Rabu, 14 November 2012

PENGORGANISASIAN PEDAGANG PASARKU

Pedagang di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah pada umumnya berusaha secara indiviual. Bahkan berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 di pasar-pasar tradisional di kawasan JABODETABEK (DKI Jakarta, Depok, Tangerang, Bogor) dan Bandung pesaing utama pedagang di pasar-pasar tradisional adalah sesama pedagang di pasar yang bersangkutan. Sehingga adanya persaingan ini, maka di antara sesama pedagang seringkali sulit menumbuhkan kepercayaan di antara mereka. Bahkan di lapangan, di suatu pasar di kota Klaten di Provinsi Jawa Tengan yang baru saja dibangun kembali, ditemui adanya permintaan sekat di antara lapak-lapak yang saling bertetangga yang dilontarkan oleh para pedagang dengan maksud agar apabila sedang dilakukan tawar menawar pedagang dengan pelanggannya, maka hal ini jangan sampai terdengar atau diketahui oleh pedagang tetangganya. Karena apabila sampai terdengar, maka pedagang tetangganya tersebut dapat menentukan strategi harga yang diterapkan di kalangan pembeli. 

Persaingan yang disertai dengan taktik masing-masing pedagang yang berbau dengan rasa kecurigaan yang  menimbulkan kurangnya rasa percaya di antara sesama pedagang merupakan salah satu penyebab mereka cenderung berusaha secara individual, tidak teroganisir. Kelompok pedagang yang ada di pasar-pasar tradisional yang terbentuk secara tidak sengaja, hanya terdiri dari beberapa pedagang yang biasanya didasari hubungan emosional, seperti masih ada hubungan kekerabatan di antara mereka atau merasar berasal dari suatu daerah (desa, kampung). Di lain pihak, kegiatan usaha  dari para pedagang di pasar-pasar tradisional yang kondisinya stagnan dari waktu ke waktu, salah satu penyebabnya adalah akibat dari mereka yang tidak terorganisir.

Beberapa masalah yang muncul akibat tidak terorganisirnya para pedagang tradisional.adalah munculnya rinternir di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah yang sudah jamak terjadi. Pengadaan barang dagangan (kulakan) yang tidak efisien seperti membeli sendiri-sendiri dalam jumlah yang relatif kecil yang harganya berbeda-beda di antara pedagang sekalipun mereka membeli dari pemasok atau lokasi yang sama. Para pemasok yang berposisi sebagai oligopoli memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat dibanding dengan para pembelinya, para pedagang pasar tradisional yang jumlah individunya lebih banyak.

Selanjutnya, para pedagang pasar tradisional yang tidak terorganisir dalam berusaha, hampir dapat dipastikan mereka sulit memenuhi pembeli tunggal yang membeli dalam partai besar, cenderung melayani dalam partai eceran. Sebagai contoh, pasar Keranggan di kota Yogyakarta terkenal dengan kekhasan barang dagangan kue-kue basah. Apabila pembeli (misal pegawai kantor yang ditugasi membeli makanan kecil yang dihidangkan pada saat kantornya mengadakan pertemuan) berkeinginan membeli beberapa jenis kue basah dengan volume pembelian cukup besar, maka pembeli tersebut harus melakukan transaksi dengan beberapa pedagang agar jenis dan volume kue basah yang diinginkannya terpenuhi dan diharapkan mendapatkan harga yang sama untuk masing-masing jenis kue  dari setiap pedagang yang melayaninya. Hal ini tentu pembeli yang bersangkutan memerlukan upaya yang cukup besar dan waktu yang lama. Lain halnya, apabila penjualan kue basah oleh para pedagang tersebut teroganisir, sehingga para pembeli dapat terlayani dengan memuaskan. Lebih baik lagi, apabila para pedagang dapat terorganisir dalam paguyuban pedagang yang menerapkan pelayanan prima kepada para pembelinya. Para pembeli cukup mengangkat telepon untuk melakukan pemesanan dan kemudian pesanan tersebut diantar oleh pihak paguyuban pedagang yang melayaninya. Bahkan paguyuban tersebut dapat menerapkan cara "jemput bola' yaitu mendatangi langsung para calon pembeli di tempatnya dengan membawa brosur dan contoh kue basah agar calon pembeli dapat melihat dan merasakannya. Apabila calon pembeli tersebut memutuskan membeli untuk jenis kue basah dan volumenya, maka informasi ini segera diteruskan kepada paguyuban pedagang untuk disiapkan jenis kue dengan jumlah sesuai dengan permintaan. Pembayaran dapat dilakukan melalui tranfer kerekening bank paguyuban pedagang. 


Pengembangan kehidupan berorganisasi di kalangan para pedagang tradisional sudah merupakan suatu keniscayaan, apalagi memang kita semua menghendaki peningkatan kegiatan usaha para pedagang tradisional di tengah-tengah gempuran pasar-pasar moderen yang berkembang pesat. Di sini diperlukan upaya langsung di tengah-tengah para pedagang untuk membangkitkan kesadaran berorganisasi dan menghilangkan rasa ketidakpercayaan di antara sesama pedagang pasar. Memang mudah untuk berwacana dan sulit melaksanakan upaya yang konkrit untuk mewujudkannya. Namun penulis berpendapat dengan niat yang besar, maka keinginan dari berbagai individu yang berkembang untuk memajukan pasar-pasar tradisional dapat disatukan dan penulis bersedia dengan tulus untuk turut membantu mewujudkannya. Mari kita wujudkan bersama, pasti bisa.

Selasa, 06 November 2012

KEPALA DAERAH YANG PEDULI PASARKU

Tidak banyak Kepala Daerah yang peduli terhadap pasarku. Untuk dapat melihat kepedulian Kepala Daerah, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan yang peduli terhadap pasar tradisional tercermin pada: Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan dan pedoman pelaksanaannya yang substansinya lebih bersifat penataan, pembinaan dan perlindungan pasar tradisional ketimbang mengatur retribusi. Dengan perkataan lain, tidak memposisikan pasar tradisional sekadar penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dikumpulkan melalui pedagang, tetapi merupakan tempat yang sengaja disediakan oleh Pemerintah Daerah di mana masyarakat dapat berbelanja dan berjualan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, Kepedulian Pemerntah Daerah terhadap pasar tradisional tercermin pada bentuk organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi atau membina pasar tradisional setingkat Eselon II, karena kompleksitas permasalahan dalam pengelolaan pasar tradisional yang memerlukan kewenangan pembina yang cukup tinggi. Di sini, dalam pengelolaan pasar tradisional memerlukan koordinasi dengan SKPD terkait, seperti dalam hal penyusunan anggaran, pemungutan retribusi, penanganan parkir, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan dan lingkungan hidup, bangunan pasar, tata ruang dan wilayah, serta pedagang dan konsumen. Hal yang krusial adalah penanganan Pedagang Kaki Lima di mana PKL merupakan pesaing utama para pedagang pasar tradisional terutama yang berdagang di sekitar pasar. SKPD yang membidangi pasar sudah seharusnya juga menangani PKL di mana sedikit demi sedikit PKL yang berjualan di sebarang tempat di daerah perkotaan pada akhirnya dilokalisasi di suatu daerah yang khusus yang memang diperuntukkan untuk penampungan PKL sehingga mereka diubah menjadi pedagang yang menetap, tidak lagi berpindah-pindah. Sebagai contoh, di kota Solo penanganan PKL dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) yang memindahkan PKL di Banjarsari ke Semanggi (Pasar Notoharjo) tanpa kekerasan. Selain itu juga memindahkan PKL di jalan sekitar pasar ke Pasar Gading dan Pasar Nusukan. Pemindahan PKL ke pasar tradisional memerlukan upaya pembinaan lanjutan, karena diperlukan merubah perilaku PKL yang biasanya kurang peduli dengan penataan dagangan dan kebersihan lingkungan menjadi pedagang pasar yang harus patuh terhadap tata tertib pedagang.

Ketiga, kebutuhan anggaran operasional pengelolaan pasar tradisional biasanya melebihi retribusi yang dipungut dari pedagang. Bagi daerah yang peduli terhadap pasar tradisional, maka kebijakan Kepala Daerah tentang pasar tradisional di daerahnya adalah meletakkan fungsi pasar sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, baik konsumen maupun pedagang. Pasar tradisional merupakan "cost centre" daripada "profit centre". Sehingga sudah sewajarnya dialokasikan anggaran yang cukup memadai bagi operasionalisasi pasar-pasar tradisional di daerahnya sebagai upaya melayani kebutuhan masyarakat yang secara makro ekonomi dapat menekan laju inflasi dan meningkatan pendapatan masyarakat.

Keempat, kebijakan memberdayakan pengelola dan pedagang pasar tradisional. Kebanyakan Kepala Daerah masih belum memperhatikan pemberdayaan pengelola dan pedagang pasar tradisional di deerahnya. Pengorganisasian dan peningkatan kapasitas para pengelola pasar belum dilakukan, ditandai dengan diterapkannya Sistem Prosedur dalam Pengelolaan Pasar, dan para petugas pasar masih bekerja seadanya tanpa pedoman kerja baku. Demikian pula pengawasan terhadap terselenggaranya aktivitas di pasar pada umumnya sangat lemah. Sebagai contoh, seringkali terjadinya kebakaran pasar tradisional yang biasanya akibat hubungan arus pendek karena kabel-kabel listrik yang tidak pernah dikontrol dan akibat kompor meledak karena para pedagang yang memasak makanan di dalam pasar luput dari pengawasan. Demikian juga sampah yang berceceran di pasar merupakan cerminan tidak adanya sistem prosedur penanganan kebersihan. Belum adanya sistem prosedur ditambah terbatasnya jumlah petugas dan lemahnya kepemimpinan (leadership) Kepala pasar merupakan penyebab utama lemahnya pengelolaan pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Demikian juga pemberdayaan para pedagang pasar tradisional  di daerah pada umumnya belum dilakukan, karena kebijakan Kepala Daerah belum pernah menyentuhnya. Pemberdayaan pedagang pasar-pasar tradisional dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan dan pendampingan antara lain pelatihan tentang manajemen ritel dan manajemen keuangan sederhana. Di Pasar Kranggan, kota Yogyakarta, pedagang mendapatkan pelatihan dan pendampingan melalui Sekolah Pasar yang diinisiasi oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada. Kementerian Perdagangan juga melakukan pemberdayaan pedagang pasar tradisional di 10 pasar  percontohan di mana pasar-pasar tersebut sebelumnya telah direvitalisasi bangunannya. Kementerian Perdagangan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) juga memberikan pelatihan kepada para pengelola pasar dan pedagang pasar tradisional di Solo dan Balikpapan, di mana pada tahun 2011 penulis terlibat di dalamnya. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap daerah yang melakukan program pemberdayaan pasar tradisional (pengelola dan pedagang) pada tahun 2010 dan 2011, hanya Kepala Daerah Kota Surakarta (Walikota Solo) melibatkan diri secara langsung, baik dalam saat berlangsungnya pelatihan maupun sesudahnya melalui monitoring dampak pelatihan. Bahkan Wakil Walikota Solo turut mengajar pada sesi awal pelatihan.

