi seperti ini akan menyulitkan penggunaan oleh para petugas. Kebanyakan pada saat kebakaran, mobil pemadam kebakaran sulit mencari air karena ketidaksiapan hidran-hidran di pasar yang dapat beroperasi, terlebih lagi pada saat musim kemarau.
Berdasarkan pengamatan penulis ketika bertemu dengan pihak pengelola di berbagai pasar tradisional di beberapa daerah terbetik bahwa mereka tidak pernah mendapatkan pengalaman memadamkan kebakaran melalui simulasi secara berkala di pasarnya masing-masing. Bahkan hanya beberapa orang saja yang pernah dilatih menggunakan APAR portable. Penulis pernah menjumpai penyediaan APAR portable dalam jumlah yang cukup memadai, yaitu di Pasar Kota Boyolali, Jawa Tengah. Di setiap lima kios yang berjualan kain, baju dan barang-barang plastik yang ini dikategorikan rawan terhadap kebakaran diletakkan satu APAR portable dan pedagang di sekitarnya dilatih menggunakan peralatan tersebut. Di tempat lain yang rawan kebakaran, seperti di sekitar lapak-lapak di dalam pasar yang memasak makanan dan minuman juga diletakkan satu APAR pada dinding di dekatnyaportable. Hal ini perlu dijadikan contoh upaya persiapan penanganan bahaya kebakaran bagi pasar-pasar tradisional lain. Namun yang terpenting adalah upaya pencegahan dengan memastikan tidak ada pemasangan kabel-kabel listrik yang tidak mengikuti standar pemasangan instalasi listrik yang ditetapkan oleh PLN. Selain itu, perlu dilakukan simulasi pemadaman kebakaran secara berkala (6 bulan sekali)yang melibatkan semua pihak yang sehari-hari berada di pasar yang bersangkutan. Perlu diingat, jangan menyesal setelah terjadi karena meremehkan pencegahan dan persiapan penanganan.
Untuk mengurangi jatuhnya korban manusia apabila terjadi kebakaran di kala pasar tengah beroperasi, maka perlu disiapkan jalur-jalur evakuasi yang dilengkapi dengan petunjuk yang jelas dan bebas dari halangan. Jalur evakuasi ini tampaknya belum pernah terpikirkan dan belum pernah dijumpai di kebanyakan pasar tradisional. Kemungkinan fasilitas ini sudah disediakan ketika pada waktu pembangunan atau renovasi bangunan pasar. Namun dalam perjalanannya diduduki oleh para pedagang yang berjualan di situ. Perlu ditegakkan fungsinya kembali, untuk apa saja yang sudah disiapkan untuk menghadapi musibah kebakaran sebelum korban manusia berjatuhan.