   Walikota Solo (Bp. Jokowi) se-
   dang menyampaikan arahan ke-
   para peserta pelatihan mana-  
    jemen perpasaran, Nopember 
   2011.











Wakil Walikota Solo (Bp. FX. Hadi Rudyatmo) turut mengajar tentang manajemen mutu terpadu pengelolaan pasar tradisional, 2011.





Minggu, 04 November 2012

PENARIKAN RETRIBUSI DI PASARKU

Di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah, pemungutan dilakukan petugas pasar setiap hari. Sebaliknya di pasar-pasar tradisional, tidak ada lagi pemungutan retribusi dan sebagai gantinya para pedagang membayar sendiri retribusi kewajibannya di loket-loket yang telah disediakan yang mereka lakukan setelah pasar berhenti beroperasi (tutup).

Kebiasaan yang terjadi di pasar-pasar tradisional yang dikelola perusahaan swasta dapat dicoba untuk diterapkan di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah. Sebelumnya perlu dipersiapkan peraturan Bupati/Walikota tentang pembayaran retribusi oleh para pedagang sendiri ketika mereka selesai berjualan (pasar selesai beroperasi/tutup). Untuk itu, perlu dipersiapkan loket-loket pembayaran yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah pedagang yang diwajibkan untuk membayar retribusi. Selain itu juga perlu dipersiapkan daftar pedagang yang berjualan di pasar yang bersangkutan, dimulai pedagang pemilik kios, lapak tertutup dan terbuka, lesehan dan sebagainya. Dengan daftar tersebut dapat ditetapkan perkiraan besarnya penerimaan retribusi yang disetor melalui loket-loket pembayaran.

Pengelolaan loket pembayaran retribusi beserta petugasnya dapat dikerjasamakan dengan pihak perbankan seperti Bank Rakyat  Indonesia dan Bank Propinsi setempat (dahulu Bank Pembangunan Daerah-BPD). Sehingga pihak bank nantinya akan mengelola pembayaran retribusi (penarikan melalui loket dan pengadministrasiannya) dan kemudian menyetorkan ke (mentransfer ke rekening) Dinas Pendapatan Daerah secara periodik.

 Menjelang sistem pembayaran ini diterapkan, perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada semua pedagang di pasar tradisional yang bersangkutan setidaknya selama tiga bulan. Pada awal penerapan, hendaknya dicoba terlebih dahulu terhadap para pedagang pemilik kios. Setelah berlangsung tiga bulan, penerapan sistem ini diperluas ke para pedagang pemilik lapak, baik tertutup maupun terbuka. Tiga bulan kemudian diterapkan ke seluruh pedagang yang berdagang secara menetap di pasar tersebut. Sedangkan bagi para pedagang yang tidak menetap (musiman), pembayaran retribusinya masih tetap ditarik oleh petugas pasar. 

Dengan diterapkannya sistem tersebut di atas, maka tugas penarikan retribusi dapat berkurang. Perlu diketahui bahwa tugas penarikan retribusi di pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah menyita hampir seluruh waktu dan tenaga pengelola pasar. Akibatnya tugas-tugas lain relatif tidak tersentuh, antara lain pembinaan pedagang pasar tradisional di bidang kebersihan dan tugas pengawasan seperti pengawasan terhadap kabel-kabel listrik dan saluran air. Tampaknya selama ini penarikan retibusi lebih diutamakan, karena setiap pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah pada umumnya dibebani dengan target tertentu, dan retribusi pasar adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain volume pekerjaan penarikan retribusi berkurang, juga kebocoran yang kemungkinan dapat terjadi dapat diminimalisasi. Tugas pemantauan dan pencatatan pengumpulan retribusi yang harus dilakukan setiap harinya oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi/membina pasar tradisional juga berkurang. 

Setelah sistem pembayaran retribusi sendiri tersebut berjalan, dapat dikembangkan lebih lanjut yaitu mewajibkan para pedagang menjadi nasabah bank bersangkutan untuk pelayanan tabungan serta transfer pembayaran ke pemasok dan dari pelanggan. Sehingga kelak pembayaran retribusi dapat dilakukan melalui transfer otomatis tanpa harus melalui loket. Menjadikan pedagang pasar sebagai nasabah bank, hal ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan pinjaman modal usaha yang diharapkan dapat mengurangi beroperasinya rentenir di pasar. Upaya semacam ini dapat juga dilakukan bermitra dengan Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) dan sekaligus pihak perbankan diharapkan juga turut membina manajemen operasi simpan pinjam anggota yang dilakukan oleh KOPPAS. Ini semua perlu dicoba di pasar tradisional tertentu sebagai "pilot project" secara bertahap karena memerlukan proses belajar di kalangan aparatur pemerintah daerah, para pedagang pasar dan pihak perbankan.

Sabtu, 03 November 2012

PERAN PASARKU DALAM DISTRIBUSI BARANG

PENDAHULUAN
Pasar tradisional dapat dan kini sudah berperan dalam suatu rantai distribusi barang. Selama ini, peran pasar tradisional dalam distribusi dapat dijumpai di berbagai daerah, misalnya yang terlihat pada rantai distribusi beberapa jenis komoditi pertanian seperti sayur mayur,  buah-buahan dan palawija sejak dari petani di sentra-sentra produksi yang kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul untuk dijual ke pedagang pasar dalam hal ini pasar induk. Di pasar ini kebanyakan pembelinya bukanlah pembeli atau konsumen akhir, melainkan pedagang dari pasar lain yang bertindak sebagai peritel yang menjual ke konsumen akhir atau pedagang warung di daerah perumahan. Peran dalam rantai distribusi baang seperti ini sudah berjalan sejak dahulu kala.
 
Potensi pasar tradisional dalam rantai distribusi barang, khususnya para pedagang pasar yang bertindak sebagai peritel menjual barang atau komoditi langsung ke para konsumen akhir, dapat dikembangkan lebih lanjut. Namun untuk dapat menuju ke sana perlu pembangunan kapasitas para pedagang di pasar-pasar tradisional, khususnya untuk meningkatkan posisi tawar mereka, baik dihadapan para pemasaok maupun para pembeli.

Pada umumnya para pedagang pasar tradisional selain memiliki kelemahan dalam hal manajemen sederhana perdagangan eceran (ritel) dan keuangan juga memiliki kelemahan dalam hal kesadaran dan kemampuan berorganisasi. Dalam artikel ini dikemukakan pentingnya pembentukan lembaga yang menampung para pedagang pasar tradisional dan tahapan pembentukannya sesuai dengan perkembangan kesadaran dan kemampuannya dalam berorganisasi. Agar lembaga yang dibentuk mengakar ke seluruh pedagang secara merata, bukan hanya melibatkan kalangan pedagang tertentu, maka proses pembentukannya harus dari bawah ke atas (bottom up) bukannya pembentukan dari atas ke bawah (top down), seperti yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrat pemerintah.
 
PEMBENTUKAN ORGANISASI PEDAGANG
Para pedagang di pasar-pasar tradisional biasanya berjualan secara individual, ataupun bila berkelompok, jumlah pedagang dalam kelompok bersangkutan tidaklah banyak. Biasanya para pedagang dalam kelompok tersebut satu sama lain mempunyai ikatan emosional, seperti berasal dari daerah yang sama atau ikatan keluarga. Peran kelompok ini dalam pengembangan kegiatan usaha di pasar, hampir tidak ada. Padahal, kelompok yang diinginkan untuk menjadikan para pedagang pasar tradisional lebih berperan dalam rantai distribusi barang, yaitu semacam kelompok usaha bersama (KUB) yang menyatukan berbagai kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pedagang ketika berjualan, seperti pengadaan barang dagangan secara terorganisir sehingga mereka memiliki posisi tawar yang lebih kuat dihadapan para pemasok barang dibanding ketika melakukan kulakan barang dagangan secara sendiri-sendiri.

Mengingat kesadaran dan kemampuan berorganisasi di kalangan para pedagang tradisional masih rendah, maka pembentukan kelompok perlu diikuti dengan penyadaran pentingnya para pedagang berorganisasi guna mengembangkan kegiatan usaha serta menanggulangi permasalahan keuangan keluarga. Sebagai tahap pertama pembentukan organisasi adalah membentuk kelompok/paguyuban pedagang sejenis, seperti paguyuban pedagang sayur mayur; paguyuban pedagang buah-buahan; paguyuban pedagang bumbu-bumbuan dan bahan jamu; paguyuban pedagang kios pakaian, sepatu dan tas; dan sebagainya. Di sini para pedagang memilih pengurus kelompok/paguyuban (ketua, sekretaris dan bendahara) yang biasanya pedagang yang dianggap mumpuni (berkarisma dan ringan tangan, senang membantu siapapun dan senang berkumpul dengan pedagang lain) oleh para pedagang anggota paguyuban. Pada awalnya kegiatan kelompok/paguyuban pedagang ini hanya sebatas berkumpul diikuti dengan kegiatan arisan yang periodenya dapat mingguan, tengah bulanan atau bulanan. Perkumpulan ini juga beraktivitas sosial dalam kalangan anggota seperti melakukan kunjungan bagi pedagang yang sedang mengalami musibah atau kemalangan, seperti ada anggota keluarga yang sakit atau meninggal, aktivitas sosial lain seperti mengantar perdagang atau keluarganya yang menuaikan ibadah haji. Kemudian selain kegiatan arisan juga dikembangkan kegiatan simpan pinjam. Kegiatan dari kelompok/paguyuban dengan aktivitas seperti ini hendaknya jangan berlangsung terlalu lama, maksimal selama satu tahun. Tujuan aktivitas semacam ini pada awal perkumpulan terbentuk adalah membiasakan para pedagang bertemu rutin dan berorganisasi yang dikelola oleh pengurus kelompok/paguyuban.

Apabila para pedagang sudah terbiasa berkumpul secara rutin dan berorganisasi, kemudian dilanjutkan untuk dikembangkan aktivitasnya ke kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan usaha pedagang anggota kelompok/paguyuban, seperti kegiatan kulakan bersama dan menjadi pemasok bersama untuk melayani kebutuhan pelanggan dalam partai besar.

Setelah disepakati untuk melakukan kulakan bersama, maka sebelumnya perlu diinventarisasi kebutuhan barang dagangan dalam jenis dan jumlahnya dari setiap pedagang anggota kelompok/paguyuban ketika melakukan kulakan dalam suatu periode tertentu (harian, mingguan, tengah bulanan atau bulanan), serta dari mana (siapa) biasanya para pedagang tersebut mendapatkan barang. Setelah diketahui jenis barang dan volumenya secara keseluruhan anggota, maka dijajagilah untuk mencari mitra pemasok untuk dicari kemungkinan kerjasama kemitraan dalam pengadaan barang (kulakan). Di samping jenis barang dan volumenya, dapat juga dijajagi tentang cara pembayarannya,  apakah pembayaran langsung (cash and carry) atau pembayaran dengan selang waktu tertentu (setelah dua hari, tiga hari atau satu minggu). Sesudahnya perlu dibuat kesepakatan-kesepakatan antara pengurus kelompok/paguyuban atas nama para pedagang anggota dengan pihak pedagang pemasok.

Selain kegiatan kulakan bersama, juga dapat dikembangkan penjualan bersama secara terorganisasi. Sebagai contoh di kalangan paguyuban pedagang buah ketika memasok buah-buhan ke hotel dan rumah makan, atau penjual parsel pada saat datangnya hari-hari raya, di mana para pedagang anggota saling berkontribusi untuk memasok buah-buahan dalam volume cukup besar untuk jenis buah-buhan yang beragam. Ini tentunya akan sulit dipenuhi apabila para pedagang memasok secara individual. Di sini paguyuban bisa mengikat kontrak kerjasama dengan pihak pembeli dengan partai besar tersebut.

KELOMPOK USAHA BERSAMA DAN KOPERASI
Dalam kegiatan kulakan atau penjualan secara bersama yang dilakukan, para pedagang memiliki posisi tawar yang kuat dihadapan para pemasok ketika mereka melakukan kulakan atau dihadapan para pembeli dalam partai besar ketika mereka melakukan penjualan. Kelompok/paguyuban pedagang yang sudah melakukan aktivitas pembelian atau penjualan bersama dapat disebut sebagai kelompok usaha bersama (KUB). Apabila kelompok/paguyuban pedagang sudah mencapai tahap KUB, maka tahap berikutnya dapat diubah menjadi koperasi berbadan hukum. Dengan statusnya yang berbadan hukum, maka kerjasama kemitraan dapat diperluas seperti ke lembaga-lembaga keuangan perbankan dan ke industri besar seperti industri makanan minuman (INDOFOOD, MAYORA, ABC).

Koperasi berbadan hukum tersebut biasa dinamakan Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) yang embrionya berasal dari KUB jelmaan dari beberap kelompok/paguyuban pedagang sejenis. Apabila KOPPAS berada di setiap pasar bergabung dalam Induk Koperasi (INKOPPAS), maka posisi tawar para pedagang pasar menjadi semakin kuat, bahkan INKOPPAS dapat memposisikan diri dalam rantai distribusi barang, baik dalam pengadaan maupun penjualan barang-barang kebutuhan masyarakat yang dilengkapi dengan tempat-tempat penyimpanan barang-barang yang akan didistribusikan. Apabila posisinya sudah cukup kuat, INKOPPAS atau KOPPAS dapat sekaligus mengelola operasionalisasi pasar-pasar tradisional dengan menerapkan manajemen pasar yang moderen yang apabila hal ini dapat diwujudkan, maka daya saing pasar-pasar tradisional akan semakin kuat setara dengan manajemen pasar-pasar moderen. Selain itu, di sini juga terwujud sistem distribusi barang-barang kebutuhan masyarakat yang efisien yang dilakukan oleh para pedagang pasar-pasar tradisional. Bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, hanya memerlukan komitmen semua pihak pemangku kepentingan untuk mewujudkannya. 

Sabtu, 27 Oktober 2012

PASAR TRADISIONAL DAN PERMASALAHANNYA

PENDAHULUAN

Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan seterusnya yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.

Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.

Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.

Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai  peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,

Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat  di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.

Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai, dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas,

PASAR TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.

Dalam situasi di  mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD, maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD, maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan  koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah mewujudkan terjadinya  keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan jual beli secara ekonomis dan  mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang di daerah setempat.

Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.   

PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).

Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong, sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.

Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu SKPD).  Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan eceran.

Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator, sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar tradisional.

Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban,  bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan.  Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.

PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL
Pemahaman tentang aktivitas pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel) mutlak harus dimiliki oleh aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar tradisional termasuk di dalamnya pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) serta peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman tentang pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel). Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya para aparatur pelaksana mulai di tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola pasar seyogyanya juga memahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki oleh masing-masing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas aparatur yang bersangkutan.

Agar para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan baik, maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara berjenjang tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para aparatur yang telah dilatih, kepada mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya sampai waktu yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.

Perdagangan eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu pemasaran yang seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD yang membidangi perdagangan dan pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan pasar tradisional serta perdagangan eceran. Dalam praktik banyak dijumpai dalam praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini tidak memahami tentang pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat diperlukan ketika mereka bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk operasi sebagai upaya pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL di mana para aparatur tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat dilaksanakan dengan optimal. Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional berstigma negatif seperti kumuh, kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di mana-mana dan seterusnya.

Dalam merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan PKL dalam bentuk penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya pasar moderen sampai pada suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi lain, diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran (marketing) merupakan hal mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.

Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL misalnya, perlu didasari oleh kebijakan tentang pengaturan pendirian pasar moderen serta kebijakan tentang revitalisasi pasar tradisional dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan. lokasi adalah salah satu unsur "P" (Place) dalam "bauran pemasaran" (marketing mix) yang dikenal dengan "Empat P" (Product, Place, Price dan Promotion).

Para pedagang  perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar promosi khususnya mendisplai barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan yang menarik calon pembeli, seperti menempatkan produk-produk tertentu sedemikian rupa agar  Perlu diketahui bahwa kebanyakan para pengunjung pasar, ketika membeli barang terutama barang-barang sekunder, seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan untuk makanan, seringkali dipengaruhi oleh emosinya (impuls buying). Sehingga penataan (displai) barang yang menarik, seringkali membangkitkan emosi untuk membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan ketika akan berangkat ke pasar.  Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak terencana ini juga sangat dipengaruhi  oleh daya beli para pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin kuat daya beli konsumen, maka kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak terencana sebelumnya semakin kuat. Oleh karenanya, para pedagang setidaknya sepintas perlu memahami karakter dan kemampuan untuk membeli yang dimiliki oleh para pengunjung pasar yang menjadi pelanggannya.

Para pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat tahan lama melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu. Kebanyakan pedagang cenderung banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan lama pada saat harga murah dan persediaan berlimpah, kemudian disimpan entah sampai kapan. Kemudian, mereka merasa kegiatan usahanya akan lebih aman apabila memiliki barang dagangan dibanding memegang uang kontan, karena persediaan barang dagangan yang berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya ada pembeli secara tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang sebenarnya berdasar pengalaman jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan ada barang dagangan yang menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out (FIFO) sulit dijalankan karena penimbunan persediaan/stock barang yang peletakkannya sembarangan tidak dilakukan secara sistematis berdasarkan periode pengadaan melainkan ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar menjadi tampak kumuh karena penuh dengan tumpukan barang-barang milik pedagang sebagai persediaan barang dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan menumpuk-numpuk hingga tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi tidak lancar dan sinar dari cahaya matahari atau lampu penerangan terhalang yang akibatnya los dan lorong/gang pasar menjadi pengap (panas) dan gelap sehingga keadaan pasar menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan pengetahuan tentang "merchandising" sederhana kepada para pedagang, sehingga mereka mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan penimbunan stock barang dagangan (inventory) yang efisien dan ekonomis serta aman bagi kelancaran aktivitas usaha. Di sini para pedagang perlu memahami kebiasaan para pelanggannya kapan membeli dalam jumlah besar atau jumlah yang normal, dan berapa besarnya jumlah pembelian. Selain itu, juga perlu memahami kapan waktunya sulit untuk mendapatkan pasokan. Dengan memahami kondisi kebutuhan dan pasokan tersebut, para pedagang dapat memperkirakan besarnya persediaan barang dagangan yang harus disediakan berdasarkan periode penjualan. Persediaan barang dagangan ini ekonomis, efisien dan aman bagi kelangsungan usaha.

Agar para pedagang tradisional dapat memahami cara untuk mengatasi kelemahan-kelamahan di muka, maka pihak pengelola pasar sebagai pembina perlu mensosialisasikan pengetahuan tentang pemasaran dan merchandising sederhana kepada para pedagang. Untuk itu, kepada pihak pengelola pasar harus terlebih dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih dahulu, atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga, namun jangan sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu.

REVITALISASI PASAR TRADISIONAL
Kebijakan Pemeerintah dan Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional masih lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) phisik  bangunan pasaqr. Masih sangat jarang yang disertai dengan pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti mengembangkan organisasi (organizational development) pengelola dan pembina pasar tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.