Rabu, 22 Agustus 2012

TANGGA DI PASARKU


Tangga masuk ke pasar tradisional yang biasanya bertingkat dapat memberi kesan indah, bagaikan plaza atau mall yang kini sudah menjamur di banyak kota kecil sekalipun. Namun tangga masuk ke banyak pasar tradisional terlihat tidak terpelihara, dijadikan tempat parkir kendaraan roda dua atau menjadi tempat berdagang. Akibatnya keindahan pasar dengan tanggah yang megah menjadi hilang, bahkan tangga pasar yang semrawut memberi kesan pasar menjadi kumuh.
Gambar di samping adalah tangga masuk di Pasar Nusukan Solo, yang kelihatan indah dan bersih, sehingga memberi kesan pertama dari luar bahwa pasar ini menarik untuk dikunjungi, terlepas setelah masuk ke pasar kesan tersebut bisa saja berubah. Kondisi keindahan seringkali sulit dipertahankan, terutama setelah beberapa saat pasar tradisional beroperasi setelah dibangun atau direnovasi. Komitmen dan keseriusan pihak Pengelola Pasar dalam bertindak sangat menentukan keberhasilan mempertahankan tangga pasar tetap bersih dan menarik. Pengalaman yang banyak terjadi di pasar-pasar tradisional menunjukkan kekurang seriusan pihak Pengelola Pasar tampak menonjol menjadi salah satu penyebab kekumuhan pasar.
Gambar berikut di samping adalah tangga masuk ke Pasar Pandansari Balikpapan, yang sebenarnya dapat memberikan kesan pertama bahwa pasar ini indah dan menarik untuk dikunjungi. Namun tampak bahwa tangga tersebut dijadikan tempat parkir kendaraan roda dua yang kemungkinan parkir ilegal dan beberapa pedagang mengambil tempat operasi di sana. Keadaan ini menyebabkan tangga pasar tersebut kurang dapat memberikan kesan indah, terlebih lagi jika semakin banyak kendaraan roda dua diparkir dan juga banyak pedagang berjualan di situ, sehingga tangga menjadi sulit dilalui pengunjung dan kotor.
Gambar di samping ini tangga masuk di Pasar Kutoarjo, Purworejo yang menunjukkan keadaan yang lebih ekstrim, di mana tangga dipadati oleh para pedagang yang berjualan. Bagi para pengunjung yang merupakan pendatang atau bukan penduduk di kota itu yang memang sehari-hari berbelanja di situ, kemungkinan besar akan merasa berat hati untuk mengunjungi pasar tersebut. Kemungkinan sebagian dari penduduk yang biasa belanja di pasar itupun enggan masuk ke dalam pasar, cukup belanja di para pedagang yang berjualan di luar sekitar halaman pasar atau bahkan di tangga masuk pasar. Situasi ini terjadi di banyak pasar tradisional di berbagai daerah. Hal ini banyak dikeluhkan oleh para pedagang yang sejak awal berjualan secara tetap di dalam pasar, karena sepi pengunjung akibat dihadang oleh para pedagang yang berjualan di tangga dan pintu masuk serta di halaman sekitar pasar. Agar para pedagang di dalam pasar tetap bertahan hidup, maka mereka pada akhirnya ikut berjualan ke luar pasar dan meninggalkan lapaknya yang telah dimilikinya. Lapak dan kios di dalam pasar banyak yang kosong, sebaliknya tangga dan pintu masuk serta halaman sekitar pasar penuh dengan pedagang yang berjualan di situ, persis layaknya pasar tumpah di hari-hari raya. Apabila diinginkan pasar tradisional tampak indah dan menarik untuk dikunjungi, maka sejak awal ketika pasar mulai beroperasi lagi setalah selesai di bangun atau direnovasi harus selalu diantisipai kemungkinan terjadinya parkir kendaraan yang tidak pada tempatnya dan para pedagang yang bukan pedagang tetap (permanen) berdagang di tangga dan pintu masuk serta di halaman sekitar pasar. Apabila mulai ada gejala terjadinya hal ini, maka perlu dicegah atau dicarikan jalan ke luarnya, jangan ditunda-tunda atau dibiarkan belarut-larut. Membiarkan gejala ini menjadi lebih besar berarti sudah dengan sengaja mendorong terjadinya kekumuhan pasar tradisional.
Selanjutnya, tangga-tangga di dalam pasar juga dapat memberikan kenyamanan bagi pada pengunjung pasar. Peletakkan Tangga-tangga yang biasanya merupakan escalator di plaza dan mall di berbagai kota sangat nyaman untuk dilalui dan letakknya dibuat sedemikian rupa sehingga semua gerai memungkinkan untuk dikunjungi oleh para pengunjung. Hal ini belum terlalu diperhatikan di pasar-pasar tradisional. Namun ada beberapa pasar tradisional sudah dilengkapi dengan tangga-tangga yang indah menarik dan bersih. Salah satunya adalah tangga di dalam Pasar Kliwon Rejo Amertani, Temanggung yang gambarnya tertera di samping ini. Tangga tersebut tidak curam, tampak nyaman untuk di lalui. Struktur tangga yang curam dan tinggi dapat menyebabkan pengunjung pasar enggan untuk berbelanja ke lantai dua. Begitu pula para pedagang enggan berdagang di lantai atas, karena merasa sulit untuk membawa dagangan yang akan mengisi lapak/kiosnya. Pada gambar diatas, pemilik kios di sebelah kanan meletakkan dagangannya ke luar kios di pagar tangga. Hal ini menjadikan jalan/lorong di depan kiosnya menjadi sempit, tidak nyaman untuk dilalui oleh pengunjung. Kejadian ini perlu dihindari, jangan sampai merambah ke semua kios, sehingga dianggap sebagai suatu kebiasaan yang lumrah dan dianggap tidak melanggar peraturan berjualan.
Dari gambar-gambar di atas, tangga masuk dan tangga di dalam pasar sangat menentukan keindahan dan kenyamanan pasar tradisional bagi masyarakat pengunjung/pembelanja. Di kala perencanaan pembangunan atau renovasi pasar perlu memperhitungkan sampai sejauh keindahan dan kenyamanan yang ingin diwujudkan, terlebih lagi dalam pengelolaan pasar nantinya setelah pasar beroperasi dibutuhkan komitmen dan keseriusan pihak Pengelola Pasar dalam bertindak dalam mewujudkan Pasar Tradisional yang indah, bersih dan nyaman seperti layaknya plaza dan mall.