Berdasarkan pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian, bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali semrawut serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali pasar. Terlebih lagi, setelah direnovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran daerah. Hal ini terjadi karena kebijakan revitalisasi pasar tradisional masih hanya sebatas menyentuh bangunan phisik pasar semata yang seringkali kurang diikuti dengan aktiviast perawatan atau pemeliharaan bangunan phisik pasar.

Mulai tahun 2012, Kementerian Perdagangan memberikan bimbingan teknis kepada para pedagang bersama para pengelola pasar tradisional tentang cara berjualan yang baik, seperti mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar, cara berdagang yang baik dengan penataan barang dagangan yang menarik pembeli dan pengelolaan pasar. Kegiatan ini masih difokuskan pada pasar-pasar tradisional yang telah direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar Grabag di Kabupaten Purworejo, Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar Minulyo di Kabupaten Pacitan.

Selain dibangun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan bangunan pasar juga dilakukan oleh pihak swasta, di mana pihak swasta bertindak sebagai pihak pengembang yang berhak menjual kios-kios di lokasi tertentu, biasanya di bagian bangunan pasar yang menghadap ke luar, baik di lantai dasar maupun di lantaui atas apabila  bangunan pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat. Sedangkan pihak Pemerintah Daerah bertindak sebagai pengelola pasar yang bersangkutan ketika telah selesai direnovasi. Namun di beberapa daerah, pihak swasta yang bertindak sebagai pengembang juga diserahi untuk mengelola pasar setelah selesai direnovasi dengan cara pengelolaan swasta yang biasanya lebih profesional dibanding dengan pengelolaan oleh Pemerintah Daerah, sehingga pasarnya tampak lebih rapi, bersih dan nyaman.

Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan pihak swasta biasanya menghasilkan bangunan pasar yang lebih besar, bertingkat dan tampak megah. Seringkali pada saat merencanakan bangunan pasar yang baru tidaklah terlalu rinci mempertimbangkan jumlah pedagang yang akan berdagang dan jumlah pembeli yang akan dilayani di pasar yang baru nanti. Pengembang berpandangan bahwa apabila dibangun pasar yang lebih besar, lebih baik  dan lebih megah, maka pasar tersebut akan semakin ramai karena lebih banyak pengunjung atu pembeli. Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada tempat berbelanja lain yang sudah terlebih dahulu beroperasi yang menarik banyak pengunjung, Di sini pengembang dan pengelola pasar harus menjadikan pasar tradisional yang baru tersebut lebih menarik untuk dikunjungi dibanding dengan pasar lain termasuk pasar moderen yang sudah terlebih dahalu ada.. Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar tradisional yang baru tersebut tampak kosong, sepi pengunjung dan sebagaian dari para pedagang menutup kegiatan usahanya.

Permasalahan revitalisasi sebenarnya muncul sejak awal pada saat penjualan kios atau lapak bagi para calon pedagang yang baru. Penjualan kios oleh pihak pengembang bersifat jual putus di mana pihak pengembang tidak lagi berwenang menentukan jenis barang dagangan setelah kios tersebut dijual ke pedagang. Permasalahan muncul ketika kios atau lapak yang sudah dibeli oleh pihak pertama dijual kembali ke pedagang lain yang jenis dagangannya berbeda dengan barang dagangan yang sudah ditentukan untuk zona di mana kios atau lapak tersebut berada. Inilah yang menjadi salah satu sumber ketidaktertiban zonanisasi barang dagangan di banyak pasar tradisional pada dewasa ini. Untuk mencegah terjadinya hal ini, maka setiap peralihan hak milik kios atau lapak harus sepengetahuan pihak pengelola pasar. Apabila jenis dagangan dari pedagang yang bertindak sebagai pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis barang dagangan yang ditetapkan untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah sebaiknya tidak diteruskan.

Di banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang telah direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu lapak atau kios, sekalipun sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau kios. Sedangkan sisa lapak atau kios yang sudah dimiliknya disewakan atau dijual kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak sebagai investor yang kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa (privilige). Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali menjadi salah satu penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di pasar-pasar tradisional yang telah selesai direnovasi atau dibangun kembali dan mulai beroperasi kembali.

Sebagaian dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak di los pasar atau pemilik warung di luar pasar (di rumah-rumah penduduk di sekitar pasar) atau ex PKL di sekitar pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan operasi ke lapak pasar seringkali menimbulkan masalah pada pasar tradisional, terutama dalam hal kebersihan pasar dan ketidakterarturan penataan barang dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan tentang ketertiban dan kebersihan pasar. Mereka harus mengikuti jam operasi pasar yang sudah ditentukan. Dalam mendisplai barang dagangannya mereka harus mengikuti aturan tidak boleh menjorok jauh ke depan, sehingga mengurangi lebar gang atau lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak boleh terlalu banyak menimbun barang dagangan (stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.

Sebaiknya, . untuk menhindari kegagalan program revitalisasi pasar tradisional, maka pada saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan kapasitas pasar yang akan dibangun harus sesuai dengan jumlah pedagang yang sekarang ada, kemungkinan penambahan jumlah pedagang yang sekarang ada, serta jumlah dan segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar tersebut. Seringkali dijumpai banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang sejak di psar lama, ketika berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang diperolehnya menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak pedagang baru yang harus ditampung. Kondisi ini menjadi alasan para pedagang untuk menata barang dagangannya melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari batas yang diperkenankan. Akibatnya gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang di pasar.

Selanjutnya, juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola pasar (manajemen pasar) yang akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka sejak awal diberikan pelatihan tentang manajemen pasar dan diwajibkan menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan di bawah bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen pasar. Pelatihan dan penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada saat aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung. Pengetahuan yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan yang telah dibuat, hendaknya dipratikan di lingkungan pasar di penempatan sementara  selama bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun kembali, agar mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.

Kepada para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara, diperkenalkan pengetahuan sederhana tentang perdagangan eceran mencakup merchandising seperti merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian (merencanakan stock), sortasi dan pengemasan, penataan dan penyimpanan barang secara sistematis sesuai dengan prinsip FIFO serta pengetahuan tentang manajemen keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi calon pengelola pasar, kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.

Selanjutnya, sejak awal kepada  para pedagang juga diperkenalkan tentang penanganan kebersihan yaitu setiap pedagang diwajibkan memiliki tempat sampah sementara di lapak atau kiosnya masing-masing, bisa berbentuk kantung plastik atau tempat sampah dari plastik yang sedapat mungkin sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Setiap kantung sampah tersebut penuh dibuang ke tempat sampah yang terletak di gang atau lorong dekat lapak atau kiosnya. Tujuan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik adalah untuk persiapan apabila sampah-sampah tersebut diolah menjadi kompos yang ini harus sudah dipikirkan sejak jauh-jauh hari. Selain itu, pedagang juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan di lokasi sekitar setiap lapak atau kiosnya. Kepada setiap pedagang diajarkan untuk mematuhi batas tempat yang diijinkan berjualan sehingga tidak mengurangi lebar gang di losnya masing-masing. Dengan melibatkan pedagang dalam hal kebersihan dan ketertiban pasar, maka beban pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan. Apabila kebiasaan-kebiasaan seperti ini sudah ditanamkan sejak dini,  khususnya pada pasar yang sedang direnovasi  atau dibangun kembali, maka diharapkan kebiasaan-kebiasaan ini akan terus berlanjut di pasar yang baru.

Pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi, masalah yang terpelik adalah pembagian lapak dan kios. Di sini perlu dilibatkan calon pengelola pasar yang baru, karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa para pengelola pasar merasa tidak tahu menahu tentang pembagian lapak atau kios pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi. Para pengelola pasar yang baru pada umumnya hanya ditugasi menjalankan pengelolaan pasar, sehingga ketika pasar yang baru sudah berjalan kemudian terjadi ketidakdisiplinan zonanisasi pedagang, pihak pengelola cenderung membiarkan atau tidak mau bertanggung jawab, karena merasa tidak dilibatkan awal pembentukan zona pedagang berdasarkan jenis barang dagangan. Padahal ketidaktertiban zonanisasi pedagang merupakan titik awal mulai terjadinya kesemerawutan pasar tradisional.

MANAJEMEN PASAR TRADISIONAL
Keterbatasan kemampuan manajerial pengelola pasar tradisional mempengaruhi kondisi pasar yang bersangkutan, bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab utama melekatnya stigma negatif yang kini melekat di pasar-pasar tradisional pada umumnya. Berdasarkan pengalaman empiris di 30 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional yang memiliki tingkat kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim Pengelola Pasar dengan organisasi yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja jelas dan cukup rinci. Selain itu pengelola pasar tersebut juga secara intensif dibina dan disupervisi oleh SKPD yang membidangi pasar tradisional dan pedagang (pedagang pasar dan PKL), dengan perkataan lain pasar tradisional tidak semata difungsikan sebagai pengkontribusi PAD.

Seringkali Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang (otoritas) dalam mengelola pasar tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas yang berada di bawah kendali SKPD lain di luar SKPD yang mebidangi pasar dan pedagang, seperti petugas-petugas  yang menangani perparkiran, kebersihan dan pertamanan, pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana (bangunan, fasilitas air bersih, listrik, pengolahan sampah dan air limbah), dan juga terkadang yang menangani ketertiban PKL. Di sini peran SKPD pembina sangat diperlukan untuk berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.

Bentuk organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan efektivitas pengelolaan pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk organisasi pengelola adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi lebih dari satu pasar ( tiga atau empat pasar). Seringkali kemampuan manajerial Kepala UPTD tidak seimbang dengan jumlah pasar yang harus dikelolanya, sehingga terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai unit sumber PAD.

Di beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional berbentuk Perusahaan Daerah (PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan Bogor. PERUSDA biasanya memiliki kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding pihak-pihak penngelola pasar ttradisional di bawah SKPD yang membidangi pasar. Namun tampaknya kemampuan dalam membina para pedangan di pasar-pasar tersebut masih lemah, sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar tradisional di bawah PERUSDA masih terlihat.

PENUTUP
Pembinaan pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi, mulai di tingkat kebijakan hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat memerlukan bentuk-bentuk pembinaan yang saling terkait satu bidang dengan bidang lain. Sebagai contoh, pembinaan pasar tradsional beserta pedagang pasar dan PKL  di tingkat operasional merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya. Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk pembinaan manajemen pasar tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL dan lingkungannya, ketertiban perparkiran, penataan jalur angkutan kota, penataan tempat pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata kuliner. Keterkaitan dengan bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang diperhatikan, sehingga penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang maksimal karena kurang dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Mengingat kondisi pasar tradisional yang seperti ini sudah berlangsung sejak lama, maka perlu kebijakan dan tindakan yang konsisten serta berkesinambungan yang tidak bisa mengharapkan hasilnya segera tampak. Perbaikan yang harus dilakukan harus menyentuh perubahan perilaku masyarakat (aparatur dan petugas serta pedagang dan pengunjung pasar) yang ini memerlukan banyak contoh yang dapat dimulai dengan bentuk-bentuk pilot project.

Berdasarkan pengalaman empiris di banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar dan pedagang pasar tradisonal sangat ditentukan oleh kepedulian  para Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) yang diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kebijakan Kepala Daerah yang menetapkan pasar sebagai salah satu sumber PAD tanpa diikuti dengan pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan sebagai tambahan biaya operasional  dan perawatan/pemeliharaan serta  biaya pembinaan bagi pengelola dan pedagang pasar, maka hal ini  menjadi penyebab utama kondisi pasar-pasar tradisional memiliki ber-stigma negatif seperti kumuh, semrawut, kotor, dan tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat konsumen.
 

Kamis, 11 Oktober 2012

PEMERINTAH BINA DAN BERDAYAKAN PKL

Pedagang Kaki Lima (PKL) di banyak kota seringkali menimbulkan masalah seperti munculnya kawasan kumuh, kemacetan lalulintas, mengganggu keberadaan pedagang pasar tradisional. Namun keberadaannya tidak bisa dengan serta merta diabaikan begitu saja. Keberadaan PKL sebagai konsekwensi dari terbatasnya penyediaan lapangan pekerjaan sektor formal. Di lain pihak, jumlah tenaga kerja tumbuh lebih pesat dari waktu ke waktu terutama yang datangnya dari daerah pedesaan yang dikenal dengan urbanisasi. Memang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dari dahulu  sampai sekarang lebih pesat terjadi di kawasan perkotaan dibanding di kawasan pedesaan. PKL sebagai lapangan pekerjaan informal di suatu daerah adalah sektor usaha yang paling mudah dimasuki, namun juga paling mudah ditinggalkan ketika seseorang telah mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih layak,  baik yang masih juga di sektor informal di daerah lain, maupun di sektor formal seperti sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan.

Keberadaan PKL dan permasalahannya belum dapat diatasi pada dewasa ini dalam arti mengurangi atau menghambat pertambahannya, sehingga yang bisa dilakukan adalah menata dan memberdayakan mereka. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (PERMENDAGRI) Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima menata dan memberdayakan PKL melalui keterlibatan secara berjenjang sejak dari Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan dilanjutkan ke jenjang Gubernur dan Bupati/Walikota yang berkewajiban melakukan penataan dan pemberdayaan PKL. 

Tujuan dan pemberdayaan PKL adalah:
a. memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan 
    peruntukannya;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang 
    tangguh dan mandiri; dan
c. untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana 
    perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.   

Adapun ruang lingkup dari penataan dan pembinaan PKL adalah:
a.  pendataan;
b.  perencanaan penyediaan ruang bagi kegiatan sektor informal;
c.  fasilitas akses permodalan;
d.  penguatan kelembagaan;
e.  pembinaan dan bimbingan teknis;
f.  fasilitasi kerjasama antar daerah; dan
g.  mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.

Selanjutnya secara hirarkhi menurut  PERMENDAGRI No. 41 Tahun 2012 tersebut Gubernur melalukan penataan melalui:
a. fasilitasi penataan PKL lintas kabupaten/kota di wilayahnya;
b. fasilitasi kerjasama penataan PKL antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
c.  pembinaan Bupati/Walikota di wilayahnya.

Adapun Bupati/Walikota dalam melakukan penataan PKL memakai cara:
a. pendataan PKL meliputi identitas, lokasi, jenis tempat usaha  baik yang bersifat tidak bergerak
   (berpindah-pindah tempat) maupun bergerak, bidang usaha dan modal usaha;
b. pendaftaran PKLbaik untuk PKL lama maupun baru yang nantinya kepada setiap PKL yang sudah
    terdaftar dan memenuhi persyaratan dasar penerbitkan Tanda Daftar Usaha (TDU) diberikan TDU;
c. penetapan lokasi PKL yang dapat bersifat permanen dan sementara;
d. pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL bagi PKL yang menempati lokasi yang tidak
    sesuai dengan peruntukan; dan
e. peremajaan lokasi PKL pada lokasi binaaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi
    prasarana, sarana dan utilitas kota.

Dalam pemberdayaan PKL, Gubernur melakukan:
a. fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan
b. pembinaan dan supervisi pemberdayaan PKL yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

Sedangkan Bupati/Walikota melakukan pemberdayaan PKL antara lain melalui:
a.  peningkatan kemampuan berusaha;
b. fasilitasi akses permodalan;
c. fasilitasi bantuan sarana dagang;
d. penguatan kelembagaan;
e. fasilitasi peningkatan produksi;
f. pengolahan, penegmbangan jaringan dan promosi; dan
g. pembinaan dan bimbingan teknis.

Selama ini dalam penetapan lokasi PKL binaaan, Pemerintah Kabupaten/Kota dihadapkan masalah keterbatasan lahan. Apabila tersedia, lahan namun peruntukkan lahan tersebut tidaklah sesuai dengan rencana penempatan PKL. Ada beberapa alternatif lokasi yang akan dipakai oleh para PKL binaan, yaitu lokasi yang cukup luas, sesuai dengan peruntukannya dan biasanya terletak dipinggir kota, tempat-tempat kosong di pasar tradisional, dan di sekitar lokasi sekarang di mana PKL beroperasi. 

Untuk lokasi yang cukup luas dan sesuai untuk peruntukkan hendaknya sejak awal direncanakan sebagai upaya pembentukan pasar, di mana penempatan PKL yang sekarang adalah awal atau embrio pasar yang akan dibentuk. Apabila lokasi tersebut berada di pinggiran, jauh dari pusat kota, maka perlu dipersiapakn jalur atau rute angkutan umum perkotaan (ANGKOT) yang melalui lokasi tersebut. Selain itu, sejak awal disiapkan papan penunjuk jalan ke lokasi tersebut. Hal ini yang sudah dilakukan di Solo, ketika terjadi perpindahan lokasi PKL klitikan di daerah Banjarsari (daerah perumahan elit) ke Notoharjo, Semanggi di pinggiran kota Solo (pinggir Bengawan Solo) di mana Pemerintah Surakarta menyediakan jalur angkutan kota melalui daerah tersebut dan memasang petunjuk-petunjuk jalan ke lokasi tersebut. Cara pemindahannya pun tanpa gejolak, dan cukup unik prosesnya dipimpin langsung oleh Walikota dan Wakil Walikota setelah bertemu langsung dengan PKL yang akan dipindahkan sebanyak 54 kali sebelum dipindahkan. Kini lokasi tersebut menjadi Pasar Klitikan Notoharjo.


Kedua, PKL dipindahkan ke lokasi yang menempati tempat-tempat kosong di pasar tradisional. Pemindahan ini dapat dilakukan dengan mengatur jam operasi PKL bergantian dengan Pedagang Pasar Tradisional. Misalnya di pagi-pagi hari pukul 5 - 8 pagi para PKL diperkenakan berjualan di halaman pasar tradisional, kemudian setelah jam 8 pagi para PKL bubar dan para Pedagang Pasar Tradisoinal mulai beroperasi.  Demikian juga di sore hari, misalnya setelah pukul 16 atau 17 pasar tradisional boleh mulai beroperasi, ketika para pedagang di pasar tradisional mulai berhenti beroperasi. Pemindahan lokai PKl dapat juga dilakukan ke tempat-tempat kosong di dalam pasar tradisional, baik di lantai dasar maupun di lantai atas, jika pasar tersebut merupakan pasar yang bertingkat.

Di kota-kota besar, keberadaan PKL diperlukan untuk memenuhi kebutuhan terutama makanan bagi para karyawan yang bekerja di sektor formal seperti di kawasan perkantoran dan kebutuhan para pelayan pusat perbelanjaan. Para PKL tersebut perlu ditampung di lokasi di kawasan perkantoran seperti di kantin-kantin perusahaan dan dibina oleh perusahaan yang para karyawannya berbelanja ke para PKL tersebut, seperti dalam hal penataan dagangan, perbaikan pelayanan dan bagi PKL kuliner bagaimana membuat dan menyajikan makanan secara higienis. Apabila ini bisa dilakukan oleh setiap perusahaan di mana para karyawannya membutuhkan jasa PKL, maka upaya perusahaan ini cukup membantu penataan dan pembinaan PKL yang telah dicanangkan melalui program pemerintah.

Di banyak daerah muncul aktivitas PKL kuliner dan kerajinan yang dikelola secara terorganisasi oleh paguyuban PKL kuliner dan kerajinan, dan menarik banyak pengunjung, baik penduduk setempat maupun pendatang yang sedang berkunjung ke daerah tersebut. Aktivitas yang teratur, bersih dan layanan pengunjung dengan cara mengikuti berkepribadian (bersopan-santun) setempat menjadikan lokasi ini menjadi ikon kota yang bersangkutan, seperti Malioboro di Yogyakarta dan GALABO di Solo. Sehingga akhirnya lokasi ini menjadi pendukung pariwisata di kota-kota tersebut. 