Senin, 20 Agustus 2012

PASARKU BUKAN GUDANG



Di kebanyakan pasar tradisional, para pedagang menyimpan banyak barang dagangan, khususnya barang dagangan yang tahan lama melebihi jumlah yang mampu dijualnya selama periode tertentu. Akibatnya, jumlah dagangan menumpuk di lapak/kiosnya dan para pedagang tersebut sulit menatanya agar dapat menarik pembeli. Bahkan, bila seorang pembeli membutuhkannya, pedagang yang bersangkutan sulit mencari di antara tumpukan yang menggunung tersebut. Bukan tidak mungkin, bila barang dagangan tersebut memiliki umur pakai ketika dibeli pelanggannya ternyata sudah mendekati waktu kedaluwarsa.

Kebiasaan membeli barang dagangan secara berlebihan dipicu oleh beberapa faktor, seperti: mumpung ada barang dengan harga murah; ada perasaaan aman apabila memiliki barang dagangan dalam jumlah banyak, karena apabila hanya menyimpan uang, takut habis dibelanjakan bukan untuk keperluan usaha; dan berjaga-jaga jika ada pembeli yang membutuhkan barang jualannya dalam jumlah besar yang sebenarnya hal ini masih jauh kepastiannya.

Pada umumnya, barang-barang yang dibelinya tidak dicatat, tetapi sekadar diingat-ingatnya, kemudian ditumpuknya tanpa melihat waktu pengadaan. Sudah barang tentu prinsip FIFO (First in First Out) secara phisik tidak dipikirkannya, apalagi bila dikaitkan dengan penetapan harga jual. Memang prinsip ini belum pernah didengarnya, apalagi dipahaminya.

Menumpuknya barang dagangan tersebut menyebabkan fungsi lapak/kios bertambah menjadi gudang. Apabila hampir semua pedagang melakukan hal ini, sudah barang tentu pasar terlihat sumpek dan panas, sirkulasi udara terganggu. Ketika pada pedagang tersebut menata (mendisplai) dagangannya, sudah barang tentu luas lapak/kiosnya menjadi tidak cukup lagi dan terpaksa menata dagangan menjorok ke luar lapak/kiosnya, sehingga lorong/gang di depan lapak/kiosnya menjadi sempit dan tidak nayaman dilalui oleh para pengunjung pasar. Terganggunya sirkulasi udrara sehingga suhu udara di dalam pasar memanas, mengakibatkan keinginan para pengunjung pasar untuk berbelanja menurun, termasuk pengaruh "impuls buying" berkurang bahkan hilang. Hal yang berbeda dengan suasana di pasar-pasar moderen, di mana suhu ruangan sekitar 24 derajat Celsius melalui penggunaan air conditioning dibuat nyaman untuk para pengunjung, sehingga minat berbelanja meningkat.

Kedua gambar di samping dan di bawah ini menunjukkan bagaimana pedagang pasar menyimpan barang dagangan secara berlebihan melebihi jumlah yang dapat dijual dalam suatu periode.
Agar para pedagang dapat menyimpan barang dagangan secukupnya sesuai dengan kebutuhan penjualan, maka kepada mereka perlu diperkenalkan pengetahuan tentang Merchandising Management yang sederhana. Kepada mereka diperkenalkan cara menyeimbangkan antara persediaan barang dagangan, kemampuan tempat penyimpanan dan penjualan dalam suatu periode.

Selama suatu periode, mereka harus mengenali kapan terjadi penjualan yang banyak jumlahnya dan kapan sepi pembeli. Apakah ada pelanggan-pelanggan tertentu yang cenderung memesan barang dagangan dalam jumlah besar dalam suatu periode. Di lain pihak, juga perlu mengetahui kapan pada masa-masa tertentu sulit mendapatkan barang dagangan untuk nantinya dikaitkan dengan kapan pembelian terbesar oleh para pelanggan guna menentukan jumlah persediaan barang. Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 terhadap pasar-pasar tradisional di Kawasan JABODETABEK dan Bandung terungkap bahwa jumlah terbesar pelanggan pedagang pasar tradisional yang diteliti adalah Toko/Warung dan Rumah Tangga. Sehingga di sini para pedagang pasar tradisional perlu memahami perilaku berbelanja kedua kelompok terbesar pelanggan tersebut. Selanjutnya, perlu diketahui berapa lama waktu penyimpanan barang dagangan terkait dengan waktu kedaluwarsa atau perkembangan model atau periode pemakaian yang berlaku. Di samping itu, mereka juga perlu memahami pengertian tentang prinsip FIFO atau LIFO (Last in Last Out) terutama untuk menentukan perhitungan harga jual.