Upaya memindahkan lokasi usaha PKL ke suatu tempat yang kemudian dijadikan pasar tradisional atau memindahkan ke pasar tradisional memerlukan tindakan lanjutan berupa pengubahan perilaku PKl yang terbiasa bebas dalam berjualan menjadi perilaku yang harus memperhatikan kebersihan dan kerapian dalam penataan dagangan. Upaya ini harus dilakukan oleh pihak pengelola pasar, sehingga mantan PKl tersebut dapat segera menyesuaikan diri dalam berjualan seperti pedagang tradisional lain pada umumnya yang sudah terbiasa berjualan di pasar tradisional.

Untuk memudahkan pembinaan PKL, maka sejak awal perlu membentuk paguyuban PKL dengan menunjuk PKL yang berkharisma atau memiliki wibawa di antara para PKL lain, sebagai ketua paguyuban. Sehingga ketika akan dilakukan upaya pembinaan seperti pelatihan atau pemberian bantuan sarana dan modal usaha, maka pihak pembina cukup menghubungi ketua paguyuban. Paguyuban ini secara bertahap diarahkan menjadi Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan akhirnya terbentuk Koperasi yang antara lain berperan dalam program kemitraan dengan para pemasok barang dagangan, mengupayakan bantuan permodalan, sarana usaha melalui program CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan pemasok seperti Teh Sosro, Indofood dan Unilever.

Pembentukan Koperasi secara bertahap dari pembentukan Paguyuban PKL yang kemudian ditingkatkan menjadi KUB dan Koperasi memerlukan waktu. Namun dengan cara bertahap ini akan memberikan pembelajaran kepada PKL tentang kehidupan berorganisasi dan membentuk usaha bersama, sehingga nantinya Koperasi yang terbentuk dapat memberikan manfaat kepada PKL anggota, bukan hanya kepada para pengurus Koperasi semata, dan memiliki kegiatan usaha yang tangguh serta memiliki posisi tawar yang kuat ketika akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar dan perbankan.
  
Pembinaan lainnya adalah peningkatan kemampuan dalam bentuk mengikutsertakan para PKL dalam berbagai pelatihan, seperti pelatihan kewirausahaan, cara menata dagangan dan melayani pembeli serta akutansi sederhana. Pelatihan kerwirausahaan dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada para PKL agar terus mengembangkan usahanya dan tidak selalu puas dengan perkembangannya sekarang. Banyak para pewaralaba dahulunya adalah PKL, namun dengan sikapnya yang tidak pernah puas dengan kemajuan usaha yang sekarang dipunyainya, mereka terus belajar menciptakan sistem usaha sehingga terwujudlah suatu usaha waralaba.

 Penguasaan akutansi sederhana di kalangan PKL akan menjadikan setiap PKL dapat dievaluasi peerkembangan usahanya dan ini bermanfaat untuk menyusun strategi pengembangan usaha yang dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan. Selain itu, jika setiap PKL sudah terbiasa menerapkan akutansi sederhana, maka dapat dipastikan Paguyuban yang dibentuk kemudian meningkat menjadi KUB akhirnya Koperasi memilki sistem akutansi yang cukup baik. Sehingga apabila dikehendaki untuk bermitra dengan perbankan, maka kelaikan usahanya dapat segera dipelajari oleh perbankan guna dapat menentukan besarnya bantuan dana permodalan yang akan diberikan.

Upaya pembinaan yang telah diuraikan di atas memerlukan kesiapan dalam penguasaan pengetahuan berusaha dan dedikasi yang tinggi dari para pembina PKL di lapangan. Oleh karenanya, sebelumnya kepada para pembina lapangan perlu diberikan pelatihan tentang semua pengetahuan yang dibutuhkan oleh para PKL. Upaya pembinaan yang akan dilakukan memerlukan waktu dan kesinambungan pendampingan. Sehingga upaya pembinaan dalam bentuk phisik seperti bantuan sarana usaha dan permodalan tidaklah cukup untuk mengembangkan kegiatan usaha PKL. Bantuan berupa pemberian pelatihan dan pendampingan lapangan merupakan hal yang mutlak yang harus diberikan kepada PKL.

Minggu, 30 September 2012

KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG PASARKU

Kebanyakan pedagang pasar tradisional telah berjualan selama bertahun-tahun, bahkan sejak pasar pertama kali berdiri, di mana bangunan pasar masih sangat sederhana hingga kini di mana bangunan pasar telah beberapa kali direnovasi. Bahkan ada yang sudah turun menurun berjualan di pasar yang sama. Banyak juga telah berpindah-pindah pasar, namun tetap di pasar tradisional.

Sejarah yang panjang dengan perkembangan usaha yang nyaris tidak berubah mencerminkan perilaku usaha yang statis. Tampaknya kebanyakan dari mereka pada umumnya sudah cukup puas dengan keadaannya yang nyaris tidak berubah. Perubahan yang terjadi adalah sebatas pada bertambahnya jenis dan jumlah barang dagangan yang disertai dengan pertambahan luas tempat berjualan, baik itu berbentuk lapak maupun kios. Pengetahuan mereka tentang berdagang hampir tidak berkembang, hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat tradisional dalam  kulakan, membuat persediaan, melayani pembeli serta mengelola uang. Pengetahuan kebanyakan para pedagang tradisional yang hampir statis tidak berkembang ini sangat berkaitan dengan tidak dimilikinya akses ke sumber pengetahuan yang sudah barang tentu hampir mustahil untuk dilakukannya sendiri, tanpa bantuan orang-orang yang berhubungan dengan mereka sehari-hari ketika mereka berjualan di pasar  atau orang-orang lain yang dengan tulus sengaja membantu mereka.

Orang-orang yang yang sehari-hari bergaul dengan para pedagang pasar tradisional adalah pihak pengelola pasar dan pemasok barang dagangan serta sudah barang tentu para pengunjung pasar (pelanggan). Di luar itu adalah orang-orang dari instansi pemerintah, terutama pemerintah daerah yang melakukan kegiatan di pasar dalam rangka program pemerintah. Pihak-pihak inilah yang bisa menjadi sarana akses pedagang tradisional untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam perjalanan waktu ternyata tidak mampu berperan karena pengetahuan yang dimilikinya terbatas ditambah lagi kurangnya komitmen untuk membantu para pedagang tradisional.

Halim dan Ismaeni (2007) menunjukkan rendahnya orientasi kewirausahaan para pedagang pasar tradisional. Rendahnya orientasi kewirausahaan yang dimaksud di sini seperti keahlian yang minim dalam menjaga hubungan baik dengan pelanggan, dalam mengatur tata letak, dan kebersihan barang yang dijual, berorientasi kepada konsumen (pasar), memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pelanggan dan seterusnya. Padahal orientasi kewirausahaan para pedagang pasar tradisional merupakan salah satu bentuk utilisasi sumber daya dalam meningkatkan keunggulan bersaing mereka terhadap pesaingnya yaitu para peritel pasar moderen.

Kemampuan pedagang ritel termasuk pedagang pasar tradisional ketika beroperasi di pasar ditentukan berdasarkan responnya terhadap dinamika pasar. Sebagai contoh: para pedagang dengan cepat mengetahui kebutuhan konsumen dan memberikan solusi yang cepat juga kepada konsumennya. Hal ini dapat diketahui dengan cepat jika pedagang ritel tersebut sudah memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsumennya, Respon terhadap pasar yang cepat dan tepat merupakan salah satu representasi dari kapabilitas dinamis yang dimiliki oleh pedagang ritel yang dapat mempengaruhi keunggulan bersaing yang langgeng, pada akhirnya ini memberikan kinerja unggul bagi yang bersangkutan. (Halim, 2007). Kapabilitas di sini adalah kemampuan atau kapasitas pedagang ritel dalam mengembangkan sumber daya. Sedangkan sumber daya adalah faktor-faktor yang tersedia dan dimiliki atau dikendalikan oleh pedagang ritel. Adapun kapabilitas dinamis adalah bentuk pemahaman terhadap sumber daya yang dimiliki untuk memberikan nilai lebih lingkungan persaingan yang dinamis melalui pengembangan sumber daya tersebut secara berkesinambungan (Afif dan Halim).

Di tengah-tengah persaingan yang dinamis dengan pasar moderen, tampaknya pasar tradisional semakin kedodoran menghadapi persaingan ini. Upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap persaingan ini masih sebatas menghambat perkembangan pasar moderen dan revitalisasi pasar tradisional yang sebatas merenovasi bangunan pasar. Memang kedua jenis upaya ini paling mudah dan secara cepat dapat dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memadai. Dari pengalaman ini, sebenarnya yang terpenting adalah pengembangan kapabilitas dan kalau bisa kapabilitas dinamis agar para pedagang tradisional memiliki orientasi kewirausahaan sehingga mampu bersaing dengan pasar moderen. Diakui beberapa upaya tengah dilakukan di antaranya melalui Sekolah Pasar di Yogyakarta (www.sekolahpasar.com). Jika dibandingkan dengan jumlah pasar tradisional yang mencapai lebih dari sepuluh ribu dan tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia, maka diperlukan lebih banyak lagi lembaga atau institusi yang peduli terhadap pasar tradisional yang bersedia untuk mengupayakan peningkatan kapabilitas para pedagang tradisional. Di sini keterlibatan para pengelola pasar sangat membantu upaya tersebut. Oleh karenanya kemungkinan dapat berjalan lebih efektif apabila para pengelola harus dilatih terlebih dahulu, kemudian mereka terlibat dalam upaya peningkatan kapabilitas pedagang tradisional di pasar yang dikelolanya. Mengingat sebagian besar pasar-pasar tradisional dikelola oleh pemerintah daerah, maka para pengelola pasar dimaksud adalah aparatur pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Sehingga di setiap daerah hendaknya dikembangkan sekolah-sekolah pasar yang melibatkan pemerintah daerah setempat dengan menggunakan pengalaman Sekolah Pasar Yogyakarta sebagai salah satu model.

Rujukan Pustaka:
Afif, Adi Zakaria dan Halim, Rizal Edy, Jangan Bertanya Mengapa Pedagang di Pasar Tradisional 
                     Terpuruk, Jurnal Usahawan.
Halim, Rizal Edy (2007), Dampak Pembentukan Kapabilitas Dinamis dari Entrepreneurial 
                      Proclivity  sebagai Pemicu Kinerja Pedagang pada Pasar Tradisional, Departemen
                      Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2007, hal 8-10.
Halim, Rizal Edy dan Ismaeni, Fahrul (2007), Analisis Pembentukan Ketertarikan Terhadap Ritel: 
                      Agenda Riset Bagi Revitalisasi Pasar Tradisional di Indonesia, Studi/Penelitian
                      Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jurnal Usahawan,
                      Desember 2007
 
 

Rabu, 26 September 2012

REVITALISASI PASARKU

Revitalisasi pasar tradisional seringkali berujung pada munculnya permasalahan baru, karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru, atau pun jika pedagang tersebut berjualan dengan menggunakan lapak kini ukuran luas lapaknya jadi mengecil, sehingga terpaksa harus meletakkan sebagian barang dagangannya di depan kios atau lapak, mengurangi lebar lorong atau gang yang ada. Apabila langkah ini juga dilakukan oleh pemilik kios atau lapak yang berhadap-hadapan, maka sudah dapat dipastikan lorong atau gang di situ menjadi sangat sempit dan tidak lagi nyaman untuk dilalui oleh para pengunjung atau pembeli. Keadaan ini seringkali ditanggapi oleh pedagang dengan memilih berjualan di luar gedung pasar, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai dan pedagang tersebut semula berdagang di lantai atas. Sehingga mereka berjualan berbaur dengan pedagang kaki lima (PKL) menutupi jalan masuk dan bangunan pasar yang pada akhirnya pasar yang direvitalisasi tersebut menjadi tampak semrawut. 

Permasalahan lainnya yang muncul adalah tidak dilibatkannya Koperasi Pedagang Pasar (KOPPAS) atau Paguyuban Pedagang Pasar dalam pengelolaan pasar seperti penyediaan jasa kebersihan, pemeliharaan toilet, dan penagihan biaya penggunaan daya listrik, karena biasanya setelah pasar direvitalisasi kegiatan-kegiatan tersebut akan ditangani oleh pihak pengelola  baru, khususnya jika dalam program revitalisasi ini melibatkan pihak swasta sebagai penyandang dana yang kemudian bertindak sebagai pihak pengelola pasar. Padahal pendapatan dari penyediaan jasa kebersihan, pemeliharaan toilet dan penagihan biaya penggunaan daya listrik tersebut merupakan salah satu sumber dana bagi KOPPAS atau Paguyuban Pedagang Pasar.

Kedua permasalahan yang muncul di muka merupakan satu penyebab kemunduran kegiatan usaha pedagang dan pasar tradisional yang bersangkutan secara keseluruhan, setelah direvitalisasi karena hanya melakukan renovasi pasar secara phisiknya semata.

Lain halnya jika program revitalisasi tersebut sepenuhnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) seperti yang dialkukan oleh Pemerintah Kota Surakarta di Solo, di mana sepenuhnya pedagang tidak dibebani biaya untuk mendapatkan kios atau lapak baru, kecuali apabila pedagang yang bersangkutan berkeinginan untuk menambah luas lapak atau kiosnya. Selain itu, kegiatan KOPPAS atau Paguyuban Pedagang Pasar (PAPATSUTA-Paguyuban Pasar Tradisional Surakarta) justru dikembangkan ikut dalam program revitalisasi pasar. Sebagai contoh PAPATSUTA di malam hari di saat pasar sedang tidak beroperasi diserahi mengelola pasar kuliner di halaman Pasar Nusukan, Solo. 

Program Revitalisasi Pasar Tradisional di beberapa kota dan kabupaten dilakukan dengan beberapa cara:

1. Seluruhnya dibiayai oleh APBD Pemerintah Kabupaten/Kota atau bersama Pemerintah melalui
    dana APBN.
2. Dilakukan melalui kerjasama antara Pemerintah Kabupaten/Kota menggunakan APBD atau
    menyediakan lahan aset pemerintah daerah dengan pihak Swasta sebagai penyandang dana.

Pada Program Revitalisasi Pasar Tradisional dengan menggunakan cara pertama, para pedagang lama dibebaskan dari pembayaran lapak/kios di pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali. Sedangkan luas lapak/kios yang mereka peroleh sama luasnya dengan ketika saat berdagang di pasar lama. Hanya kepada pedagang lama yang berkeinginan memperluas lapak/kios menjadi lebih luas dibanding miliknya di pasar lama diwajibkan membayar tambahan luas tersebut. Demikian juga kepada para pedagang yang baru diwajibkan untuk membayar kepemilikan lapak/kios tersebut.

Pengelolaan pasar setelah pasar selesai direnovasi tetap dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan sistem pengelolaannya biasanya hampir tidak berubah dibanding pengelolaan pasar lama. Inilah yang seringkali memunculkan kondisi pasar yang tidak berubah seperti pasar yang lama, sekalipun sudah direnovasi. Seharusnya ketika pasar sedang dibangun dan para pedagang dipindahkan ke tempat berjualan sementara, maka pada saat itulah persiapan tata cara pengelolaan pasar yang baru perlu dilakukan, antara lain: menyusun struktur organisasi beserta uraian jabatan; menyusun berbagai prosedur operasi baku (SOP) dan instruksi kerja dengan form-form kelengkapannya yang dibutuhkan untuk melakukan pencatatan; membuat pedoman pengawasan dan berbagai peraturan internal pasar yang harus dipatuhi oleh para pemangku kepentingan di pasar; serta melakukan rekruitmen calon kepala pasar dan petugas pengelola pasar yang diikuti dengan pelatihan tentang penggunaan instruksi kerja, prosedur operasi baku, dan pedoman pengawasa. Pembuatan berbagai prosedur, instruksi kerja dan pedoman sebaiknya dilakukan sendiri oleh para calon Kepala Pasar dan Staf Pengelola pasar didampingi oleh tenaga konsultan yang berkompeten agar sejak awal para calon tersebut memiliki pemahaman tentang hal-hal tersebut yang disertai dengan rasa memiliki (sense of belonging). Setelah dilatih, sekalipun pasar belum selesai direnovasi, kepada mereka langsung diminta bekerja dengan menggunakan cara pengelolaan yang nantinya dipakai di pasar yang baru. Kepada para pedagang juga dilakukan sosialisasi tentang cara pengelolaan pasar yang baru dan berbagai peraturan internal pasar yang harus dipatuhi secara bertahap dan konsisten.

Dalam cara kedua, dimana ada keterlibatan pihak swasta, di sini terdapat beberapa bentuk kerjasama yaitu pertama pihak swasta (pengembang) membangun pasar yang baru dan kepadanya diberikan kewenangan untuk menjual lapak/kios kepada pedagang baru dan pedagang lama yang ingin memperluas lapak/kiosnya. Pengelolaan pasar yang sudah direnovasi diserahkan kembali ke pihak Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketika pasar selesai direnovasi, kemudian dilakukan penjualan lapak/kios oleh pihak pengembang, seringkali terjadi masyarakat pemilik dana besar membeli beberapa lapak/kios sekaligus kemudian dialihkan atau dijual kembali ke orang lain yang kadang-kadang juga tidak langsung dipakai tetapi dibiarkan kosong menunggu orang yang bersedia menyewa. Karena pihak pengembang berhitung dengan dana yang dikeluarkan untuk merenovasi pasar agar mendapatkan keuntungan dari penjualan lapak/kios, maka pasar yang dibangun biasanya bertingkat. Adanya pembelian lapak/kios oleh masyarakat pemilik dana besar yang kemudian tidak dipakainya sendiri untuk berjualan, seringkali menimbulkan kekosongan lapak/kios di lantai atas. Terlebih lagi, dalam membangun pasar yang baru jauh lebih besar dibanding bangunan pasar lama, tanpa memperhitungkan jumlah pengunjung yang diharapkan berbelanja di situ dan juga tidak memperhitungkan keberadaan pasar lain. Keadaan ini diperparah oleh pembiaran beroperasinya Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar pasar baru tersebut yang dapat menyaingi para pedagang di dalam pasar. Setelah pasar selesai direnovasi, pihak pengembang menyerahkan pengelolaan pasar tradisional tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan pihak pengembang hanya sebatas menyelesaikan penjualan dan pembayaran lapak/kios yang masih belum tuntas. Seperti yang telah diuraikan di muka, untuk menghadapi pengelolaan pasar baru segalanya perlu dipersiapkan sejak dini.

Bentuk kerjasama yang lain adalah pihak swasta sebagai pengembang diijinkan untuk membangun pasar moderen ditempat yang sama, biasanya di lantai atas, sedangkan di lantai bawah diperuntukkan bagi para pasar tradisional. Dengan cara penempatan pasar moderen dan pasar tradisional seperti ini tampak adanya saling melengkapi, seperti ditunjukkan relatif tidak beroperasinya PKL di sekitarnya. Biasanya di sekitar pasar moderen beroperasi PKL yang menjajagan makanan, minuman, pakaian dan tas serta barang-barang lain serupa dengan barang-barang yang dijual di pasar moderen tempat PKL tersebut beroperasi. Tentunya kualitas barang yang dijual lebih rendah, namun harganya juga lebih murah, sehingga masih banyak yang berminat untuk membeli.

Sebagian dari masyarakat perkotaan menjadikan pasar moderen (mall dan department store) masih sebatas tempat untuk berekreasi (jalan-jalan cuci mata), namun ketika mencari barang yang dibutuhkannya atau membeli makanan minuman mereka mencari PKL yang beroperasi di sekitar pasar moderen tersebut. Apabila di lokasi yang sama tersedia pasar tradisional, maka mereka akan berbelanja di pasar tersebut. Sebagian lagi menjadikan pasar moderen sebagai tempat utama untuk berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjadikan pasar tradisional sebagai pelengkap pasar moderen. Keadaan ini merupakan cerminan dari adanya perbedaan orientasi ekonomi yang menimbulkan perbedaan nilai sosial dan budaya di kalangan masyarakat yang datang mengunjungi  pasar  moderen, yaitu golongan masyarakat kapitalistik yang berpendidikan dan berpendapatan lebih tinggi dan golongan masyarakat prakapitalistik yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.