Pengetahuan tentang Mercahndising Management dapat diperoleh dengan mengikuti pelatihan praktis dan singkat selama 2 s/d 3 hari.(materi pelatihan tersedia di rhybudi@yahoo.com).

PINTU MASUK PASARKU




Kebanyakan pasar tradisional memiliki pintu masuk yang tertutup oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berdagang di depan pasar tersebut. Sehingga para pengunjung sulit untuk masuk ke pasar. Hal ini berakibat merugikan pedagang pasar yang berjualan di dalam pasar, karena cukup berbelanja di depan tidak perlu masuk ke pasar, kecuali membeli sesuatu yang tidak dapat dijumpai di PKL. Sebagian dari PKL tersebut semula adalah pedagang pasar yang berjualan di dalam pasar, kemudian mereka ke luar pasar karena merasa tersaingi oleh PKL. Hal ini lumrah terjadi pada pasar-pasar lama, dan kini juga cenderung terjadi pasar yang telah direnovasi beberapa tahun lalu. Biasanya ketidakadaan PKL berjualan di depan pasar hanya dapat bertahan 1 -2 tahun, kemudian sedikit demi sedikit PKL mulai berdagang di mulut pintu masuk, sampai pada akhirnya bersama-sama dengan ex pedagang pasar yang ke luar menduduki seluruh bagian depan pasar, sehingga praktis menutupi seluruh bagian depan hingga ke bagian samping dan belakang pasar. Di lain pihak, tempat-tempat kosong di dalam pasar semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun, sehingga pasar ditinggalkan oleh para pedagang dan pengunjungnya.

Berikut adalah contoh pintu masuk pasar yang masih terbebas dari PKL atau pedagang "oprokan" (pedagang lesehan yang tidak memiliki tempat berdagang/lapak yang permanen), ketika pasar ini belum lama dilakukan pembangunan kembali (renovasi). Di banyak pasar, kondisi ini sulit dipertahankan dan apabila tetap bersih, karena menghadapi event tertentu, seperti selama periode penilaian dalam rangka ADIPURA. Upaya pembersihan yang dilakukanpun biasanya dengan kekerasan dengan melibatkan SATPOL PP(Satuan Polisi Pamong Praja).
Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi pada pasar-pasar yang baru saja direnovasi atau dibangun. Keberadaan PKL berdagang di sekitar pasar, sangat mengganggu pedagang pasar. Berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 di pasar-pasar tradisional di kawasan JABODETABEK dan Bandung, terungkap bahwa PKL adalah pesaing nomor tiga dari pedagang pasar, setelah sesama pedagang dan peritel moderen. Oleh karena, sedapat mungkin PKL dilarang berdagang di sekitar pasar. Apabila terpaksa terjadi, mereka diharuskan berdagang di dalam pasar sebagai pedagang "oprokan" dan jumlahnya dibatasi. Kemungkinan lain adalah menyediakan tempat berdagang yang lokasinya jauh dari pasar tradisinal yang sudah ada. Hal ini baru dapat dilakukan, apabila kebijakan penanganan pembinaan Pasar Tradisional dan PKL bersifat terintegrasi, tidak sepotong-potong. Menjadi lebih mudah, apabila penanganannya berada di satu SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) yaitu Dinas Pasar dan PKL.
Gambar di atas menunjukkan bahwa setelah pasar tersebut di renovasi, beberapa tahun kemudian PKL dibiarkan berdagang menutupi pasar dan tampaknya tidak ada upaya penyelesaian untuk memindahkan PKL dari depan pasar. Di sini terjadi pasar tumpah yang permanen, bahkan cenderung membesar. Di lain pihak, belum seluruh lapak di dalam pasar beroperasi penuh setiap hari. Ataupun apabila memang pasar sudah tidak dapat lagi menampung,maka perlu diupayakan perluasan bangunan pasar dengan menjadikan PKL sebagai pedagang pasar. Namun perluasan bangunan pasar dengan alasan keterbatasan lahan tidak harus bertingkat. Kebanyakan pasar yang telah dibangun bertingkat, lantai atas ditinggalkan oleh para pedagang karena pengunjung enggan berbelanja ke atas, akibatnya kembali para pedagang meninggalkan lapaknya dan berdagang di bawah terutama bagian depan pasar. Kembali persoalan lama terjadi, perluasan bangunan pasar tidak selalu menjadi solusi.Perluasan bangunan pasar perlu dipikirkan masak-masak. Apakah menjadi satu-satunya solusi? Sebaiknya perlu dicari akar permasalahan secara mendalam, sebelum mengambil keputusan memperluas bangunan pasar.