 Pengelolaan pasar tradisional yang sudah direvitalisasi yang lokasinya bersamaan dengan pasar moderen tersebut, di beberapa kota atau kabupaten kembali dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota seperti yang dijumpai di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Di tempat lain, pengelolaan pasar tradisional dilakukan oleh pihak pengembang bersama-sama dengan pengelolaan pasar moderen, seperti di Kota Balikpapan.




Kembali ke topik Revitalisasi Pasar Tradisional ini, kunci keberhasilannya adalah terletak pada cakupan program revitalisasi ini. Apabila hanya sebatas merenovasi bangunan phisik pasar, maka sudah dipastikan setelah beberapa tahun keadaan pasar tradisional tersebut menjadi tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelum program revitalisasi. Penyiapan pengelolaan pasar justru harus sudah dilakukan sedini mungkin yaitu bersamaan dengan proses renovasi bangunan phisik pasar. Hal inilah seringkali tidak pernah dipikirkan dan dilakukan oleh banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang melaksanakan Program Revitalisasi Pasar Tradisional yang justru pihak pengelola swasta selalu dengan serius mempersiapkannya sejak awal.

Selasa, 25 September 2012

STRATEGI MENGHADAPI PERSAINGAN DI PASARKU

Strategi dalam menjual penting dimiliki oleh para pedagang umumnya, termasuk para pedagang pasar tradisional. Strategi ini belum dapat dikatakan sebagai strategi pemasaran karena tingkatannya yang masih sangat sederhana belum sekompleks strategi seperti yang terdapat dalam teori pemasaran dengan formula segmentation, targeting dan positioning (STP). Pengertian strategi di sini, masih sebatas strategi (cara) menjual barang dalam menghadapi persaingan.

Para pedagang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang para konsumen dan pesaingnya akan dapat mengembangkan strategi memasarkan (menjual) barang yang tepat untuk mempertahankan konsumennya dan menghadapi pesaingnya. Pengetahuan yang mereka miliki tersebut merupakan suatu keunggulan dibanding pedagang lain, termasuk para pesaing.

Pengetahuan tentang  konsumen (pelanggan) adalah pemahaman yang mendalam yang dimiliki oleh para pedagang terhadap konsumen pada umumnya khususnya terhadap pelanggannya secara spesifik. Pengetahuan tentang konsumen meliputi pemahaman tentang pelanggan potensial, sensitivitas pelanggan  terhadap harga, akses ke lokasi serta segmentasi pelanggan. Pemahaman tentang pelanggan potensial menentukan fokus pedagang terhadap pelanggannya yang dianggap potensial guna memberikan layanan istimewa dibanding konsumen lain. Pemahaman tentang sensitivitas pelanggan terhadap harga menjadi strategi penetapan harga dalam rangka untuk meningkatkan penjualan. Para pedagang kios di pasar tradisional perlu mencoba untuk melakukan penjualan dengan harga diskon pada periode tertentu guna meningkatkan penjualan, seperti yang biasa dilakukan para pedagang di pasar-pasar moderen. Pemahaman tentang akses  ke lokasi seringkali ditanggapi salah oleh para pedagang dengan melanggar peraturan tentang tempat berdagang, yaitu berusaha berdagang di dekat pintu masuk atau halaman depan pasar, padahal pedagang tersebut sebenarnya sudah memiliki lapak di dalam pasar. Sebagai alasannya adalah pedagang lain terutama Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai pesaingnya juga melakukan hal yang serupa. Untuk menghindari hal ini, maka pihak pengelola pasar perlu menegakkan peraturan yang tegas tentang lokasi berdagang. Pemahaman tentang segmentasi pedagang menentukan jenis dan kualitas serta harga barang-barang yang dijual. Segmentasi ini biasanya juga terkait dengan citra pasar tradisional yang bersangkutan yang biasanya juga terkait dengan lokasi pasar, apakah berdekatan dengan daerah perumahan elit  atau berada di daerah pemukiman masyarakat pedesaan atau daerah pinggiran. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 di beberapa pasar tradisional di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK) serta Bandung diperoleh informasi bahwa dari segi jumlah pelanggan, para pedagang sebagai responden mengatakan bahwa jumlah pelanggan yang terbanyak adalah para pemilik toko/warung untuk kulakan (41,5% dari jumlah responden), kalangan rumah tangga (40,1%), pemilik restoran (11,3%), pedagang keliling untuk kulakan (6,6%) dan lainnya (0,5%). Dari segi nilai pembelian, para pelanggan yang membeli terbanyak masih tetap pemilik toko/warung (43,7% dari jumlah responden mengatakan ini), kalangan rumah tangga (33,9%), pemilik restoran (14,0%), pedagang keliling untuk kulakan (8,0%), dan lainnya (0,3%).
 
Pengetahuan tentang pesaing adalah pemahaman yang mendalam yang harus dimiliki pedagang tentang pesaingnya, meliputi siapa sebenarnya yang menjadi pesaing utama serta informasi tentang strategi dan kebijakan pemasaran yang ditempuh  oleh para pesaing. Pengetahuan tersebut mencakup informasi tentang produk pesaing, bentuk pelayanan yang diberikan oleh pesaing seperti layanan khusus hantaran barang langsung atau pembayaran yang tidak secara tunai, strategi penetapan harga dengan memberikan harga diskon pada pelanggan, strategi komunikasi sebagai bentuk promosi dari dari mulut ke mulut atau dengan berbicara di pertemuan arisan pedagang, serta pengetahuan tentang siapa yang menjadi target pasar pesaing apakah persis sama atau menyasar target lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 terhadap para pedagang di beberapa pasar tradisional di JABODETABEK dan Bandung diperoleh informasi bahwa pesaing terberat adalah sesama pedagang pasar (32,9% dari jumlah responden), kemudian diikuti oleh Supermarket (27,5%), Pedagang Kaki Lima (PKL), pasar tradisional lain (5,4%). Minimarket (2,5%), pedagang asongan (1,0%) dan kios (0,3%). Para PKL yang menjadi pesaing adalah PKL yang berjualan di sekitar pasar yang seringkali menutupi pintu masuk pasar dan memenuhi halaman pasar. Selanjutnya hal yang menarik dari penelitian tersebut ialah ada sekitar 12,5% dari responden yang mengatakan tidak mengetahui secara persis siapa yang menjadi pesaing utamanya.

Dalam penelitian tersebut juga dikemukakan strategi yang digunakan para responden pedagang dalam menari para pembeli, yaitu bersikap sopan santun (37,65 dari jumlah responden), memberikan jaminan kualitas barang yang dijual (19,9%), memberikan potongan harga/diskon (12,8%), menambah keanekaragaman barang dagangan (9,1%), mengelola barang dagangan yang lebih baik (3,4%), memprioritaskan pembeli rutin (2,5%), melakukan pengiriman langsung ke rumah  pembeli (2,2%), berbuat jujur (1,7%), menerima pembayaran dalam bentuk cicilan (0,7%) dan menjaga kebersihan (0,5). Selanjutnya hal yang menarik dari penelitian ini, adalah sebanyak 9,6% dari total responden tidak memiliki strategi dalam menjual barang dagangannya.

Jika melihat jumlah responden yang mengatakan tidak mengetahui siapa pesaing terberatnya (12,5% dari total responden) lebih besar daripada jumlah responden pedagang yang tidak memilki strategi pemasaran (9,6%), maka pedagang yang sekalipun tidak mengenal pesaingnya kemungkinan ia tetap memiliki strateginya sendiri tanpa mempedulikan strategi apa yang diterapkan pesaingnya.  Kemungkinan mereka memilih strategi menjual secara acak, sehingga belum tentu strategi ini tepat mengenai sasaran.

Untuk mendukung strategi menghadapi persaingan tersebut, para pedagang perlu memahami tentang pemasok meliputi kredibilitas pesaing dihadapan pemasok guna mengetahui perlakuan pemasok terhadap pesaing dibanding terhadap dirinya, kepercayaan pemasok terhadap dirinya dan sebaliknya, kontinuitas pasokan dan penetapan harga oleh pemasok. Informasi tentang pemasok ini berguna untuk memperkuat penetapan strategi penjualan yang dirasakan tepat setelah memperhatikan informasi tentang konsumen (pelanggan) dan pesaing.

Berdasarkan penelitian oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 terhadap para pedagang di beberapa pasar tradisional di JABODETABEK dan Bandung, diperoleh informasi bahwa pemasok yang paling banyak digunakan adalah pemasok profesional (agen/distributor penjualan) dinyatakan oleh 43% dari jumlah responden, pasar grosir tradisional (31,4%), penjual grosir (9,3%), pasar tradisional lain (8,4%), langsung dari produsen (5,9%) dan produksi sendiri (2,0%). Informasi di muka menunjukkan bahwa kini banyak perusahaan keagenan dan distributor masuk ke pasar-pasar tradisional khususnya yang memasarkan fast moving consumtion goods (FMCG) seperti sabun mandi, shampo, pasta gigi, mie instan, kopi bubuk, susu kaleng dan sebagainya. Hal ini tampak dari banyaknya poster yang ditempelkan di dinding bangunan pasar dan kios/lapak serta spanduk-spanduk yang karena tidak diatur pemasangannya mengakibatkan pasar terlihat kumuh dan kotor. Beberapa petugas perusahaan keagenan dan distributor memberikan bimbingan tentang cara penataan barang dagangan (displai)  kepada para pedagang tradisional secara sporadis. Sebenarnya hal ini dapat diorganisir oleh pihak pengelola pasar sehingga lebih efektif dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak pedagang pasar.

Pengetahuan tentang strategi dalam menjual di tengah-tengah persaingan tentunya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pedagang dalam menyerap ilmu yang seyogyanya diberikan secara bertahap dan konsisten di pasar-pasar tradisonal. Selain itu, perlu dilakukan pendampingan ketika pengetahuan tentang strategi  dalam menjual barang dagangan  diimplementasikan dalam kegiatan usaha para pedagang sehari-hari. Di sini diperlukan keterlibatan pihak pengelola pasar dan paguyuban pedagang pasar. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka secara bertahap kompetensi para pedagang pasar tradisional akan meningkat, sehingga diharapkan dapat bersaing dengan para pedagang pasar moderen.