Minggu, 19 Agustus 2012

PENATAAN BARANG DAGANGAN DI PASARKU



  1. Pada umumnya para pedagang di pasar tradisional menata dagangan seadanya, belum memperhatikan bagaimana menata dagangan agar dapat menarik pengunjung pasar. Bahkan sekalipun mereka sudah bertahun-tahun berdagang di pasar, namun tidak terlalu peduli terhadap penampilan, dan memperhatikan apakah pengunjung banyak tertarik terhadap penataan barang dagangannya atau tidak. Kebanyakan yang terjadi, para pedagang menata dagangan menjorok ke luar Lapak/Kiosnya dengan alasan tempatnya sudah tidak cukup lagi. Sebagai akibatnya adalah lebar gang/lorong di depan Lapak/Kios menjadi sempit,sulit untuk dilalui oleh para pengunjung dan pasar menjadi sumpek. Banyak sebab yang mengakibatkan hal ini terjadi dan dapat ditelusuri untuk mencari akar penyebab terjadinya permasalahan tersebut. Pada tulisan yang berjudul PASAR TRADISIONAL DAN PERMASALAHANNYA (Tulisan ini dapat diperoleh secara cuma-cuma di rhybudi@yahoo.com) akar penyebab permasalahan penataan dagangan menjadi salah satu bahan tinjauan tentang pasar tradsional yang tampak semrawut.
Sebenarnya masih ada pedagang yang peduli dengan tampilan penataan dagangan yang cukup menarik dan tampak bersih, namun pedagang lain di dekatnya tidak tergerak untuk menirunya. Sebagai salah satu contoh adalah pedagang ikan asin di Pasar Gede Kabupaten Cilacap yang gambarnya tertera berikut di bawah ini. Pedagang yang memiliki dagangan sama jenisnya dengan pedagang di pasar yang sama yang gambarnya tercantum di samping, sudah manata dagangannya dengan rapi karena memang terbiasa dengan kebersihan di rumah. Pedagang ini cenderung tidak mau repot dengan tetangganya, apakah mau menirunya atau tidak. Dalam kondisi demikian diperlukan tindakan Kepala Pasar untuk menjadikan pedagang tersebut menjadi contoh agar para pedagang lainnya belajar mencontoh yang baik. Namun hal ini tampaknya sulit untuk terjadi, sehingga pasar tradisional hingga kini tetap dengan berbagai atributnya yang negatif, sekalipun sebenarnya mempunyai potensi untuk menjadi jauh lebih baik.
Perbaikan penataan barang dagangan dengan menggunakan contoh yang benar, sesungguhnya tidak perlu memulai perjuangan dari nol. Di sini cukup memperkenalkan cara penataan yang sudak baik ke para pedagang lain, seraya memberikan sentuhan pengetahuan tentang penataan dagangan serta tujuannya untuk menarik calon pembeli. Upaya ini harus dilakukan oleh Pihak Pengelola Pasar bersama-sama dengan Paguyuban Pedagang Pasar secara bertahap dan terus menerus. Disadari bahwa semuanya tidak ada yang bersifat instan dan dampaknya terhadap perkembangan pasar tradisional yang bersangkutan secara keseluruhan baru akan nampak 4-5 tahun ke depan.

Pedagang beras berikut ini di Pasar Jember, Kabupaten Kudus menata dagangan di kios dengan memperhatikan luas kios yang diperhitungkan dapat menampung dengan jumlah secukupnya yang ditampilkan (didisplai) dan disimpannya sebagai persediaan sehingga tampilan kiosnya nampak rapi, bersih dan menarik pembeli. .
Pedagang makanan ringan di Pasar Nusukan Solo juga memberikan gambaran bahwa penataan dagangan yang rapi dapat dilakukan oleh setiap pedagang. Langkah ini dapat ditiru oleh pedagang siapapun.
Pedagang sayur di Pasar Nusukan, Solo yang gambarnya tertera di sebelah ini, menunjukkan penataan dagangan sayur mayur yang baik dan menarik. Sebelumnya pedagang ini melakukan proses seleksi, sampahnya yaitu bagian-bagian yang tidak layak dijual dibuang. Proses seleksi ini idealnya dilakukan di luar pasar sebelum ditata di lapak/kios, sehingga dagangan sayur mayur ini tidak menimbulkan sampah di dalam pasar. Proses seleksi ini merupakan proses kontrol kualitas (quality control) dagangan yang apabila dilakukan oleh setiap pedagang secara konsisten dari hari ke hari, maka bukan suatu yang mustahil bahwa pasar tradisional dapat disejajarkan dengan supermarket atau pasar moderen lain.